![]() |
Prof Said berbicara dalam acara Kasus MPM |
Makassar, Eksepsi Online-Lembaga Dakwah Asy-Syari’ah Mahasiswa Pencinta Mushalla (MPM) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) menggelar acara Kajian Tuntas Isu Islam (Kasus) dengan mengangkat tema “Telaah Kritis Pasal 293 tentang Ilmu Perdukunan pada Rancangan KUHP Indonesia & Kontroversi Eyang Subur.” Acara tersebut belangsung di Ruang Mout Court Harifin A. Tumpa (Pria) dan Ruang Vicon Laica Marzuki FH-UH (Wanita), Rabu (15/5). Hadir sebagai pemateri adalah Guru Besar Hukum Pidana FH-UH, Prof. Dr. M. Said Karim, S.H., M.H dan Saptani Muhammad Ridwan, perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Makassar.
Dalam kesempatan itu, Prof Said memaparkan masalah mekanisme hukum atas pasal perdukunan tersebut. Ia menyatakan, pada awalnya pasal perdukunan dirumuskan sebagai delik materil. Hal itu berarti harus ada akibat negatif yang nyata dari aktivitas perdukunan. Namun masalah yang timbul adalah sulitnya membuktikan kausalitas antara aktifitas perdukunan sebagai sebab dan akibat yang ditimbulkan, karena kegiatan tersebut sifatnya gaib.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada perkembangannya, pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Dengan demikian, jika unsur-unsur tindak pidana sudah terpenuhi, tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan, seorang dapat dipidanakan. Rumusannya jelas dalam Pasal 293 RUU KUHP, yang mensyaratkan bahwa seseorang yang mengaku memiliki kekuatan gaib dapat dipidana jika memberitahukan, menawarkan, memberikan bantuan perdukunan kepada seseorang untuk menimpakan derita kepada orang lain.
Ditanya mengenai ancaman pidana orang yang meminta jasa perdukunan, Prof Said mengatakan memang tidak diatur dalam pasal perdukunan. “Itu telah diatur dalam ketentuan penyertaan dalam tindak pidana,” katanya.
Menyinggung permasalahan Eyang Subur, menurut Saptani, ia telah melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Salah satu perbuatannya adalah beristeri lebih dari empat orang. Untuk itu, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa eyang subur telah melakukan praktik perdukunan yang menyimpang.
Ia juga menjelaskan bahwa, praktik perdukunan yang menyimpang dari ajaran agama karena merupakan akibat dari pemahaman tauhid yang lemah, kesulitan hidup, dan sifat masyarakat yang mudah mengkultuskan seseorang. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar pemerintah dan seluruh komponen masyarakat berperan dalam meningkatkan ketauhidan, khususnya para mubaligh. “Ketika tauhid seseorang lemah, ia mudah terjerumus dalam praktek perdukunan,” Jelasnya. (RTW)