web analytics
header

Geraknas Mengadakan Diskusi Peringati Harkitnas

Suasana diskusi peringati Harkitnas

Makassar, Eksepsi Online-Gerakan Rakyat Kemerdekaan Nasional (Geraknas) menggelar diskusi memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dengan mengangkat tema Kebangkitan Nasional dan Reformasi; Tinggalkan Neoliberalisme, Kembali ke Cita-cita Proklamasi 1945. Acara tersebut berlangsung di depan Monumen Mandala, Pukul 20.30-22.00 Wita, Selasa (21/5). Dalam Geraknas tersebut, tergabung beberapa organisasi lingkup Kota Makassar, diantaranya Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Masyarakat Miskin Kota (SRMI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Diskusi tersebut dihadiri sekitar 30 orang.


Marsi, perwakilan dari PMKRI dalam pemaparannya menilai Harkitnas dan reformasi belum mampu mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945, terutama mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurutnya, pendidikan harus diberi perhatian besar, mengingat kemajuan suatu negara sangat bergantung pada tingkat pendidikan bangsa. “Seharusnya reformasi ditindaklanjuti dengan upaya memajukan pendidikan,” ungkapnya.

Hal itu sejalan dengan pernyataan perwakilan KAMMI, bahwa agenda setelah reformasi 1998 hanya reformasi birokrasi, bukan reformasi yang menyentuh akar permasalahan sesungguhnya yang dialami masyarakat. Termasuk permasalahan pendidikan.

Persoalan lain sebagaimana diungkapkan Makbul, Ketua LMND Kota Makassar adalah ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam menghilangkan pengaruh-pengaruh asing. Hal tersebut dapat diamati dalam sektor perekonomian dan politik. Menurutnya, pemerintah telah melakukan kesalahan besar dengan tergantung pada investasi asing dan turut dalam pasar bebas, sehingga sistem perekonomian yang kapitalistik tidak dapat dibendung lagi.

Lebih lanjut, Vice selaku perwakilan PRD menilai bahwa kebebasan berpolitik masih di Indonesia masih dibatasi. Ia menilai bahwa ketentuan Parliamentary Threshold yang tahun ini dinaikkan menjadi 3,5 dari sebelumnya 2,5 hanya taktik partai mainstream untuk membentuk kebebasan berpolitik partai-partai lain. Selain itu, ketentuan dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum bahwa partai politik harus memiliki pengurus 100% di provinsi, 75% di Kabupaten, dan 50% di Kecamatan juga dinilai sebuah upaya merintangi partai politik baru. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar masyarakat harus menggunakan hak pilihnya secara cerdas, tidak terpikat pada figure hanya karena diusung partai mainstream. “Jangan  pilih calon pemimpin yang penyogok, yang akan memiliki beban materil, sehingga melupakan beban morilnya kepada rakyat,” harapnya. (RTW)

Related posts: