Suasana Diskusi Pelataran BEM, Senin (23/9) |
Makassar, Eksepsi Online-Sejumlah cara digunakan oleh para politisi untuk mendapat jabatan, bahkan merambah ke dalam dunia kampus. Terlebih para akademisi dianggap ampuh sebagai agen untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Anggapan itulah yang menyebabkan pelaku politik praktis membentuk jaringan politik dalam dunia kampus. Hal itu sebagaimana diungkapkan Dosen Fakultas Hukum Unhas (FH-UH), Zulfan Hakim, S.H., M.H, saat menjadi pembicara dalam acara Diskusi Pelataran yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH-UH, Senin (23/9), pukul 14.00 Wita. Acara tersebut berlangsung di Pelataran BEM FH-UH dengan mengangkat tema; Apakah Kampus Hari Ini Terbebas dari Politik Praktis?
Melihat kenyataan di atas, Zulfan Hakim menegaskan bahwa pihak akademisi harus menjaga identitasnya, seperti independen, objektif, dan kritis. Selain itu, mahasiswa diharapkan tidak alergi terhadap kegiatan politik sebagai sebuah keniscayaan, namun mahasiswa harus mempelajari dan mengaktualisasikan politik yang elegan.”Kedatangan pelaku politik praktis jangan dirisaukan, tetapi harusnya dicermati apa yang mereka sampaikan, lalu kita lakukan kritik secara elegan,” ungkapnya.
Guru Besar FH-UH, Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H yang juga pembicara dalam diskusi tersebut sependapat dengan pernyataan Zulfan Hakim. Ia menyatakan pihak akademisi harus hadir sebagai pemberi kritik terhadap program para pelaku politik praktis. “Kampus justru harus menerima, kemudian mendengarkan apa yang sesungguhnya menjadi keinginan dia, kenapa dia ingin menjadi pemimpin, kenapa dia masuk kampus, apa yang diinginkan dari kampus, apakah dia hanya ingin memperoleh suara sebanyak-banyaknya ataukah menjelaskan alasannya ingin menjadi pemimpin,” jelasnya saat diwawancarai selepas acara.
Independensi sebagai akademisi, menurut Prof Farida, harus tetap dijaga dalam menyikapi politik praktis. Mengamati visi dan misi para politisi dari sudut pandang seorang akademisi perlu dilakukan, terutama sebagai bahan analisis untuk pendidikan politik, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Ia menilai, kualitas keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis dapat dilihat dari implementasi sikapnya terhadap politisi. Selama masih dalam upaya mengamati dan mengkritisi program para politisi, ia menilai itu tidak masalah. “Kalau kita mengutamakan idealisme dan independensi sebagai akademisi, maka kita tidak akan mudah menerima sikap-sikap politik praktis, tetapi kita akan mendengarkan mereka, kemudian melakukan kritik. Jadi, jangan langsung apriori,” tandasnya.
Diwawancarai setelah diskusi, Andi Surya Nusantara selaku panitia mengakui, pemilihan tema diskusi kali ini dilatarbelakangi adanya indikasi kegiatan politik praktis dalam kampus. Termasuk hadirnya salah satu calon wali kota dalam acara temu alumni FH-UH di Gedung Ipteks Unhas, Senin, 16 September 2013. Ia menilai, seharusnya hubungan akademisi dengan politisi bersifat objektif, yaitu dalam hal diskusi ilmiah mengenai rasionalitas program para calon. Namun, pengurus BEM ini menilai, pihak akademisi seringkali tidak menjaga identitasnya dalam menyikapi politik praktis. “Hubungannya saat ini lebih diperdalam. Artinya, saya melihat para dosen ataupun mahasiswa itu sendiri turut campur tangan untuk memajukan salah satu calon dalam hal perolehan suara saja, bukan dalam hal analisis program dan upaya mendidik pemilih agar cerdas,” ungkapnya.
Melalui acara ini, Andi Surya berharap mahasiswa mengetahui posisinya dalam menyikapi politik praktis. Hal itu dapat diwujudkan dengan bersikap objektif, menjadi gerakan yang moralis, dan elegan dalam mengawal isu-isu politik praktis. “Seharusnya bukan kita yang dipengaruhi oleh politisi, tetapi kita harus mempunyai sikap politik, kemudian membawa sikap ini untuk mencerdaskan masyarakat pemilih,” ungkapnya. (RTW)