web analytics
header

Disoroti, MK Harus Dibenahi

Tampak pemateri dialog terkait kasus Akil, Kamis (10/10)
Makassar, Eksepsi Online-Sejumlah polemik muncul terkait kasus suap Hakim Konstitusi Akil Mochtar, termasuk proses hukum dan langkah pembenahan institusi Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus dilakukan. Sejumlah aspek perlu segera dibenahi, termasuk pengangkatan hakim konstitusi, kewenangan MK, hingga pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Menanggapi persoalan di atas, Pusat Kajian Hukum dan Anti Korupsi (PusHAKA) bekerjasama dengan Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH) Unhas Menyelenggarakan dialog hukum dengan mengangkat tema; Mengembalikan Marwah dan Wibawa Mahkamah Konstitusi: Tragedi MK Pasca Akil Mochtar. Acara tersebut berlangsung di ruang Video Conference Prof Laica Marzuki, Fakultas Hukum Unhas (FH-UH), Kamis (10/10). Hadir sebagai pembicara adalah Dekan FH-UH sekaligus Direktur PuSHAKA Prof Aswanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unhas Prof Deddy T Tikson, Direktur Pusat Kajian dan Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Zainal Arifin Mochtar, dan Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi  Syamsuddin Alimsyah.
Pengangkatan sembilan hakim konstitusi diajukan oleh Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan presiden. Tiap-tiap lembaga negara tersebut mengajukan tiga orang hakim konstitusi. Proses tersebut dinilai Zainal Arifin tidak menjamin para hakim konstitusi memiliki integritas tinggi, terutama karena besarnya pengaruh kepentingan politik sebagai dasar lembaga negara mengajukan hakim konstitusi. Belum lagi para anggota DPR memang kurang kapabel dalam pengujian pengangkatan hakim agung. Ia memuji proses pengangkatan hakim konstitusi di Amerika Serikat oleh lembaga legislatif, dimana calon hakim konstitusi dipanel oleh sejumlah ahli dan akademisi, kemudian anggota legislatif menilai dan menyatakan pendapatnya untuk menerima atau menolak seseorang menjadi hakim konstitusi.
Lebih lanjut, ia menilai pengangkatan hakim konstitusi oleh presiden juga rawan dipengaruhi faktor kepentingan, seperti kesan yang muncul dalam pengangkatan mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi oleh Presiden. Selain itu, Zainal Arifin juga menyesalkan sejumlah kader partai dipilih oleh lembaga negara sebagai hakim konstitusi. Menurutnya, itu sangat berpengaruh bagi putusan hakim konstitusi terkait pemilihan umum, terutama jika sengketa pemilu diajukan dan diadili oleh kader partai yang sama. “Dengan sistem seperti ini, terkesan hakim konstitusi adalah utusan sebuah partai politik atau lembaga negara,” jelas Zainal Arifin.
Kewenangan MK terkait sengketa pemilu kepala daerah (pilkada) yang beralih dari MA sejak tahun 2008, membuat sejumlah pihak yang kalah mengajukan gugatan ke MK. Hal itu dinilai Syamsuddin Alimsyah sulit dihindari, terutama karena ongkos politik yang tinggi. Menyikapi masalah itu, Prof Aswanto menawarkan konsep pemisahan antara Court of law sebagai kewenangan MK dan court of justice sebagai kewenangan MA. Menurutnya, MK sebaiiknya hanya mengurusi penegakan konstitusi dan sinkronisasi aturan hukum, sedangkan sengketa antarpihak pencari keadilan seperti sengketa pemilukada menjadi kewenangan MA. Meskipun demikian, Zainal Arifin menilai sengketa pemilukada sebaiknya tetap menjadi kewenangan MK, terutama alasan historis yang menunjukkan bahwa peralihan kewenangan tersebut dikarenakan hakim agung tidak profesional dan tidak berintergritas dalam memutus sengketa pemilukada dahulu. 
Terkait dengan pengawasan hakim konstitusi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006, Komisi Yudisial (KY) tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi. Pengawasan hanya dilakukan oleh Dewan Komite Etik MK. Prof Deddy menegaskan sistem pengawasan sebaiknya dirumuskan dan diterapkan dengan baik, terutama karena putusan MK final and binding. Untuk itu, Zainal Arifin mengharapkan dibentuknya forum antara MK, KY, dan DPR untuk merumuskan sistem pengawasan yang baik. Dengan demikian, kewenangan KY sebagai penjaga wibawa hakim mencakup hakim konstitusi dapat dirumuskan kembali. Hal itu mendesak segera dilakukan menanggapi kasus suap Akil Mochtar yang berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap MK. “Integritas dan Independensi itu berjalan sejajar. Ketika integritas menurun, maka independensi perlu diturunkan. Sedangkan ketika integritas tinggi, independensi harus ditingkatkan,” tutup Zainal Arifin Mochtar. (RTW)

Related posts: