Oleh: Andi Surya Nusantara Djabba
(Pengurus BEM Fakultas Hukum Unhas Periode 2012-2013)
Studi Franfkrut Institute menyebutkan bahwa, media adalah sarana informasi yang bergerak dalam dinamika pemaknaan makna yang berpeluang laten. Di samping sisi informatif, media juga membawa motifnya yang laten. Media yang menjadi komponen penting dalam kebudayaan kita, telah berkontribusi dalam akses informasi, sarana edukasi, proses pengawalan, dan memudahkan komunikasi oleh hambatan ruang dan waktu. Namun perlu disadari bahwa sikap langsung memercayai tanpa memverifikasi adalah tindakan keliru, karena berdiri di atas garis objektivitas adalah jargon yang butuh untuk terus dipertanyakan. Sikap kritis terhadap pemberitaan dan motif wacana membawa hasil wawasan yang semakin luas dan tidak naif dalam menyikapi suatu peristiwa. Jika setiap media mendeklarkan membawa pesan pemberitaan yang objektif, mengapa kemudian tidak diperketat ketentuan mengenai syarat pemberitaan dalam klausul yang objektif, independen, dan mendidik?
Menurut Max Webber, media adalah sarana informasi yang menyampaikannya dalam keadaan berimbang (1870). Pada awalnya media merupakan sarana yang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak dalam bentuk teks. Seiring perkembangan zaman, penyebaran informasi yang pada mulanya hanya diakomodasi dalam bentuk teks telah mengalami inovasi. Kini masyarakat dapat mengakses informasi dalam bentuk visual dan audio. Media teks, visual, dan audio kemudian berkembang dalam berbagai jenis model pemberitaan yang mengelilingi segenap aktivitas manusia. Media visual TV yang sudah menjadi barang wajib dalam ruang keluarga, mobile phone telah dilengkapi dengan fasilitas internet yang kapan pun siap diakses, dan media koran sudah menjadi pegangan harian di kantor dan saat bersantai di rumah.
![]() |
google.com |
Di tengah kepungan arus informasi yang mengelilingi aktivitas manusia. Manusia merasa dekat dan memosisikan media sebagai fungsi informasi, edukasi, dan interaksi dalam tataran yang intim. Kebutuhan akan informasi yang diasup oleh media menempati posisi primer, sekaligus memosisikan media di tempat yang penting dan strategis dalam kebudayaan manusia.
Fungsi media yang pada awalnya hanya mengikuti dan memberitakan suatu peristiwa, kini bertambah kegunaannya sebagai pengawal peristiwa, propaganda, periklanan produk dan membentuk figur dalam kepentingan hegemoni massa. Dalam kebudayaan kontemporer, siapa yang berhasil menguasai media massa maka ia memegang tools hegemoni mental yang mampu mengindoktrinasi kemudian mengarahkan massa sesuai kepentingannya. Sederhananya, orang akan cenderung mengonsumsi sebuah produk yang pernah di iklankan dalam TV dibandingkan produk yang tidak dipromosikan di media manapun, walaupun kita belum tahu mengenai kualifikasi masing-masing produk. Opini masyarakat terhadap suatu peristiwa tertentu akan lebih masif ditanggapi apabila media mengangkat peristiwa tersebut dan menimpa peristiwa lain yang tidak diberitakan media. Membentuk calon peserta pemilihan umum dengan mengemas sang calon sedemikian rupa sehingga mendefinisikan secara taktis konsep pemilih. Bukan sebuah persoalan ketika yang menilai kemasan tokoh adalah pemilih cerdas, permasalahan terjadi ketika pemilih langsung meyakini kemasan yang dikonstruk tokoh dalam media tanpa ada proses verifikasi mengenai isi kemasan.
Refleksi media dalam kebudayaan
Terkait dengan mobilisasi politik dan citra produk yang dikemas oleh media. Diperlukan proses identifikasi terhadap tawaran-tawaran tersebut. Apakah rasional, relevan, dan berkapabilitaskah kampanye serta tokoh tersebut? Apa kebutuhan kita pada produk? Jangan sampai kita mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kita tidak tahu urgensinya dan membeli sesuatu hanya karena stimulasi hasrat oleh media. Menggiring kita secara teratur menuju tujuan-tujuan pelaku hegemoni.