web analytics
header

Malapetaka Akil


Oleh: M. N. Faisal R. Lahay
K
asus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, berbuah malapetaka. Bukan hanya saat Akil tertangkap, namun hingga kini pun bayang-bayang kejahatannya masih berbekas. Seperti yang sudah diramalkan oleh beberapa pihak, insiden tersebut akan berefek pada kelanjutan kinerja MK. Bak kotoran hitam yang menodai kain putih. Sukar dihilangkan.
Setelah memutus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Maluku, Kamis (14/11), MK kembali diserang. Kali ini oleh sejumlah oknum penggugat yang tidak puas akan putusan MK tersebut.
Putusan KPU setempat yang seyogyanya telah meloloskan dua pasangan calon ke putaran kedua itu, dinilai patut untuk digugat ke MK. Namun putusan MK terkait dengan kasus tersebut justru berujung pada penolakan gugatan dari pemohon. Sayangnya, para pemohon yang tidak menerima putusan tersebut bertindak anarkis. Perusakan terjadi di dalam dan di luar gedung MK.
google.com
Sungguh ironis. Tempat sidang yang dulunya memiliki kewibawaan tinggi, kini harus rela diinjak-injak. Bukan oleh ketua parpol atau pejabat eksekutif. Namun oleh segelintir oknum masyarakat sipil yang tidak bertanggung jawab.
Jika Jimly Ashshidiq pernah berkomentar untuk menghukum mati Akil karena perbuatannya, entah cacian apa yang akan dilontarkannya kepada Akil setelah melihat kasus ini. Mengingat jerih payahnya selama ini dalam membangun integritas MK.
Terlanjur cacat
Mungkin kita memang tidak bisa serta merta menghubungkan tindakan anarkisme ini dengan kasus Akil. Namun masyarakat terlanjur terpropaganda oleh kasusnya. Sehingga mau tidak mau, semua keganjilan dalam tubuh MK, akan selalu dihubungkan dengan aib tersebut.
Sekarang simpatisan MK sedang gencar mencari solusi untuk mengembalikan wibawa lembaga tersebut. Mulai dari persyaratan kualifikasi hakim konstitusi, sampai komposisi penetapan unsur-unsur hakim.
Sedikit mengutip pendapat dari Irman Putra Sidin, pakar hukum tata negara Indonesia. Ia berkomentar dalam sebuah forum diskusi di salah satu stasiun televisi swasta. Baginya komposisi hakim konstitusi tidak boleh diubah. Karena formulasi yang menempatkan perwakilan dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif pada kursi hakim konstitusi, merupakan cerminan konsep Trias Politica dari Montesqeu. Di mana ketiga kekuasaan tersebut bersatu dalam tubuh MK.
Tapi pertanyaannya sekarang, apakah konsep tersebut akan selalu selaras dengan perkembangan hukum di Indonesia saat ini? Mengingat sulitnya para stake holder negara ini untuk mendapat kepercayaan dari masyarakat. Diperparah dengan kasus Akil tersebut. Sangat miris.

Seperti yang penulis sampaikan di atas, bak kotoran hitam yang menodai kain putih. Sukar dihilangkan. Meskipun bukan tidak mungkin, namun tetap saja tidaklah mudah. Suatu “PR” baru bagi Hamdan Zoelva dalam misinya untuk membangun kembali marwah MK.

Related posts:

Mufakat: Musyawarah Cepat tapi Cacat

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) Berangkat dari seutas pertanyaan yang sampai sekarang tak terjamah di grup