Makassar, Eksepsi Online—Forum Nasional Anti Penyalahgunaan Narkoba Wilayah Sulawesi Selatan melakukan aksi penolakan atas kebijakan pemerintah yang memberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Forum tersebut terdiri dari beberapa lembaga, antara lain, Gerakan Mahasiswa Anti-Narkoba Fakultas Hukum Unhas (Germatik FH-UH), Mahasiswa Peduli HIV/AIDS dan NAPZA Universitas Negeri Makassar (MAPHAN UNM), Lembaga Anti-Narkotika dan HIV/AIDS (LANHA) Universitas Sawerigading, Komunitas Anti-Narkoba UMI (KONAMI), dan LAPHAN Sulsel.
Menurut aksi yang digelar di bawah Fly Over Makassar, Senin (17/2) tersebut, pembebasan bersyarat itu akan berimplikasi terhadap tidak tercapainya target “Indonesia Bebas Narkoba” pada tahun 2015. “Inilah fakta bahwa target Presiden SBY 2015 tersebut tidak akan tercapai, sekaligus sebagai ketidakbecusan Presiden SBY dalam menangani persoalan yang merusak harkat dan martabat Bangsa Indonesia, dan terkait dengan konstruksi peraturan presiden tentang komitmennya terhadap kasus-kasus yang merusak generasi bangsa.” Itulah kutipan pernyataan sikap dalam selembaran Aksi tersebut. Senin (17/2/2014).
![]() |
Schapelle Leigh Corby/www.palingaktual.com |
Dalam aksi ini juga, diungkapkan tindakan pemerintah memberikan pembebasan bersyarat tersebut, akan berdampak negatif secara global bagi Indonesia. Dampak negatif tersebut berupa opini publik bahwa pemberian grasi oleh presiden kepada narapidana internasional menunjukkan bahwa Indonesia sudah tidak lagi memiliki komitmen untuk memerangi narkoba sebagai musuh bersama dunia. Artinya persoalan pemberian grasi kepada narapidana narkoba internasional itu justru akan kontra-produktif terhadap citra Presiden SBY. Serta justru akan mencemarkan kredibilitasi Indonesia di mata dunia internasional.
“Kita sudah kehilangan napas demokrasi. Di saat Bangsa Indonesia menyatakan perang terhadap tindak penyalahgunaan narkoba, justru Presiden SBY menggunakan kekuasaanya secara sewenang-wenang,” Ujar Irwandy Husni, Ketua Germatik FH-UH.
Mahasiswa FH-UH tersebut juga menambahkan, bahwa presiden terlalu komprimistis dalam mengambil keputusan ini, sehingga kepentingan negara bukan lagi menjadi prioritas utama. “Apa bedanya dengan otoriter jika extra ordinary crime semacam pengedar narkoba malah seenaknya diberikan grasi? Saat ini kita berbaju demokrasi, tetapi kenyataannya otoriter. Jikalau kita cinta Indonesia, maka kita harus tetap satu suara dalam memberantas kejahatan narkoba tanpa pandang bulu.”
Adapun tuntutan sikap dari aksi tersebut antara lain, meminta Presiden SBY untuk mencabut grasi terhadap Ratu Marijuana Corby, menghilangkan pemberian grasi kepada tindak pidana narkoba, revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan mencabut hubungan diplomatik Indonesia-Australia. (Rio Atma Putra/Magang)