web analytics
header

Koalisi Partai Jelang Pilpres Masih Pragmatis

Suasana dialog Orasi LeDHak Unhas terkait problematika koalisi partai politik, Jumat (30/5)

Suasana dialog Orasi LeDHak Unhas terkait problematika koalisi partai politik, Jumat (30/5)
Suasana dialog Orasi LeDHak Unhas terkait problematika koalisi partai politik, Jumat (30/5)

Makassar, Eksepsi Online-Koalisi sejumlah partai jelang pemilihan presiden (pilpres) dinilai masih pragmatis. Alasan partai mengadakan koalisi masih dilandasi kepentingan dan bagi-bagi kekuasaan, tidak lagi berbasis ideologi, baik agamais, sosialis, maupun nasionalis. Persoalan ideologi dinilai Direktur Serum Institute Muhtar, akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan partai dan kadernya di pemerintahan. Ia mengatakan bahwa ketika ideologi antarpartai dijabarkan secara teknis, sangat rentan terjadi ketidakcocokan.

“Saya melihat koalisi sekarang cenderung rapuh karena didasarkan pada hal-hal praktis. Selain itu, koalisi juga tidak didasari pertimbangan ideologi,” ungkap Muchtar pada acara Orasi (Obrolan Penting Aktualisasi Konstitusi) “Koalisi, Solusi dalam Kontroversi” yang diadakan Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LeDHak) Unhas, di Ruang Senat Fakultas Hukum Unhas, Jumat (30/5).

Selain itu, koalisi juga terkesan hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi dalam pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Persyaratan tersebut mengharuskan perolehan 25 persen suara nasional atau 20 persen perolehan kursi di DPR bagi partai untuk dapat mengajukan calon presiden (capres). Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas Akbar Nasemuddin selaku pembicara diskusi menyatakan bahwa koalisi partai tidak lagi dilandasi kesamaan ideologi untuk membangun pemerintahan yang kuat. “Saat ini, koalisi hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi,” ungkapnya.

Alumni FISIP Unhas Andreas Riesfandhy yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan koalisi partai jelang pilpres tidak dapat dihindari. Itu karena Indonesia menganut sistem multipartai. Akibatnya sulit memenuhi persyaratan administrasi pengajuan capres tanpa koalisi. Keadaan diperparah animo masyarakat untuk membentuk partai baru tidak dapat dibendung setelah runtuhnya orde baru yang mengekang kebebasan. Selain itu, ia juga melihat lahirnya sejumlah partai disebabkan ketidaksolidan dan pertentangan internal kader. Ia mencontohkan sejumlah partai yang embrionya berasal dari Partai Golkar.

Persoalan multipartai dalam sistem presidensial dinilai dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sejak pemilihan langsung diadakan tahun 2004, Muhtar menilai kombinasi antara sistem presidensial dan multipartai tidak terelakkan. Akibatnya, partai terpaksa berkoalisi agar pemerintahan berjalan efektif, yaitu adanya basis dukungan legislatif bagi eksekutif. “Saya melihat sebenarnya sistem multipartai tidak cocok diterapkan pada negara dengan sistem pemerintahan presidensial,” ungkapnya.

Selain dihadiri sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum dan FISIP Unhas, acara Orasi kali ini juga dihadiri sejumlah mahasiswa lembaga debat dari UIN dan UMI. Orasi sendiri merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan sekali dalam sebulan. Terkait alasan mengangkat persoalan Koalisi saat ini, Ketua LeDHak Rizal mengungkapkan bahwa koalisi partai, selain dipandang sebagai solusi, juga menimbulkan sejumlah kontroversi. “Di dalam konstitusi dijelaskan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Tapi kemudian secara implementasi dalam ketatanegaraan, ada namanya koalisi, padahal dalam konstitusi tidak mengiyakan hal tersebut,” jelasnya. (RTW)

Related posts:

Kongres KEMA Kembali Digelar DPM FH-UH

Makassar, Eksepsi Online (24/12) – Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (DPM FH-UH) kembali menggelar Kongres Keluarga Mahasiswa (KEMA)