Jika diamati berbagai pengertian kedaulatan, maka setiap orang khatam bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi. Ada melekat dasar pembenar bahwa kekuasaan tersebut harus diterima dan dihormati. Esensinya adalah wibawa yang membuat orang turut terhadap pihak berdaulat. Untuk itu, keputusan yang diperoleh dari pengejawantahan kedaulatan semestinya dihormati. Terkait kedaulatan dalam penyelenggaran pemerintahan Indonesia, maka Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Polemik tentang sistem pemilihan kepala daerah (pikada) dalam revisi UU Pilkada penting juga diurai melalui pendekatan kedaulatan rakyat. Klausul konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat sangat berkorelasi dengan prinsip demokrasi. Abraham Lincoln mengartikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Untuk itu, jelas bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh Negara Republik Indonesia.
Merebaknya sistem demokrasi di hampir semua negara di dunia sebagai sistem yang dianggap ideal dalam menata kehidupan bernegara bukanlah tanpa alasan. Jika dikaji secara historis, maka itu tidak terlepas dari terpustnya kedaulatan pada segelintir orang otoriter. Keadaan ini dapat dibuktikan dari sejumlah gerakan pro demokrasi di Timur Tengah. Di Indonesia, demokrasi merupakan buah tuntutan reformasi sebagai antitesa keotoriteran Orde Baru. Buahnya, demokrasi dipertahankan karena menempatkan individu secara egaliter. Oleh karena itu, memilih pilkada oleh DPRD merupakan kemunduran peradaban, yaitu kembali ke “medan pertempuran bunuh diri”.
Pertimbangan menolak pilkada oleh DPRD dihubungkan dengan konsep kedaulatan rakyat adalah:
- Menghilangkan Partisipasi Rakyat
Demokrasi terkait pemilihan pemimpin dan perumusan kebijakan mendukung tegaknya prinsip partisipasi rakyat, termasuk upaya kontrol. Tanpa melalui prinsip demokrasi, hak rakyat untuk berpartisipasi terhadap jalannya pemerintahan pun terbatasi. Dengan begitu, hadirnya DPRD sebagai perantara pemandat kedaulatan (rakyat) dan pemerintah (kepala daerah) sama saja dengan mengebiri kedaulatan rakyat.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintah dilakukan melalui DPRD yang memiliki fungsi pengawasan. Konsep ini tidak lepas dari konsep perwakiln rakyat. Tujuannya adalah simplifikasi banyaknya pendapat rakyat ke dalam satu kebulatan pendapat. Ini tentu dapat berjalan jika anggota DPRD betul-betul menyerap aspirasi rakyat.
Persoalannya kemudian, jika hak rakyat untuk mengontol kebijakan pemerintahan sudah dimandatkan rakyat kepada DPRD, maka jangan lagi pemilihan kepala daerah diembat. Alasannya adalah terkait independensi kedua cabang kekuasaan tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana praktik kolusi dan nepotisme akan terjadi jika pihak yang diawasi dipilih langsung oleh yang mengawasi. Singkatnya, prinsip check and balance hanya mungkin terjadi jika kepala daerah dan anggota DPRD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Rakyatlah yang mendesain dan mengontrol keuasaan kepala daerah dan anggota DPRD.
- Pemerintah dan Anggota DPRD Mengabaikan Rakyat
Partai sebagai preferensi utama anggota DPRD dalam membuat keputusan berakibat pengabaian aspirasi rakyat. Anggota DPRD dipastikan turut pendapat fraksi partainya di DPRD jika tidak ingin dipecat dari partai dan keanggotaan DPRD. Jadi, pertimbangannya tidak lagi terkait kompetensi calon kepala daerah, malainkan warna partai. Jika seorang calon kepala daerah diusung anggota partai koalisi yang menguasai dominan kursi DPRD, maka dipastikan dialah pemenang. Itu karena keputusan di DPRD selalunya didasarkan mekanisme voting.
Jelas bahwa aspirasi rakyat sebagai pemberi mandat akan diabaikan jika pilkada oleh DPRD. Pengabaian itu termasuk saat perumusan kebijakan publik yang hanya akan menjadi pembicaraan dan kesepkatan internal kepala daerah dengan anggota DPRD. Oleh karena itu, jika kita menyepakati ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti akan korup, maka pilkada oleh DPRD bisa dipastikan sangat berbahaya.
Ditulis pada hari Selasa, 23 September 2014
Ramli
Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (LPMH-UH)