web analytics
header

Zainal Arifin Mochtar Nilai Pilkada oleh DPRD Tak Berdasar

Zainal Arifin Mochtar hadir sebagai pembicara pada acara Dialog Hukum: Membedah RUU Pilkada dan UU MD3 di Ruang Harifin A Tumpa FH-UH, Kamis (25/9).

Zainal Arifin Mochtar hadir sebagai pembicara pada acara Dialog Hukum: Membedah RUU Pilkada dan UU MD3 di Ruang Harifin A Tumpa FH-UH, Kamis (25/9).
Zainal Arifin Mochtar hadir sebagai pembicara pada acara Dialog Hukum: Membedah RUU Pilkada dan UU MD3 di Ruang Harifin A Tumpa FH-UH, Kamis (25/9).

Makassar, Eksepsi Online-Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh DPRD tidak punya dasar. Ia menuturkan, jika ditelusuri sejarah amandemen UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, harus ditafsirkan dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, menurutnya tafsir bahwa pilkada melalui DPRD sesuai dengan sila keempat Pancasila tidak tepat. Hal itu karena klausul permusyawaratan rakyat pada sila tersebut bukan dimaksudkan terkait mekanisme pemilihan pejabat publik, melainkan permusyawaratan terkait keputusan atau kebijakan publik.

Pernyataan itu diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin pada acara Dialog Hukum: Membedah RUU Pilkada dan UU MD3 yang diselenggarakan Forum Diskusi Pascasarjana Fakultas Hukum Fakultas Hukum Unhas bekerjasama dengan Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Acara tersebut diselenggarakan di ruang Harifin A Tumpa Fakultas Hukum Unhas (FH-UH), Jumat (26/9).

Lebih lanjut, pernyataan bahwa pilkada langsung sarat dengan politik uang juga dinilai Zainal Arifin tidak tepat. Ia menilai bahwa pilkada melalui DPRD hanya akan memindahkan permainan uang ke dalam lingkup badan eksekutif dan legislatif di daerah. Sebagai solusinya, ia menyatakan bahwa biaya politik dan ongkos politik dapat ditekan melalui regulasi serta penegakan sanksi hukum bagi pelaku politik uang.

Selain itu, kesimpulan bahwa korupsi oleh kepala daerah marak selama pilkada langsung diberlakukan sejak tahun 2005, tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Zainal Arifin menyatakan tidak ada korelasi antara kasus korupsi kepala daerah dengan sistem pilkada langsung yang dinilai berbiaya tinggi. “Korupnya kepala daerah itu karena kewenangannya besar, bukan karena pilkada,” jelasnya.

Pandangan lain diungkapkan Dosen FH-UH Romi Librayanto yang juga hadir sebagai pembicara. Ia menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah membuat runyam sistem ketatanegaraan. Menurutnya, tidak tepat jika pemilihan presiden dan pemilihan kepala desa menurut UU Desa dilakukan secara langsung, sedangkan gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh DPRD. “Dari sudut pandang intepretasi sistematis, ini sulit diterima,” ungkapnya.

Secara umum, Zainal Arifin dan Romi Librayanto menilai kukuhnya sejumlah besar anggota DPR untuk menetapkan sistem pilkada oleh DPRD dalam UU pilkada pada Kamis (25/9), tidak lepas dari fragmentasi partai setelah pemilu presiden. Dalam sidang paripurna DPR tersebut, dari 361 anggota DPR yang ikut voting, 226 memilih pilkada oleh DPRD dan hanya 135 yang memilih pilkada langsung. Sebanyak 110 anggota DPR Fraksi Partai Demokrat yang menghadiri sidang memilih walk out.

Menilai terdapat sejumlah cacat formil dan materil dalam UU Pilkada yang telah disepakati DPR, Zainal Arifin dan Romi Librayanto menilai bahwa mekanisme Judicial Review ke MK patut ditempuh. (RTW)

Related posts: