web analytics
header

Perjuangan Terselubung

Ramli (Pengurus LPMH-UH)

Lahir dari keluarga mapan membuat rasa kasihannya sulit tergugah. Namanya Akmal, seorang mahasiswa, anak dekan. Ia jadi sering terusik tingkah teman-temannya yang gemar membahas masalah kebangsaan. Baginya, tak ada yang lebih menarik daripada mempelajari dan memainkan aplikasi game luncuran terbaru. Setiap kali temannya akan melakukan aksi unjuk rasa, ia malah tancap gas kembali ke rumahnya, lalu bersembunyi di balik selumut. Asalkan tak mengusik ketenangannya, masalah orang lain bukan beban baginya.

Di suatu sore, prinsip hidupnya melenceng 180 derajat. Ada alasan ia turut gerombolan mahasiswa yang lagi-lagi turun ke jalan, menuntut dugaan korupsi rektor diusut. Di balik kaca mobil mungilnya, ia memperhatikan massa aksi berarak. Hingga fokusnya tepat di wajah Ayu, mahasiswi cuek yang membuatnya tergila-gila. Sigap saja ia bergegas menggabungkan diri. Dipikirnya, kerumunan massa adalah kesempatan emas baginya meneliti wajah si gadis pujaan tanpa ketahuan. Di balik celah gerombolan, ia akan leluasa memfoto paras gadis berpipi tembam itu sembunyi-sembunyi.

Sesampainya di titik aksi, ia menyelinap di antara benteng massa yang menjauhkan jaraknya dari Ayu. Sampai juga ia di posisi yang dinantikannya, berdiri tepat di samping Ayu. Diam-diam, dengan berusaha tanpa mengusik, ia rekam gambaran si mata sipit itu di benaknya. Tak ada yang perlu ditakutkan. Ia sadari betul, bagaimana Ayu yang cuek dan tidak mudah teralihkan tak akan memperhatikannya. Padahal sedari tadi ia mengintipnya dari samping, sedangkan Ayu hanya terpaku pada sang orator. Tapi baginya tak masalah.

“Hai Ayu, yang kau kenakan ID Card apa?” tanya Akmal gerogi.

“Oh, ini. Saya wartawan kampus. Kenapa memang?” balasnya bertanya.

Belum sempat dijawab Akmal, Ayu bergegas menuju belakang kerumunan massa demonstran. Terjadi bentrok mahasiswa lawan polisi setelah pengunjuk rasa menutup jalan raya secara total. Ayu pun gesit mengambil foto kerusuhan, sedangkan Akmal sangat mengkhawatirnya. Bongkahan batu mulai melesat dari arah berlawanan. Pandangan Akmal hanya mengiringi ke mana kaki Ayu melangkah. Tapi Ayu sendiri seperti tidak mempedulikannya.

“Awas!” teriakan itu teredam di antara riuhnya suara. Hampir saja batu mendarat di kepala Ayu jika saja Akmal tak sigap menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya ke dalam dekapan. Tawuran terlihat makin kacau. Mereka berdua pun berlari seiring, lalu bersembunyi di sebuah beranda kecil yang kosong, tempat warga biasanya berjualan. Mereka merunduk berdua di balik meja, hanya terdiam, dan tak ada yang mulai bertanya. Di luar, suasana mencekam hingga polisi melakukan penyisiran. Terpaksa mereka memberanikan diri berlari keluar, menghindar dari kemungkinan ditemukan polisi ganas. Mereka kini menuju arah berlawanan.

***

Berawal di hari yang mencekam itu, Akmal mulai tertarik dan memberanikan diri ikut dalam aksi demonstrasi. Ia yakin, setiap kali ada aksi demonstrasi, Ayu pasti akan muncul meliput. Ayu jadi alasannya merubah haluan hidup, ke arah yang diistilahkan orang dunia aktivis mahasiswa. Bahkan semenjak saat itu, ia tidak pernah melewatkan sekali pun aksi demonstrasi tanpa turut.

Lama waktu berjalan, Akmal selalu muncul dalam kegiatan pergerakan mahasiswa di kampus. Ia pun gemar ikut kajian dan merelakan jadwal nonton film baru di bioskop terlewatkan. Bahasannya kini tidak lagi tentang bagaimana dirinya, tetapi bagaimana keadaan orang lain. Sampai akhirnya semangat perlawanannya mendapat pengakuan mahasiswa lain. Panggung demonstrasi pun tidak pernah berlalu tanpa orasinya yang membakar semangat. Kini ia keseringan berdiri di samping Roby, jenderal lapangan aksi kawakan. Roby merupakan senior Akmal yang juga sering memanasinya tentang fenomena ketidakadilan sosial.

Di balik perubahan drastis yang dialami Akmal, tetap Ayu menjadi motivasinya. Dia merasa sangat percaya diri kala diperhatikan Ayu saat orasi. Apalagi sampai Ayu memotretnya. Dia selalu merasa beruntung jika Roby enggan diwawancarai, hingga ia diminta meladeni Ayu. Suasana batin berbeda ia rasakan tiap kali bertatapan dengan Ayu saat wawancara. Ia tetap merasa asing, apalagi ekspresi wajah Ayu sangat serius. Ayu yang bertindak profesional dan tanpa basa-basi, tidak memberikan sedikit pun ruang untuk bersendau-gurau. Kesempatan seperti itu selalu ia lalui tanpa bertanya tentang aku dan kamu.

Ayu memang terlihat berbeda dibanding teman-temannya. Ia sorang organisatoris, sedangkan temannya hanya sibuk mengurusi tren mode masa kini. Ia memang suka tantangan, sehingga ia terjun ke dunia jurnalistik. Dunia yang menurut kebanyakan orang tidak akan memberikan ketenangan hidup. Bahkan saking semangatnya, tanpa rongrongan redaktur, ia tekun terjun ke lapangan untuk melakukan peliputan. Bahkan jika kasusnya tentang demontrasi mahasiswa yang menuntut pengusutan kasus korupsi rektor, ia selalu memaksakan untuk meliputnya.

Tanpa ada mengetahui, sebenarnya Ayu mengagumi sosok komandan pengunjuk rasa. Tak seorang pun dapat mengalihkannya. Semua berawal ketika batinnya tergugah menyaksikan sang idaman menggendong nenek renta menyeberang jalan raya. Sering juga ia melihatnya berbagi makanan dengan anak jalanan. Biasanya ia mengintip mahasiswa pejalan kaki itu di balik kaca helm motornya. Hingga saat ini, ia rela menghabiskan waktu di tempat pertempuran para demonstran yang terkesan tak mengenakkan bagi perempuan. Selain meliput, tujuannya juga untuk melepas rindu pada paras yang mengagumkannya. Untuk setiap demonstrasi yang dipimpin sang idola, tak pernah ia lewatkan. Foto hasil jepretannya pun banyak melenceng dari peristiwa, fokus pada sosok pujaannya. Sesekali, dengan gugup, ia juga akan meminta sang pujaannya diwawancarai, meski sering kali lelaki sederhana itu merekomendasikan orang lain.

***

“Kalian betul-betul mahasiswa yang tidak tahu diri! Dikuliahkan baik-baik, malah melakukan keributan dan penuduhan. Kalian mau apa sebenarnya? Dasar anak kurang ajar!” gertak sang rektor di depan para mahasiswa yang diduga pionir aksi. Ia naik pitam setelah dua hari lalu demonstran melemparkan bom Molotov ke gedung rektorat hingga memicu kebakaran.

Apa mau dikata, keberanian Akmal dan kawan-kawannya berujung pada perlawanan birokrasi kampus. Sang rektor geram kepada para demonstran hingga menjatuhkan sanksi. Berdasarkan surat keputusan yang diterima para demonstran, hanya Akmal yang disanksi drop out, sedangkan lainnya hanya dijatuhi sanksi skorsing. Di benaknya, Akmal mempertanyakan kembali sikap nekatnya. Ia membayangkan momok menakutkan jikalau orang tuanya mengetahui bahwa ia akan meninggalkan bangku kuliah tanpa gelar.

Sang rektor pun menampakkan sejumlah foto aksi demonstrasi. Dari foto-foto yang diperlihatkan sang rektor, sekilas Akmal paling berperan memprovokasi pengunjuk rasa. Bukti lain terkait data dan hasil wawancara yang seingatnya tidak pernah ia ungkapkan, kecuali kepada si wartawan kampus, Ayu. Padahal setiap kali wawancara, jika terlontar kata makian untuk sang rektor, ia selalu minta untuk off the record. Kecurigaannya pun menjurus ke Ayu.

***

Akhirnya, dugaan kasus korupsi sang rektor menemui titik terang. Sang rektor ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian atas dugaan menyalahgunakan dana beasiswa. Bersamaan dengan itu, kabar mengejutkan sampai kepada Akmal. Ayahnya yang menjabat dekan juga terseret kasus yang selama ini ia tuntut diusut tuntas.

Di hari para tersangka diperiksa pihak kepolisian, dari kejauhan, Akmal menerka raut wajah seorang perempuan. Dia adalah Ayu, gadis yang ia diidamkan namun tega menjahatinya. Rasa gusar membawanya tanpa ragu mendekati gadis itu.

“Hei Akmal, Apa kabarmu? Bagaimana kabar Roby?” tanya Ayu mendahului dengan wajah ceria ketika sadar Akmal mendekat kepadanya.

“Kami baik-baik saja. Apakah tidak perlu kupertanyakan lagi tentang ID Card-mu?” tanyanya segera dengan nada datar.

Raut wajah Ayu nampak polos. “Maksud kamu apa?”

“Jujur saja, kamu wartawan suruhan kan? Apa maksudmu menyampaikan ke Ibu rektor tentang semua hasil wawancara yang sudah kutegaskan off the record? Ternyata kau sangat biadab, lebih daripada penjilat di atas penjilat. Aku menyesal pernah menyimpan kagum padamu,” solotnya sambil mengarahkan jari telunjuk ke wajah Ayu.

Mata Ayu mulai berkaca-kaca. “Maafkan Aku Akmal. Aku hanya ingin menjaga nama baik keluargaku. Aku tidak ingin kalian terus menuduh Ayahku korupsi. Maafkan aku,” jelasnya sendu.

“Jadi?” tanya Akmal penuh heran.

Tak banyak mahasiswa tahu, termasuk Akmal, Ayu adalah anak sang rektor. Demi nama baik keluarganya, Ayu rela menyalahgunakan profesinya sebagai wartawan kampus yang terkenal idealis dan independen. Ia tak ingin ayahnya dituduh koruptor oleh teman-teman mahasiswanya. Sampai datang saat ia harus memilih antara menjaga nilai luhur tugasnya sebagai wartawan kampus, ataukah menjaga nama baik keluarganya. Ia terpaksa mengorbankan kawan-kawannya.

Amarah Akmal sontak lenyap. Jawaban Ayu membuat perasaannya tersentak. Tak ada lagi keberanian melontarkan caci maki kepada sang rektor. Ia teringat ayahnya yang juga terlibat korupsi. Juga terbayangkan jika saja ia di posisi Ayu saat itu. “Lalu kenapa kau menuduh aku dalang dari terbakarnya gedung rektorat? Kau tahu sendiri kan, Roby adalah jenderal lapangan aksi. Dia juga merencanakan aksi itu. Kan sudah kukatakan padamu.”

“Ayu, Ayo cepat pulang. Untuk apa berbicara dengan lelaki penuduh ini,” perintah sang ayah yang muncul di belakangnya. “Hai kau anak kurang ajar, jangan pernah mengajak bicara anak aku lain kali. Camkan itu!” gertaknya lalu menarik Ayu bergegas meninggalkan Akmal yang masih menyimpan tanya.

Tanpa disadari Akmal, ia dijadikan tumbal oleh Ayu untuk melindungi si lelaki idamannya, Roby. Ia tidak ingin Roby disanksi.

Related posts:

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih

Sumber: Claudio Schwars di Unsplash

“So? What About Us?”

“Michael, I could handle it, I could fight for it, there’s only one question left, do you want to fight for us or not?”