Oleh: Raniansyah (Mahasiswa FH-UH angkatan 2013)
Tahun 2040 atau 24 tahun mendatang, Seorang ayah menceritakan kejadian horor kepada anaknya. Di tahun 2016 ada sebuah kampus berhantu, setiap petang kampus mulai sepi karena ditinggalkan semua orang, pintu-pintu dikunci dan bahkan digembok rapat, lampu-lampu dimatikan. Suasana malam begitu mencekam. Katanya, siapa yang berkegiatan di malam hari akan kena sial bahkan lebih parahnya kena skorsing atau bahkan bisa drop out. Sungguh mengerikan!.
Mahasiswa datang ke kampus sekedar masuk ke kelas (yang beberapa oknum dosennya juga antara ada dan tiada, horor!) dan pulang setelah kelas usai, tidak ada aktifitas lain selain itu, jalan-jalan turut sepi dari gerakan mahasiswa. Birokrasi, pemerintah, mulai seenaknya mengambil kebijakan. Diskusi dan kajian mahasiswa yang biasanya terlihat saat malam hari di kampus tidak ada lagi. Almamater hanya digunakan ketika penerimaan mahasiswa baru lalu digantung rapi dalam lemari yang juga berhantu, setiap malam ada teriakan-teriakan dari almamater merah itu, dia menyesali warnanya yang merah tapi takut melawan penindasan! Penjual pengeras suara portable (toak) mulai gulung tikar, katanya sejak 20 tahun terakhir, dimulai sejak 2016 toak sudah tidak digunakan lagi, tidak ada lagi orang yang teriak melawan, karena bisa jadi hidupnya akan dipersulit atau lebih parah dari itu, kehidupan memang telah berbeda dari dulu.
Tahun 2016, kampus itu mulai berhantu. Merah almamaternya justru beraroma darah pembunuhan yang terus membasah. Mahasiswa tidak lagi melawan penindasan, mereka melawan saudaranya sendiri, konstalasi politik menguat memperebutkan kursi kekuasaan, nafsu untuk berkuasa kian merajalela, bahkan saking horornya di tahun itu di Fakultas Hukum, sebuah kotak suara dipenjara di dalam sebuah ruang. Kotak itu berhantu katanya, sampai dipasang lima gembok di pintunya untuk menjaga agar hantunya tidak keluar. Pada akhirnya hantu kotak suara membuat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEM saat itu seolah penuh drama horor yang tidak menghasilkan, setelah dua minggu lebih dipenjara belum ada yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden sementara kampus kian berhantu.
Di tahun 2016 itu, kejadian mengerikan terjadi dimana-mana. Empat mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan di-skorsing lantaran melakukan kegiatan ramah tamah di malam hari, bayangkan begitu mengerikannya kampus itu, kegiatan ramah tamah pun kena skorsing. Tapi mungkin solidaritas sudah terkafani, gerakan mahasiswa menolak penindasan belum terlihat hingga beberapa hari setelahnya. Kampus benar-benar berhantu, padahal dulunya kampus itu katanya begitu terkenal sebagai patron gerakan mahasiswa. Jika ada demonstrasi menolak kebijakan pemerintah yang melukai rakyat, dapat pastikan almamater merah ada di situ.
Wajar, saat itu banyak pemimpin bangsa yang dicetak, ada yang jadi Hakim Mahkamah Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua KPK, Gubernur bahkan Bupati sudah tak terhitung jumlahnya. Di tahun 2016 semua sudah jauh berbeda, mahasiswa di kampus dipenjara dalam rumahnya sendiri, namun tak bisa berbuat apa-apa. “Sementara ayahmu ini nak waktu itu hanya bisa menulis, setiap mengepalkan tangan kiri rasanya begitu berat. Hari ini ayah menceritakan ini agar generasimu kembali belajar mengangkat dan mengepalkan tangan kiri untuk membela orang orang benar yang haknya diinjak-injak. Jangan seperti generasiku yang hanya bisa berebut kekuasaan tapi memukul saudaranya sendiri!”
“Nak! Kampus ayah berhantu, kembalilah ke sana mengusir hantunya, kembalikan beraninya ‘Si Merah’, ayah rindu suara mahasiswa di jalan menolak dan melawan siapapun yang melukai rakyat, siapapun yang melukai suadaranya. Tahun ini sudah tahun 2040, 5 tahun lagi waktu mencapai puncak generasi emas, kamu harus pastikan kau di dalamnya. Jangan seperti bapak yang hari ini akhirnya hanya bisa menyesal.”
Di dekat kampus berhantu, Makassar, 19 Maret 2016.