web analytics
header

Pemberatan Hukuman Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Oleh:

Prof. Dr. H. Slamet Sampurno Soewondo, SH., MH., DFM

(Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

 

Peristiwa kejadian kekerasan seksual terhadap anak saat ini semakin sulit dikendalikan. Banyaknya predator-predator yang melakukan kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa mereka itu ada dan sangat berbahaya bagi anak-anak kita. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini merupakan suatu penyakit kelainan jiwa yang dikenal dengan nama Pedophilia. Istilah Penyakit ini secara umum menjelaskan salah satu kelainan psikoseksual, di mana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak.

Berita-berita tentang kekerasan seksual terhadap anak banyak diberitakan, baik di media cetak, media elektronik, dan media sosial, menunjukkan semakin meningkatnya kejahatan tersebut.  Hal ini menuntut perhatian seluruh lapisan masyarakat, khususnya Pemerintah (pusat dan daerah) dan lebih khusus lagi adalah aparat penegak hukum.

Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak, pada bulan Januari-April 2014, tercatat sejumlah 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sementara itu, data dari Kepolisian (Polri) mencatat 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi pada tahun 2014. Adapun data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, kasus kekerasan anak di Indonesia hingga April 2015 sebanyak 6006 kasus. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual anak rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya menurut KPAI. (Davit Setyawan, KPAI, 20 Oktober 2015).

Melihat tren jumlah kasus yang ada, diharapkan peran serta dari organisasi pemerhati anak, misalnya KPAI dan Komnas Perlindungan Anak. Peran mereka harus lebih konkrit lagi dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Pemerintah juga dituntut berperan aktif dan lebih fokus untuk mencegah kejahatan atau kekerasan tersebut. Pemerintah harus memperkuat peran KPAI dengan memberi fungsi mediasi dan investigasi serta melakukan pengawalan khusus terhadap penanganan hukum.

Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Inpres ini dikeluarkan sebagai jawaban semakin maraknya kekerasan seksual terhadap anak, khususnya yang terjadi pada Jakarta Internasional School (JIS).

Inpres ini menginstruksikan kepada  para Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Lembaga non Pemerintah, Gubernur dan Walikota/Bupati, untuk mengambil beberapa langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Melakukan pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA), yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia.

Selain itu pada tahun 2014 juga telah disahkan undang-undang tentang perlindungan anak yang baru, yaitu UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi senjata pamungkas untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Dalam UU ini juga telah mengatur mengenai keamanan anak dalam lingkungan sekolah, dan hukuman bagi pendidik yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, jumlah hukumannya pun telah diubah jadi lebih lama. Namun nampaknya tidak dapat membuat efek jera bagi para predator-predator anak, terbukti semakin maraknya kekerasan seksual terhadap anak saat sekarang ini.

Oleh karena itu banyak pengamat dan pemerhati anak menyatakan bahwa Indonesia sudah “Darurat Kekerasan Seksual Anak”. Keadaan inilah yang menimbulkan pemikiran untuk mengoreksi hukuman atau menambah hukuman bagi pelaku kekerasan seksual anak, berupa hukuman pemberatan. Karena hukuman yang ada dianggap tidak dapat memberi efek jera bagi pelaku.

Hukuman pemberatan sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pada Pasal 58 angka (2). Pasal ini menekankan bahwa pelaku kekerasan seksual (perkosaan terhadap anak) harus dikenakan pemberatan hukuman. Hal inilah sebenarnya tidak diperhatikan oleh pembuat undang-undang, sehingga tidak terakomodir dalam undang-undang yang baru disahkan tentang perlindungan anak. Perlu diketahui, kata pemberatan hukuman yang dimaksud bukan dimaknai sebagai hukumannya diperlama waktunya, melainkan selain hukuman penjara ada tambahan hukuman dalam bentuk lain, misalnya pada korupsi,  uang pengganti.

Presiden Joko Widodo, merespon posisitf ide tentang hukuman tambahan mengenai pemberatan kepada pelaku kekerasan seksual anak.  Terobosan baru dilakukan dengan menginstruksikan untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur tentang hukuman tambahan tersebut. Pembicaraan ini muncul pada Rapat Terbatas Pembahasan Anak, yang dimunculkan oleh Jaksa Agung Prasetyo dan mendapat dukungan dari Ketua KPAI, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan.

Alasan kenapa harus Perppu, karena jika merevisi undang-undang yang ada akan memakan waktu lebih lama dalam prosesnya, sementara tuntutan tentang upaya perlindungan bagi anak ini sudah semakin mendesak. Pemerintah memandang sangat serius kejahatan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Terobosan dengan menerbitkan Perppu tentang pemberatan hukuman, dianggap dapat menyelesaikan atau memberikan perlindungan terhadap anak.

Hal inilah yang menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, penulis melihat bahwa hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, memang patut mendapatkan hukuman tambahan atau pemberatan. Hanya saja hukuman pemberatan tersebut, memang harus dapat membuat jera bagi pelaku.

Pemberatan memang dikenal dalam Hukum Pidana, misalnya dalam Pasal 52 KUHP, pasal ini mengenai pemberatan dalam jabatan, yaitu bilamana seseorang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya. Ada 4 hal keadaan yang menjadi dasar pemberatan, a) melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan, b) memakai kekuasaan jabatannya, c) menggunakan kesempatan karena jabatannya, d) menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya. Selain itu dalam Hukum Pidana seseorang dapat dikenakan pemberatan hukuman karena pengula-ngan atau biasa dikenal dengan nama Recidive. Diatur dalam Pasal 486, 487, 488  dan 368, 387 KUHP.

Berdasarkan KUHP tersebut, maka hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan terhadap anak, dapat diterapkan. Hal itu karena rata-rata pelaku berumur dewasa yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak, bukan malah melakukan semaunya terhadap anak. Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam konsiderannya, menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian bagi yang tidak setuju dengan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak dalam bentuk pengebirian, dengan alasan melanggar hak asasi manusia, sebe­narnya bukan demikian, karena hukuman pemberatan dijatuhkan sebagai akibat orang tersebut telah melanggar hak asasi seorang anak, di mana orang tersebut harus memberi perlindungan kepada anak, berdasarkan konsideran UU No. 35 tahun 2014.

Melihat dari uraian tersebut, penulis setuju dengan hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak berupa pengebirian. Namun, pengebirian dapat dilakukan dengan metode ilmiah yang paling menguntungkan dan dapat berakibat membuat efek jera (deterrent effect). []  

*Tulisan telah dimuat sebelumnya dalam buletin Eksepsi edisi II

Related posts: