Makassar, Eksepsi Online– Mengusung tema “Benci tapi Rindu: Benci Akulturasi dan Rindu Globalisasi” Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LeDHaK) Universitas Hasanuddin (Unhas) mengadakan Obrolan Rutin Aktualisasi Konstitusi (Orasi) yang diselenggarakan di Ruang Harifin Tumpa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH).
Asrullah selaku moderator, memaparkan latar belakang mengusung tema orasi bahwa, terdapat kekhawatiran terhadap Indonesia dengan identitas sebagai bangsa yang besar akan tergerus. Persoalan hari ini, Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa yang kedua di Negara Indonesia. Hal tersebut, menjadi bukti bahwa akulturasi telah merecoki paradigma berpikir masyarakat, khususnya generasi muda, ” paparnya.
Menjadi salah satu pembicara, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemerintah Kota Makassar, Drs. H. Manai Sophian S.H., M.H mengatakan, “Akulturasi sebagai cara pandang kelompok orang dengan kebudayaan tersendiri, dalam menghadapi budaya asing. Dan tidak bisa dipungkiri, bangsa kita tidak mampu melawan budaya luar maupun dibelahan dunia lain.
“Tidak ada konstitusi tanpa moral. Konstitusi hanya menjadi teks ketika penerapannya tanpa dilandasi moral. Adanya globalisasi menjadi imbas terjadinya perang saudara. Dikarenakan, adanya ketimpangan berpikir ketika bertemu dengan budaya lain, ” tutur pembicara lainnya, Dr. Alwy Rachman selaku Budayawan Nasional.
Ia melanjutkan, film uang panai merupakan karya kreatif untuk mengkritik kembali peradaban-peradaban di Sulawesi Selatan. Kebudayaan adalah ingatan dan kekuasaan selalu berkepentingan dengan ingatan. Para generasi baru akan menemenukan ingatan-ingatan baru. Dan disitulah akan mengalami perilaku-perilaku anarki dan kadang-kadang juga mengalami blinded moral,” lanjut Alwi.
Penuturan berbeda, diungkapkan oleh Raniansyah selaku peserta orasi, mengungkapkan bahwa, ”Film uang panai yang dinilai menciderai budaya kita. Namun, Pemerintah Kota Makassar tidak melakukan tindakan terhadap hal tersebut. Sehingga, perlu dipertanyakan upaya-upaya pemerintah Kota Makassar sendiri dalam memproteksi budaya kita,” ungkapnya.
Serupa dengan Raniansyah, “Film uang panai hanya berisi hal-hal yang bersifat lucu, padahal kita tahu sendiri bahwa pada proses pelamaran bersifat sakral. Menonton hal tersebut akan membawa ke dampak negatif dalam persoalan budaya, jika adegan-adegan dalam film tersebut ditiru,”. Mengenai usaha-usaha pelestarian budaya sudah ada yang dilaksanakan dengan memberikan pendidikan ke anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang telah gencar-gencarnya dilakukan oleh SKP.
Selain itu, ada program untuk membina masyarakat untuk cinta terhadap kearifan lokal, dengan menggali potensi budaya dengan membina para budayawan bugis seperti “paccarita” ke Spanyol. Memperkenalkan ragam kuliner serta bahasa lontara kepada masyarakat bugis sendiri, lanjut Manai.
(Ftr)