Makassar, Eksepsi Online – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTNHAN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertempat di Hotel Clarion Makassar. Mengangkat tema “Penataan Kewenanangan MPR dan Penegasan Sistem Presidensil,” FGD yang dilaksanakan Selasa (29/11) dirangkaikan dengan pelantikan pengurus APHTNHAN Sulawesi Selatan (Sulsel). FGD ini dihadiri pengajar HTN dan HAN dari berbagai kampus seperti Unhas, Universitas Indonesia Timur, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Universitas Muslim Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Lamaddukkelleng Sengkang, STIH Amris Pare-pare.
Prof. Ahmad Ruslan, salah satu pembicara menuturkan, sistem presidensil dipandang perlu untuk dipertegas. Hubungan antara presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pembuatan undang-undang diserahkan kepada DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). “Presiden dapat diberi hak untuk memveto undang-undang, tapi tentu tidak semuanya,” katanya. Selain itu, menurutnya, Presiden dalam mengangkat pejabat tidak perlu pertimbangan DPR, sebagai contoh pengangkatan Kapolri.
Dewan Pembina APHTNHAN Sulsel, Prof. Muin Fahmal dalam proses diskusi menyampaikan bahwa permasalahan ketatanegaraan yang perlu dibenahi yaitu perencanaan pembangunan nasional, koalisi partai politik (parpol) pasca pemilihan umum (pemilu), koalisi parpol untuk pemilu, kelembagaan dan kewenangan MPR, fungsi kenegaraan MPR, fungsi DPD, dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut ia menyarankan adendum Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sementara itu, Ketua Panitia, Muhammad Ilham Saputra mengatakan sejak amandemen ke empat UUD 1945, banyak kalangan menilai bahwa kewenangan MPR dikerdilkan, singkatnya hanya memiliki fungsi seremonial saja. “Kecenderungan yang terlihat adalah sistem presidensil menguat dan parlemen melemah,” ujarnya.
Ia pun berharap dari FGD tersebut diperoleh solusi dari masalah yang ada. “Diharapkan ada sumbangsih pemikiran dari akademisi mengenai bagaimana menata kewenangan MPR tanpa melemahkan sistem presidensil,” harapnya. (Inn)