Slamet Riadi
(Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya)
“Peran wanita sering dikesampingkan dalam kemerdekaan. Padahal wanita yang sangat berperan dalam menjalankan siasat perang yang sangat beresiko dibanding mengangkat senjata” Soekarno: Bung Karno penyambung lidah rakyat.
Tulisan ini lahir sebagai gagasan anti patriarki dalam berbagai aspek kehidupan, jujur penulis sangat menggilai kebudayaan bangsa Romawi yang pembaca tentu tahu dan paham betul bahwasanya bangsa Romawi itu sangat patriarki dari segala aspek kebudayaannya. Akhir-akhir ini timeline media sosial penulis tiba-tiba diramaikan dengan pemberitaan “kekerasan seksual” yang identik dengan penghakiman laki-laki terhadap wanita. Banyak komentar yang mengikuti arus pemberitaan isu kekerasan seksual tadi, mulai dari yang berucap menyumpahi tujuh turunan merasakan rasa bersalah untuk pelaku, hukuman seberat-beratnya, sampai kepada adanya anggapan yang sangat maskulin (Baca: Laki-laki Selalu Benar dan Perempuan Tetap Salah) yang mengatakan karena “korban” lah yang menggoda (dari segi tutur, perilaku, dan pakaian).
Narasi Maskulinitas
Di novel Dunia Sophie salah satu filsuf Yunani yang sangat mengabaikan kehadiran sosok wanita di dunia ini ialah Aristoteles. Dalam novel tersebut Aristoteles berucap bahwa “wanita adalah laki-laki yang belum lengkap”. Hal ini menunjukkan sikap tegas Aristoteles melihat posisi laki-laki selalu istimewa di banding dengan posisi wanita. Jika Aristoteles bersuara tentang maskulinitas maka di kebudayaan bangsa Romawi telah lama menerapkan konsep maskulinitas dalam seluruh aspek kehidupannya, lihat saja di sistem pemerintahan mulai dari Raja pertama Romawi sampai Raisar terakhirnya semuanya laki-laki. Sedangkan dalam aspek kehidupan sosial, khususnya penamaan terhadap warga Romawi, laki laki memiliki tiga bagian kata dalam namanya (nama panggilan, nama keluarga/klan, dan nama sifat) sedangkan pada wanita hanya memiliki dua bagian kata yakni nama panggilan dan nama keluarga saja.
Dari kedua kisah di atas jelas tersirat bahwa praktek-praktek maskulinitas telah ada sejak dulu kala, dimana sosok perempuan selalu menjadi sasaran suatu kebijakan, perlakuan, maupun tindakan. Hal ini senada dengan apa yang falsafah Jawa yakini bahwa asal kata wanita itu dalam kepercayaannya yakni “Waniditata” memiliki arti berani ditata atau diatur.
Fenomena Pasang-Surut Kebangkitan Ibu Pertiwi Kita
Pada bulan April kemarin, tepatnya 12 April 2016 pemberitaan media nasional harus mengakui kehebatan sembilan Ibu Pertiwi kita dari Pegunungan Kendeng (penulis menyebut wanita sebagai Ibu Pertiwi) yang melakukan aksi memasung kaki mereka dengan semen di depan Istana Negara. Aksi para Ibu Pertiwi kita ini sentak merusak konstalasi atau pemahaman para tokoh-tokoh maskulinitas yang selalu saja melakukan “Politik Maskulinitasnya” dengan argumentasi kunonya bahwa “laki-laki selalu terdepan dan wanita selalu terbelakang.” Aksi heroik para Ibu Pertiwi dari Kendeng ini harus dilihat sebagai upaya perlawanan yang menyiratkan bahwa ketika para wanita telah bangkit dan sadar akan posisinya maka para penguasa haruslah bersiap!!!.
Aksi Ibu Pertiwi kita dari Kendeng ini, sejenak mengingatkan penulis pada perjalanan seorang ibu yang dahulunya pasif dan terkadang takut namun kini bangkit dan melawan segala penindasan yang terjadi disekitarnya. Yah, kisah ini diceritakan dalam sebuah novel karya Maxim Gorki yang berjudul Ibunda. Sosok Ibunda bernama Pelagia di novel ini lagi-lagi membawa narasi perjuangan dan memiliki keberanian yang tinggi menentang penguasa Rusia pada saat itu.
Namun akhir-akhir ini, seperti penulis tulis di awal tulisan, kebangkitan sosok Ibu Pertiwi kita di tanah air ini kembali mengalami tempat yang dicita-citakan oleh para tokoh maskulinitas yakni dengan maraknya kasus “Pelecehan Seksual” baik yang terjadi di bawah umur maupun wanita yang sudah menginjak kedewasaan. Penulis melihat maraknya kasus pelecehan seksual ini tak bisa lepas dari apa yang penulis sebutkan sebelumnya tentang politik maskulinitas, dimana para laki laki memiliki yang namanya “kekuasaan” pada sosok wanita. Kata kekuasaan di sini diartikan sebagai seni merebut atau direbut, maka dalam konteks ini kekuasaan wanita terhadap laki-laki direbut sedemikian rupa dalam bentuk narasi semisal:
Pertama, adanya perasaan sangat hormat kepada sosok laki-laki yang mungkin didapatkan dilingkungan terdekatnya (baik dalam ajaran keluarga, pendidikan formal/nonformal, maupun dari orang terdekat). Kedua ialah faktor psikologi pengidolaan terhadap sosok “Ayah” bagi seorang wanita, dan yang terakhir faktor keluarga yang sangat sering mematikan identitas serta karir anak wanitanya (hal ini biasa terjadi ketika si anak perempuan telah lulus/menyelesaikan sekolah lansung dijodohkan dengan kerabat keluarga/dipaksa menikah tanpa memperhatikan jenjang karir selanjutnya bagi si anak).
Kemenangan laki-laki dalam perebutan “kekuasaan” ini tentu sangat selaras dengan lahirnya suatu “kepercayaan” kepada sosok yang memenangi pertarungan. Hal inilah yang kemudian begitu berbahaya kepada sosok wanita ketika rasa kepercayaan yang tinggi pada lelaki itu sudah tidak bisa diatasinya. Sebab dari berbagai kasus pelecehan seksual yang telah terjadi ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam perspektif kekuasaan melihat fenomena ini yakni pertama siapa yang “menguasai” maka dia dapat segalanya, dan kedua siapa yang “dipercaya” maka dialah yang akan adidaya.
Rekonsiliasi Politik: Kesetaraan Gender di Era Modernitas”
Sosok adidaya kaum maskulinitas sebenarnya telah mendapat perhatian utama bagi aktivis-aktivis yang terus menyuarakan yang namanya kesetaraan hak dalam segala aspek kehidupan berbangsa maupun bernegara, misalnya di Amerika Latin. Mala Htun dalam tulisannya Budaya, Lembaga, dan Ketidaksetaraan Gender di Amerika latin mengatakan bahwa orang Amerika Latin telah membuat kemajuan mengagumkan dalam menerapkan reformasi hukum untuk memberi kaum wanita kesetaraan resmi, misalnya konstitusi di Brasil, Kuba, Ekuador, Guatamela, Meksiko, dan juga Paraguay. Salah satu bentuk hukum perdata di sana telah diubah untuk menghapuskan lembaga wewenang perkawinan (potestad marital) dan memberi wanita kesetaraan dalam manajemen harta bersama, pembuatan keputusan rumah tangga, dan kewenangan terhadap anak-anak kecil.
Maka dari itu menurut hemat penulis bahwa Ibu Pertiwi kita sudah seharusnya merebut posisi yang setara dalam panggung arena kehidupan bermasyarakat dan berbudaya di era modernitas ini. Terakhir dari tulisan ini penulis meminjam istilah Trisakti Soekarno yang mengatakan bahwa Indonesia harus berdaulat dalam politik, berdikari dibidang ekonomi serta berkepribadian dalam kebudayaan, maka sejatinya para ibu pertiwi kita juga harus berdaulat dalam politik, berdikari dibidang ekonomi serta berkepribadian dalam kebudayaan.
Juara Ketiga Lomba Opini Anniversary LPMH-UH ke-21 dengan Tema “Perempuan dan Kepemimpinan”