Hasbi Assiddiq
(Reporter LPMH-UH periode 2016-2017)
Di antara berbagai fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, terdapat fenomena yang sudah menjadi ritual tahunan, apabila tidak dilakukan rasanya hal tersebut dapat membuat gula tidak lagi manis dan pahit pada kopi hilang sehingga cita rasanya pun ikut hilang. Fenomena kembang api dan petasan yang memekakkan telinga dianggap sebagai ritual khusus di malam pergantian tahun untuk lebih mensahkan pesta pergantian tahun baru tersebut
Setiap malam pergantian tahun, kota-kota besar sampai daerah terpencil di Indonesia memeriahkan pesta akhir tahun dengan membakar kembang api serta petasan. Hal tersebut sudah menjadi kebudayaan dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Jika kita memahami kebudayaan sebagai hal biasa yang terjadi yang selalu dilakukan oleh masyarakat.
Namun ternyata untuk memahami hal tersebut, ketika kita melihat ke belakang kebudayaan membakar kembang api dan petasan pada malam tahun baru bukanlah budaya daerah tanah jajahan yang suka berhura-hura, menghabiskan uang banyak untuk menghibur mata dengan dentuman bunyi yang memekakkan telinga. Budaya tersebut merupakan budaya masyarakat mapan kaum penjajah yang telah terlepas dari permasalahan perut, untuk selanjutnya berusaha memuaskan hasrat mata dan telinga untuk mendapatkan hal baru. Budaya masyarakat jajahan adalah budaya pembebasan untuk mendapatkan kedaulatan, melepaskan diri dari penjajah untuk bersama-sama mendapat kehormatan sebagai seorang manusia yang dilahirkan sama dan seharusnya memiliki hak yang sama. Mereka masih berkutat di wilayah menyejahterakan perut untuk kelompoknya dan semangat kemanusiaan untuk menyejahterakan perut semua umat manusia, tanpa ada yang kita dengar menderita kelaparan dan berakibat tercabutnya hak hidup mereka karena permasalahan tersebut.
Sebagai makhluk yang penuh tanda tanya, nalar ini coba memahami fenomena yang terjadi. Kenapa dalam setiap tahun baru ritual pembakaran kembang api serta petasan menjadi hal yang seolah-olah esensial yang harus dilakukan dalam menyambut pergantian tahun. Menurut penulis, hal ini dikarenakan mereka memiliki karakter yang menyukai perubahan dan hal-hal yang berbeda dari kebiasaan awalnya. Mereka bahkan rela berkorban bekerja keras setiap harinya untuk mengumpulkan uang untuk menikmati hasil jerih payahnya tersebut di akhir pekan dengan berbelanja suka ria mengikuti kata hatinya. Inilah yang penulis lihat, kerja keras yang dilakukan untuk mengumpulkan uang digunakan untuk membeli kembang api dan petasan yang dinikmati hanya beberapa detik saja.
Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan dan ganggu gugat adalah hak mereka untuk menghabiskan uang hasil jerih payahnya untuk melakukan apapun, tak terkecuali dengan membelanjakannya untuk kembang api dan petasan untuk memaperingati pergantian tahun. Kita menggunakannya untuk melihat kilatan cahaya warna-warni yang menyilaukan mata serta dentuman keras dari bunyi yang dihasilkan petasan tersebut yang memekakkan telinga. Terkadang penulis berpikir dari pada membeli mahal-mahal untuk memuaskan mata dengan kembang api, memuaskan telinga dengan petasan, kenapa kita tidak menggunakan lampu warna warni yang terdapat di kafe dan tempat hiburan malam sebagai ganti kilatan cahaya yang menyilaukan. Gas elpiji tiga kilogram yang murah meriah yang terdapat di warung kaki lima sebagai ganti dari petasan yang suaranya memekakkan telinga, jika memang kilatan cahaya dan dentuman keras yang menjadi tujuan utama untuk memuaskan mata dan telinga tersebut. Justru ini lebih murah meriah dan bisa membuat kelebihan dana yang bisa kita gunakan untuk keperluan lain tentunya. Hal tersebut masih dapat membuat kita mendapatkan kilatan cahaya warna-warni dan dentuman yang memekakkan telinga tersebut.
Miris ketika kita menengok saudara kita dibelahan bumi yang lain. Jika kita di Indonesia harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk mendapatkan kilatan cahaya dan dentuman keras tersebut, saudara kita di Timur Tengah terkhusus di wilayah yang masih bergejolak seperti Suriah, Yaman, Palestina dan Irak, tak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kondisi yang serupa dan tak perlu menunggu pergantian tahun baru untuk melakukan hal tersebut. Inilah yang mereka rasakan tiap hari, bom yang jatuh di rumah-rumah mereka yang membuat kilatan cahaya dan dentuman keras yang hampir sama dengan kembang api dan petasan, cuma daya ledak dari apa yang mereka dapatkan mungkin lebih besar dari apa yang kita terima.
Sebuah paradoks jika kita menginginkan esensialitas dari hal tersebut yakni kilatan cahaya dan dentuman keras, jika disisi lain saudara kita yang berada di negara yang sedang bergejolak di Timur Tengah terus berdoa setiap hari agar tidak lagi terjadi hal yang seperti itu. Kita di negeri yang aman dan damai menginginkan hal yang bisa membuat kacau, sementara di negeri seberang sana menginginkan kedamaian. Jika di negeri ini kesejahteraan perut telah teratasi dan akhirnya beralih kepersoalan memuaskan hasrat mata dan telinga, di negeri seberang jangankan kesejahteraan perut, mereka masih berkutat pada persoalan bagaimana cara agar mendapatkan rasa aman dan tenang tiap malam untuk dapat tidur nyenyak pada akhirnya, tanpa harus takut dengan bom yang bisa merenggut nyawa di setiap saat.
Sebuah perspektif lain dalam memandang perayaan tahun baru 2017. Selamat tahun baru, semoga kita semakin merenungi arti kehidupan ini, dan dapat mengambil hikmah di balik setiap fenemona yang terjadi tentunya. Tiada jalan lain, hal tersebut hanya bisa kita dapatkan dengan perenungan, karena menurut Aristoteles kehidupan yang tidak direnungi tidak pantas untuk dijalani.