Makassar, Eksepsi Online – Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Hasanuddin (Unhas), Abd. Rasyid melakukan diskusi membahas draf Peraturan Rektor Unhas tentang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) Unhas bersama pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Unhas di Aula LKPP, Jumat (2/6). Tujuannya, untuk mendapat masukan dari pengurus BEM terkait draf aturan Ormawa. Diskusi ini dipimpin oleh Wakil Ketua Tim Penyusun Rancangan Peraturan Rektor Unhas tentang Ormawa, Prof. Supratman. Terdapat beberapa pasal menurut mahasiswa yang perlu ditinjau ulang dan dilakukan perbaikan.
Ahmad Nursyamsir selaku pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Unhas menilai pasal 1 ayat 10 yang mendefinisikan mahasiswa sebagai peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi di Unhas yang terdaftar pada salah satu program studi di Unhas pada tahun akademik berjalan dinilai membatasi status keanggotaan. Alasannya, di Keluarga Mahasiswa (Kema) FK-UH status mahasiswa memiliki dua jenjang yaitu, klinik dan pra klinik. Klinik ini merupakan mahasiswa yang menempuh studi strata 1 (S-1), sedangkan pra klinik yang menempuh pendidikan profesi. Tak hanya itu, beberapa UKM di FK-UH memiliki status keanggotaan seumur hidup karena memakai asas kekeluargaan.
Didi Muslim Sekutu selaku mahasiswa FH-UH menyatakan draf peraturan Ormawa Unhas belum mengakomodir Ormawa secara keseluruhan. Pasalnya, pada BAB III bentuk dan kepengurusan Ormawa pada draf aturan tersebut hanya mengakui BEM, BPM dan UKM tingkat universitas dan fakultas serta himpunan mahasiswa dan departemen/program studi. Sementara keberadaan lembaga yudikatif tidak diatur.
Selain itu, draf aturan ini tidak memberikan wewenang kepada BEM dan BPM untuk membuat peraturan. “Inikan peraturan rektor pasti ada peraturan pelaksananya nanti, kalau tidak diberi wewenang di mana kira-kira akan diatur mengenai pemilihan BEM, BPM dan bagaimana caranya. Baiknya diberikan wewenang kepada BEM dan BPM untuk membuat peraturan,” jelasnya.
Terkait Pasal 7 ayat 1 tentang pengesahan pengurus Ormawa oleh pihak rektorat dan dekanat, Didi takutkan terjadi penyalahgunaan wewenang nantinya, sehingga Ormawa dapat dibubarkan. “Di mana kita akan mengadu dan mencari proses keadilan,” katanya. Sebagaimana prinsip aturan ini dari, oleh, dan untuk mahasiswa maka seharusnya mahasiswa yang memiliki wewenang untuk membubarkan kepengurusan jika terjadi ketidakpercayaan. “Berikan mahasiswa ruang untuk membubarkan kepengurusan bukan dari birokrasi, kalau begitu formatnya bisa jadi kita terkontrol oleh birokrasi,” tambahnya.
Sementara, Koodinator Riset dan Advokasi Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, (Sema FEB) Unhas, Mannawa Faraby mengatakan, bunyi Pasal 2 ayat 2 yang melarang Ormawa berafiliasi dengan organisasi ekstra, membatasi. Justru terdapat organisasi ekstra yang bisa menunjang proses kinerja Ormawa.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat 3 mengenai penyeragaman masa bakti kepengurusan mulai 1 Januari hingga 31 Desember. Menurutnya, ada kultur tersendiri dari masing-masing Ormawa terkait proses dialektika yang berlangsung. Selain itu, tidak ditemukan urgensi dari penyeragaman waktu tersebut.
Kemudian, Pasal 7 ayat 1 dan 2 mengenai pengesahan kepengurusan oleh pihak rektorat atau dekanat, Aby pun tidak sepakat. Alasannya, secara histori beberapa Ormawa memiliki lembaga yudikatif yang tugasnya melantik kepengurusan. “Kami kurang setuju kalau disahkan oleh birokrasi, seharusnya birokrasi hanya mengetahui,” tegasnya.
Pasal 14 ayat 2 yang berisi pemberian sanksi tidak luput dari sorotan. Aby menyatakan tidak ada indikator dan mekanisme pemberian sanksi yang jelas. “Terkait sanksi, indikatornya sanksi ringan, sanksi sedang, sanksi berat dijelaskan,” ujarnya. Ia pun berharap Ormawa bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan birokrasi, tapi tidak mengintimidasi satu sama lain.
Menanggapi beberapa masukan mahasiswa, Prof Supratman mengatakan baru mengetahui ternyata ada Ormawa yang keanggotaannya profesi dan seumur hidup. Terkait afiliasi organisasi ekstra, ia juga baru mendapatkan bahwa ada organisasi mahasiswa yang se-profesi. “Kita tidak memikirkan ketika membuat pasal-pasal ini bahwa ada organisasi mahasiswa antar perguruan tinggi yang se-profesi dan menurut terminologi mahasiswa itu juga organ ekstra,” ujarnya saat ditemui usai diskusi.
Alasan periode masa bakti diseragamkan sendiri katanya, karena terkait anggaran. Hal ini dilakukan agar penggunaan anggaran satu tahun kepengurusan tidak berpindah ke tahun berikutnya dan pengurus yang lain. Pengesahan harus dari pihak dekanat maupun rektorat juga karena alasan keuangan. Pemberian dana kemahasiswaan ke Ormawa formal dibuktikan dengan surat keputusan (SK) dari pimpinan universitas dan fakultas. Mengenai penggunaan kata mengetahui atau mengesahkan menurutnya itu bukan masalah selama kita sepemahaman mengenai hal tersebut. “Mengetahui atau mengesahkan yang jelas kita sepaham, intinya harus ada legalitas formal karena intinya alokasi anggaran,” tuturnya.
Masukan-masukan dari mahasiswa,kata Prof. Supratman nantinya akan didiskusikan dengan tim kembali, Rabu (7/6). Setelah itu akan dikonsultasikan dengan alumni yang pernah aktif di Ormawa. Ia berharap proses seperti ini bisa di bangun bersama mahasiswa sehingga ada pegangan bersama, karena statuta yang mengatur ini. (Kas)