Sumber : www.astaga.com
Hasbi Assidiq
(Pengurus LPMH-UH Periode 2018-2019)
Pemahaman Awal
Kita menyadari bahwa diri kita bodoh makanya ingin berkuliah. Seandainya kita sudah pintar, maka untuk apa lagi kita harus masuk kuliah. Menjadi pintar saja tidak cukup, berdasarkan istilah pintar dalam KBBI, pintar itu berarti pandai, cakap/cerdik, banyak akal/mahir melakukan suatu pekerjaan tertentu. Sehingga jika kita melihat pendidikan hanya membuat orang pintar atau mahir melakukan suatu pekerjaan, ini saja tidak cukup untuk menjadi manusia. Mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen yang bertumpuk bukanlah indikator kemanusiaan, karena mesin pada robot pun jika telah diprogramkan hal tertentu, maka dia akan mampu menyelesaikan tugasnya.
Hasil akhir yang diharapkan dari suatu pendidikan manusia tentunya tidak sekedar pintar, melainkan yang diharapkan menjadi hasil akhir adalah dia menjadi cerdas. Jika merujuk pada istilah cerdas dalam KBBI lagi, cerdas itu dimaknai dengan kesempurnaan perkembangan akal budi untuk berfikir, mengerti dan sebagainya. Bahkan, kecerdasan itu dipahami sebagai kesempurnaan perkembangan akal budi kepandaian, ketajaman berfikir. Hal ini kurang lengkap. Sebab, jika kita ingin lebih fair maka kesempurnaan perkembangan akal pikiran itu dipahami dengan kesadaran yang lahir dari dalam diri manusia dengan peka melihat permasalahan yang terjadi disekitarnya, dan hadir sebagai orang yang bisa mengurai masalah yang terjadi.
Pendidikan Untuk Mencerdaskan
Kecerdasan ini kemudian dalam istilah terdapat lebih banyak lagi. Terdapat kecerdasan emosional, intelektual, linguistik dan kecerdasan lain-lain. Terkait hal ini kiranya teman-teman dari fakultas psikologi yang lebih berhak untuk menjelaskan hal tersebut. Namun poin utama yang ingin disampaikan bahwa tujuan dari pendidikan bukan sekedar membuat seorang itu ahli membuat kapal, ahli menyelesaikan sengketa hukum, ahli menciptakan usaha di masyarakat, ahli dalam mengobati penyakit, ahli dalam hal membuat obat, atau ahli dalam hal-hal lain. Tujuan dari pendidikan itu bukan hanya sekedar membuat seseorang menjadi ahli, tapi memanusiakan manusia, agar dia memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kesadaran dan tanggung jawab kepada mereka yang tidak memiliki akses seperti yang kita rasakan saat ini. Ini dalam pandangan kami, merupakan tujuan dari pendidikan itu.
Pendidikan bukan sekedar lomba, bukan sekedar saya lebih hebat dari kamu dalam hal ini, melainkan bagaimana kita bisa bekerja sama hebat dalam bidang masing masing. Kehebatan tersebut sebaiknya digunakan untuk membantu mereka yang kurang memiliki akses untuk sama seperti kita. Kita tidak bisa menutup mata dengan mengatakan pendidikan kita baik-baik saja, karena diantara kita masih banyak di luar sana yang belum bisa mengakses pendidikan sama halnya dengan yang kita rasakan. Banyak dari mereka yang kemudian dirampas haknya, tapi karena tidak memiliki pengetahuan ataupum akses terhadap informasi yang cukup sehingga membuat mereka tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkan hak yang mereka miliki.
Orientasi Pendidikan Unhas
Terdapat beberapa catatan kecil yang menjadi keresahan kami melihat sistem pendidikan yang dijalankan di Unhas, khususnya biaya pendidikan tinggi yang diberikan kepada adik-adik calon mahasiswa baru. Sekiranya kami adalah manusia yang egois, maka masa bodoh dengan hal itu, lebih baik kami memikirkan studi kami, Kuliah Kerja Nyata (KKN), mengurus proposal, dan menyelesaikan tugas akhir secepatnya. Akan tetapi, kami tidak dididik untuk menjadi manusia-manusia seperti itu. Manusia-manusia yang hanya memiliki tulang dan daging yang terus berjalan di muka bumi ini yang kita sadari penuh dengan penyimpangan dari berbagai aspek.
Kami dididik oleh dosen-dosen kami di Unhas dan para stakeholder terkait untuk lebih dari itu, menjadi manusia yang peduli terhadap sesama. Masalah yang timbul disekitar kita adalah masalah bagi kami, seperti sebuah tubuh jika salah satu bagian tidak berfungsi maka akan mempengaruhi bagian yang lain sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal. Sikap dari birokrasi jika menolak hal ini adalah penyimpangan terhadap tujuan bernegara, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tujuan bernegara kita sudah sangatlah jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, adalah tanggung jawab kita bersama. Unhas dalam hal ini bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan wujud yang nyata dengan biaya pendidikan yang murah sehingga bisa diakses oleh masyarakat secara umum. Pendidikan yang mahal hanya akan membuat akses pendidikan hanya untuk kelompok tertentu dan tidak bisa diakses oleh kelompok yang lain.
Mekanisme Penerimaan
Fakta yang kita temukan belakangan ini adalah rilis resmi dari laman web Unhas yang menjelaskan kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon mahasiswa baru angkatan 2018 dinyatakan lulus melalui Jalur Non Subsidi (JNS). Mereka diharuskan membayar Dana Pengembangan diluar dana Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan tiap semesternya. Besarnya dana ini juga berbeda-beda tergantung tiap prodi di dalam fakultas itu sendiri, yang paling murah adalah 30 juta untuk beberapa prodi, seperti Sastra Daerah, Arab dan lain-lain. Sedangkan yang paling mahal adalah 200 juta bagi prodi Pendidikan Dokter. Sedangkan, untuk prodi Ilmu Hukum sendiri diharuskan membayar uang senilai 50 juta (http://unhas.ac.id/pmb/index.php/jpmb/jns/ukt).
Terdapat beberapa jenis pembayaran yang diwajibkan bagi Mahasiswa yang ingin masuk ke Unhas melalui jalur ini. Pertama adalah biaya registrasi senilai 750 ribu dibayarkan pada waktu pendaftaran, hal ini dilakukan bagi semua pendaftar baik itu yang lulus maupun yang tidak lulus. Kedua adalah biaya UKT yang dibayarkan tiap semesternya. Tahun ini Unhas menggolongkan UKT sampai batas kelompok tujuh. UKT terakhir ini merupakan jumlah yang paling mahal dari UKT lainnya. Kelompok yang lulus lewat jalur ini tidak diberikan pilihan untuk memilih golongan kelompok UKT lainnya.
Khusus untuk tahun ini, setelah hampir 1,5 tahun yang lalu Unhas menerapkan secara penuh sistem PTN-BH untuk mahasiswa JNS ini. Mereka diwajibkan membayar Dana Pengembangan. Dua pembayaran terakhir baru dibayarkan setelah dinyatakan lulus.
Mirisnya dari hal ini adalah mekanisme penerimaan mahasiswa pada JNS ini juga tidak terbuka secara umum, berbeda dengan jalur SNMPTN yang seleksinya menggunakan nilai semester SMA, dan SBMPTN yang merupakan seleksi ujian tertulis untuk masuk dikampus ini. Mekanisme penerimaan melalui JNS ini dibuat seolah-olah hanya untuk golongan menengah ke atas dengan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan jalur yang lain.
Berbahagialah mereka yang terlahir dari keluarga yang kaya karena masih memiliki kesempatan untuk berkuliah di Unhas setelah mereka tidak lolos seleksi pada jalur sebelumnya. Kemudahan finansial tersebutlah yang memberikan kesempatan lebih untuk masuk di perguruan tinggi favorit di Indonesia Timur ini, Unhas yang sama-sama kita cintai.
Celakalah bagi mereka yang terlahir dari keluarga petani, nelayan, atau dari keluarga yang kurang mampu. Sebab, kalaupun mereka lolos dari jalur ini, tentunya mereka akan berfikir ulang. Mampukah mereka untuk membayar biaya yang telah dipatok oleh Unhas tersebut.Tentunya dalam hal ini sangat memberatkan bagi keluarga mereka, yang mungkin saja kebutuhan sehari-harinya saja sangat terbatas. Apalagi jika harus membayar biaya pendidikan tinggi yang demikian itu.
Bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, diharapkan mampu lolos seleksi di jalur penerimaan SNMPTN dan SBMPTN dengan kuota mahasiswa yang diterima sebanyak 80%. Dari pembagian dua jalur ini yakni pada jalur SNMPTN sebanyak 35%, sedangkan untuk SBMPTN meningkat dari tahun lalu 35% menjadi 45%. Melalui kedua jalur ini, biaya uang kuliah menjadi relative lebih murah, sebab hanya diwajibkan untuk membayar UKT sesuai dengan penghasilan keluarga.
Sedangkan untuk JNS meskipun tahun ini mengalami penurunan kouta yang diterima dari 30% tahun 2017 menjadi 20% di tahun 2018 ini, perlu kita ketahui bahwa terjadi peningkatan signifikan mahasiswa baru tahun ini sejumlah 1.696 atau lebih dari 30% mahasiswa dari tahun sebelumnya, dari 5.371 mahasiswa di tahun 2017 menjadi 7.067 mahasiswa baru di tahun ini. (https://unhas.ac.id/article/title/unhas-terima-2466-mahasiswa-baru-melalui-jalur-snmptn- 2018).
Namun yang menjadi catatan adalah kurang fair rasanya ketika mekanisme terakhir ini hanya dibuat untuk kelompok masyarakat golongan menengah keatas, sedangkan untuk kelompok masyarakat golongan menengah kebawah sudah minder dengan patokan dana pengembangan yang telah dipatok tersebut. Dana pengembangan dan UKT tiap semester jauh diatas gaji rata-rata standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan yang hanya sebanyak Rp. 2.647.767 perbulan, atau Rp. 15.886.602 tiap enam bulannya (https://gajimu.com/garmen/gaji-pekerja-garmen/gaji-minimum/ump-umk-sulsel). Didalam gaji tersebut pun masih terdapat alokasi dana untuk kebutuhan lainnya yang harus mereka penuhi selain pendidikan. Sandang, pangan dan papan tiap tahunnya menjadi contoh lain kebutuhan pokok mereka.
Mekanisme tambahan uang kuliah baru dengan nama dana pengembangan pendidikan di Unhas ini telah menghilangkan asa mereka untuk bisa berkuliah di universitas ternama ini. Pantaskah mereka disalahkan karena terlahir dari keluarga miskin dan lingkungan yang tidak mendukung akses bagi mereka untuk bisa berkuliah di Unhas?
Refleksi
Tentunya kita tidak bisa menyalahkan atau meragukan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni kita tercinta Ayahanda Pak Abdul Rasyid, ataupun Ibu Rektor yang sangat kita cintai Ibunda Dwia mengenai komitmen mereka dalam memberikan pendidikan yang bisa diakses oleh semua pihak tanpa diskriminasi. Komitmen tersebut dijadikan sebagai wujud pertanggungjawaban akan tujuan pendidikan yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, ini adalah hal yang menjadi masalah kita bersama, akibat sikap kurang perhatian kita terhadap sistem manajemen pendidikan yang telah berubah di Unhas, yang sudah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2015 tentang Statuta Unhas ini, menjadi landasan hukum bagi para pihak yang bertanggung jawab di Unhas untuk menjalankan mekanisme baru yang telah diatur tersebut.
Perlu kita membaca ulang di Bab IX dari Pasal 62 sampai Pasal 70, mungkin terdapat kekeliruan di dalam peraturan ini. Kekeliruan tersebut berdampak sehingga apa yang terjadi pada hari ini yang membuat kembali diberlakukan biaya dana pengembangan pendidikan berlaku kembali setelah sebelumnya telah tidak diberlakukan.
Peraturan yang lain menjadi sangat menarik untuk kita kaji adalah meningkatnya batas maksimum kouta JNS dari tahun 2015 ke tahun 2016. Di tahun 2015 berdasarkan Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015 adalah kouta maksimum mahasiswa melalui JNS adalah 20 %, sedangkan di tahun 2016 terjadi peningkatan kouta menjadi 30% berdasarkan Permenristekdikti No. 39 Tahun 2016. Selanjutnya berdasarkan Permenristekdikti terbaru No.39 Tahun 2017 adalah tetap yakni 30 %. Peningkatan ini menarik untuk kita cermati bersama.
Kemudian yang menjadi catatan adalah mekanisme seleksi JNS dilakukan tidak secara terbuka atau tidak terdapat indikator yang jelas syarat apa yang harus terpenuhi sehingga seorang calon mahasiswa baru dapat diterima di kampus ini. Ada banyak hal yang masih ingin saya sampaikan seperti catatan terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor mengenai Organisasi Mahasiswa (ORMAWA), mungkin dilain kesempatan akan menanggapi hal tersebut. Sebab, keputusan tersebut menjadi rancu dan membatasi gerakan kemahasiswaan kita .
Sebagai kesimpulan, terdapat beberapa catatan penting yang harus kita jawab bersama dalam mengamati apa yang terjadi dengan kampus kita ini. Seberapa perhatian kita terhadap kampus kita ini dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tentunya kita tidak ingin suatu saat nanti melihat Unhas hanya sebagai tempat kuliah orang kaya tanpa membuka peluang bagi kalangan menengah kebawah. Sejatinya pendidikan merupakan instrumen pemersatu bangsa yang kemudian mampu membangkitkan kecintaaan terhadap bangsa. Lebih dari itu, pendidikan juga bertujuan untuk mampu mengurai masalah yang terjadi disekitar kita. Jika pendidikan hanya menciptakan kelas sosial dan semakin memperparah kesenjangan sosial yang ada, tanpa ada kesadaran untuk memperbaiki, lebih baik pendidikan itu tidak ada sama sekali.