Oleh :
Israwati Nursaid
Mahasiswi Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Muslim Indonesia Angkatan 2013
Dewasa ini, dunia menjelma panggung komedi antara dua jenis kelamin, saling melemahkan antar laki-laki dan perempuan. Dalam forum, tak jarang laki-laki memantik diskusi sebagai manusia yang dianggap lebih mapan ilmu. Di media, mayoritas laki-laki diangkat sebagai narasumber untuk menilai sebuah permasalahan social sembari menawarkan solusi jitu. Di rumah, laki-lakilah yang memegang otoritas tertinggi sebagai kepala keluarga. Lalu dimana letak otoritas perempuan ?
Indonesia telah banyak memperingati hari perempuan dengan beragam sejarah organisasi pergerakan perempuan, salah satunya adalah literature Gerakan Wanita Indonesia. Pada kongres tahun 1954, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) mengubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) karena dianggap terlalu sektarian. Namun, perubahan tersebut tidak serta-merta menumbuhkembangkan Gerwani menjadi organisasi pergerakan perempuan yang subur. Rezim Orde baru terlebih dahulu menjadi parasit menghancurkan Gerwani dengan fitnah jorok seksual, sehingga akhirnya pada tahun 1965 organisasi ini dilarang.
Musuh gerakan perempuan adalah pemikiran konservatif dan diri perempuan itu sendiri seperti perkataan ketua Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Federasi konservatif menyebutkan organisasi feminis harus hati-hati agar tidak dihubungkan dengan Gerwani. Begitu kuat pengawetan wacana buruk terhadap Gerwani hingga pada tahun 1980-an.
Kalyana mitra dan Solidaritas Perempuan dituduh membangun “Gerwani Baru”. Namun seiring dengan pelarangan Gerwani secara organisasi, maka tubuh-tubuh perempuan berguguran oleh senapan. Kekerasan semakin mencapai tahta gemilang. Sehingga hilanglah perlawanan dari diri perempuan secara institusi juga individu, yang paten hanyalah superioritas laki-laki.
Praktik kekuasaan orde baru menjadi rezim kejayaan patriarki selama berpuluh–puluh tahun lamanya. Di tahap awal, feminisme di dunia ketiga menjadi salah satu kekuatan penting bagi perubahan sosial pada penghujung abad 19 dan permulaan abad 20 (jayawardena 1982:13). Ironi kejantanan orba telah menelanjangi feminisme, hingga gerakan perempuan tak pernah memiliki martabat di hadapan masyarakat.
Hal inilah yang membuat perempuan begitu sulit untuk memperjuangkan perempuan lainnya, karena selalu dihadapkan dengan perjuangan dirinya sendiri yang tak kunjung usai. Lebih lagi, lingkungan yang tabu pada emansipasi sehingga dalam masa yang sama, feminis metak lagi beranak pinak. Rahim perempuan berubah menjadi tempat paling asam sehingga embrio feminis hilang melebur bersama dinding ketidakadilan. Kondisi masa lampau telah mengibaratkan kesetaraan layaknya sperma yang tak mampu bertahan dalam fasisme orde baru.
Di era pemerintahan Jokowi, feminism mendominasi raga-raga yang jantan. Bayi-bayi perempuan tumbuh menjadi feminis yang premature, tak kuasa melawan kekuasaan yang sewenang-wenang. Suara perempuan hilang terbawa udara tanpa mikrofon laki-laki, perempuan kehilangan nalar dan digantikan oleh suara laki-laki. Kondisi perempuan tampak masa bodoh dan menggantungkan kekuasaan sepenuhnya terhadap laki-laki, lalu menghilangkan otoritas diri sendiri. Begitu menyedihkan.
Meski bukan hal baru, mengingat Gerwani di masa lampau juga kehilangan arah juang tanpa Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun tidak sewajarnya apabila gerakan perempuan selalu dirayakan dengan berlindung di balik jakung laki-laki. Hak suara adalah milik individu yang perlu disuarakan secara individu pula, inilah otoritas sebenarnya.
Di tahun 2018, International Woman Day (IWD) sebagai sejarah yang tercetak kuat diatas kelemahan perempuan kian tahun mengalami penurunan. Merosotnya jiwa dan matinya raga perempuan untuk meneriakkan keadilan, telah menegaskan bahwa hari bersejarah tersebut hanyalah momentum yang disambut laki-laki, dengan kepentingan dibalik kata woman.
Diamnya perempuan terhadap ilusi konstitusi atas haknya adalah perkawinan yang mapan untuk melemahkan perempuan. Suara keadilan terhadap perempuan diteriakkan oleh laki-laki layaknya masalah ini juga dirasakan laki-laki. Lalu mengapa perempuan hari ini tak mampu menyelesaikan masalah diri? Terlebih lagi dalam merespon permasalahan sosial. Ada apa dengan perempuan hari ini yang lebih memprioritaskan perawatan kulit? Tak ingin terkena paparan sinar matahari karena berdampak buruk terhadap kualitas kulit mereka. Tidakkah meraka sadar bahwa perampasan hak lebih berdampak buruk terhadap seluruh organ tubuh? Tak hanya pada kulit.
Di sisi lain, perempuan sibuk mengetik essai untuk menyelesaikan tugas kuliah. Sesungguhnya suara mereka telah tergantikan oleh tuan-tuan yang mengabdi pada tahta kesetaraan. Laki-laki adalah pahlawan sekaligus perampas hak perempuan yang sibuk dengan dirinya.
Kewajiban menegakkan keadilan telah hilang pada diri perempuan, berbeda dengan zaman kekuasaan Soeharto. Di tanah fasisme tersebut, menjamur sejumlah gerakan perempuan untuk menumbangkan rezim keji orde baru. Gerwani pernah mengambil perannya secara vital dalam menjatuhkan Soeharto. Demonstrasi pertama dilakukan pada 23 Februari 1998 untuk menuntut penyediaan bahan pangan yang mampu di beli, hal ini merupakan pemantik revolusi 1998 yang di menangkan oleh rakyat Indonesia. Tak jauh dari gerakan Gerwani, organisasi perempuan Suara Ibu Peduli (SIP) pernah menduduki barisan terdepan dalam Koalisi Anti Soeharto.
Namun dewasa ini, masih begitu kuat diskriminasi untuk melemahkan jenis kelamin tertentu. Perempuan harusnya mengumpulkan sederet aksara untuk membentuk pemahaman kepada manusia bahwa terlahir sebagai perempuan bukan alasan menjadi ekor manusia lainnya. Meskipun dominasi laki-laki telah mengapling seluruh ruang, tetapi mereka tetap dibutuhkan sebagai nilai mutlak dalam memperbaiki tatanan sosial.
Tentunya sejarah pergerakan perempuan baik secara individu maupun instansi bukan literatur yang singkat yang mampu diselesaikan dalam kurun waktu detik. Beberapa bab tentu perlu direfleksi sebagai referensi nilai yang perlu dipertahankan atau dilepaskan sesuai dengan konteks yang masih berlaku dalam tubuh gerakan tersebut.
Meskipun sejak tahun 1954 hingga 2018 menjadi masa yang cukup lama untuk merawat militansi gerakan perempuan, namun racun gerakan di akhir tahun 1970-an telah melumpuhkan gerakan perempuan. Kepatuhan perempuan serta dominasi laki-laki terhadap sebagian besar organisasi perempuan dibangun oleh penguasa militer untuk kembali melakukan subordinasi perempuan. Contohnya Dharma Wanita organisasi untuk para istri pegawai pemerintah, Dharma Pertiwi untuk istri tentara dan organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) telah menggoyahkan haluan gerakan perempuan. Selain itu ada juga, Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang didirikan segera setelah proklamasi kemerdekaan.
Organisasi- organisasi di atas terbilang radikal, membela hak-hak perempuan dengan vokal, terutama dalam perkawinan. Namun, dewasa ini organisasi tersebut menjadi jinak, kegiatan bagi kaum perempuan miskin tidak dimungkinkan. Terlebih, keanggotaan mereka sangat menurun. Sehingga pada akhirnya, subordinasi perempuan ala orde baru benar-benar awet menghilangkan otoritas perempuan.
Tak dapat dipungkiri, jika perempuan sekadar menampilkan diri sebagai identitas keindahan tanpa tindakan sosial. Maka manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa, Indonesia siap mencapai revolusi berikutnya tanpa otoritas perempuan.