Oleh : Muhammad Yusril Sirman
(Pengurus LPMH-UH periode 2018-2019)
Dalam tulisan sebelumnya, sudah saya uraikan sedikit tentang beberapa pembahasan umum yang ada di dalam filsafat atau filosofi. Lalu, telah kita buktikan bersama bagaimana filosofi dapat membebaskan kita dari berbagai dogma yang ada selama ini. Dogma-dogma yang cenderung menyesatkan dan membuat kita terkurung dalam konsep pemikiran tertentu, kemudian menjadikan kita pribadi yang anti dengan konsep-konsep pemikiran lainnya.
“Ibarat seorang pemuda, kita adalah pemuda yang bebas secara pribadi. Namun, sebenarnya terpenjara secara pemikiran. Maka, pada akhirnya kita menjadi seperti seekor burung dalam sangkar,”
Pertanyaan yang akan kemudian saya jawab dalam tulisan kali ini adalah “Buat apa belajar filsafat, toh dengan belajar filsafat, tidak akan membuat anda lebih kaya?” serta “Apa belajar filsafat itu sulit?”. Untuk menjawab ini, akan saya singgung beberapa aliran pemikiran dalam dunia filsafat dan akan saya kontekskan untuk menjawab pertanyaan diatas.
Begitu banyaknya jenis dan aliran pemikiran dalam dunia filosofi, menjadikan dunia filosofi ini teramat kaya untuk dijadikan sebagai khazanah ilmu pengetahuan. Dengan banyaknya pertentangan dan perbedaan pendapat, menjadikan dunia filosofi kerap kali dianggap penuh dengan ketidakpastian di dalamnya. Namun, hal-hal seperti inilah sebenarnya yang membuat ilmu pengetahuan semakin kaya dan terus berkembang, tidak hanya terjebak dengan satu kesimpulan saja dan dijadikan konsumsi secara terus-menerus.
Mempelajari filosofi, juga tidak sesulit apa yang kita bayangkan. Contohnya, orang-orang yang hidupnya hanya mencari kesenangan duniawi, disebut sebagai orang-orang materialis hedonis. Orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan berusaha mencari keuntungan atau kemanfaatan bagi diri pribadi biasanya disebut dengan orang-orang yang pragmatis.
Namun, ada pula orang-orang yang hanya mementingkan kehidupan batiniah atau rohaniahnya, dan cenderung meninggalkan segala sesuatu yang berkenaan dengan hal-hal duniawi yang ia anggap dapat merusak jiwa atau batinnya, disebut sebagai kaum rohaniawan, atau dalam islam biasa disebut juga sebagai aliran tarekat sufi.
Namun, dalam ajaran-ajaran keagamaan sebenarnya kita diminta untuk dapat menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat disini diartikan dalam konteks yang berkenaan dengan hal-hal batiniah atau rohaniah tadi.
Maka dari itu, orang-orang yang menganggap belajar filsafat merupakan sesuatu yang tidak perlu, berarti secara tidak langsung dia adalah orang-orang yang mengganggap ilmu pengetahuan adalah hal materi dan tujuannya hanya semata-mata untuk mendatangkan profit atau keuntungan bagi dirinya sendiri. Orang-orang semacam ini sejatinya adalah pribadi yang belum merasakan hikmah dari pentingnya berpengetahuan atau mempunyai banyak ilmu.
“Karena padi ketika dia semakin berisi, seharusnya dia semakian tunduk. Begitu pula manusia, ketika dia memiliki banyak ilmu pengetahuan, seharusnya dia menjadi orang-orang yang semakin toleran. Mereka harus mampu meleburkan ego pribadinya ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi diperlukannya ego universal atau publik, dalam upaya untuk dapat mencapai tujuan secara bersama-sama,”
Begitu mudah bukan? Dengan mengetahui kecenderungan seseorang terhadap sesuatu, kita juga dapat mengidentifikasi secara langsung bagaimana sifat dan kepribadian seseorang. Bagaimana dia selalu melakukan segala tindak-tunduknya berdasarkan atas kecenderungan tadi. Masih mengganggap belajar filsafat itu sulit?
Namun, mempelajari filsafat tidak cukup dengan mengidentifikasi kecenderungan seseorang, tetapi harus juga dilakukan dengan kajian mendalam. Ini agar kita tidak hanya mengetahui kecenderungan seseorang, lalu lantas membuat kita menjauhi orang-orang yang misalnya tidak sepaham atau sependapat dengan kita.
Tetapi, ketika kita telah mempelajari filsafat seharusnya kita menjadi orang-orang yang mencintai adanya perbedaan dan dapat menempatkan diri dimana pun dan kapan pun kita berada. Meskipun dengan orang-orang yang mempunyai perbedaan ideologi dan pandangan dunia dengan kita.
“Menjadi orang yang toleran dan dapat mencintai adanya perbedaan, menjadi salah satu langkah awal dari munculnya sifat-sifat kebijaksanaan,”
Maka dari itu terdapat beberapa istilah dari para alim-ulama, bahwa “Barang siapa yang belajar tanpa bimbingan seorang guru, maka gurunya adalah setan”. Kenapa? Kalau kita ibaratkan belajar sebagai sebuah perjalanan menuju suatu tempat, maka guru dapat kita ibaratkan sebagai peta atau penunjuk jalan. Mengapa? Agar kita tidak tersesat saat melakukan perjalanan nantinya, makanya kita sangat butuh seorang penunjuk jalan. Dalam hal ini adalah guru, untuk dapat menuntun kita kepada jalan kebenaran. Pastinya penilaian kita terhadap guru, harus didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu.
******
Belajar filosofi tidak akan serta-merta menjadikan kita seseorang yang kafir. Bahkan, belajar filosofi tidak juga langsung menjadikan kita sebagai seorang filsuf (seorang yang ahli dalam fisafat) atau pun seorang hartawan kaya raya.
Namun, selain dapat membuat kita menjadi pribadi yang akan terlepas dari dogma-dogma yang menyesatkan dan cenderung menimbulkan perpecahan, belajar filosofi juga dapat membuat kita menjadi pribadi yang lebih bijak dan santun.
Dalam artian, mampu melihat sebuah perbedaaan bukan sebagai sesuatu yang harus dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Tetapi, kita harus memaklumi hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan yang dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, serta mempererat hubungan kita sebagai sesama manusia, bahkan sesama makhluk hidup.
Dalam ajaran agama, kita diajarkan untuk dapat mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Makanya, kita perlu untuk memunculkan sikap toleransi dalam diri. Kalau kita kontekskan dengan keberlangsungan sebuah negara, toleransi dapat mempererat hubungan kita antar sesama warga negara. Hal ini demi mewujudkan persatuan dalam balutan kemanusiaan yang adil dan beradab, demi terciptanya bangsa Indonesia yang lebih baik lagi kedepannya.
Selesai.