web analytics
header

Implementasi Right To Be Forgotten di Indonesia

Seminar ILSA dengan tema "Right to be Forgotten di Indonesia'", bertempat di Ruang Video Conference FH-UH, pada Rabu (14/11).

ii
Suasana diakhir kegiatan (14/11). Sumber: Dokumentasi pribadi.

Makassar, Eksepsi Online – Pengesahan Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016  tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyisakan persoalan di dalam implementasinya, salah satunya mengenai penambahan norma baru mengenai hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten.

Hal ini diungkapkan oleh Prof. Judhariksawan selaku pemateri dalam seminar yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) International Law Students Association (ILSA) Chapter Universitas Hasanuddin (Unhas), dengan tema “Implementasi Right To Be Forgotten di Indonesia”, yang bertempat di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Unhas (FH-UH), pada Rabu (14/11).

Prof. Judha mengungkapkan bahwa masih banyak perdebatan mengenai penerapan UU ITE di Indonesia. Pertama, mengenai yurisdiksi dan kedaulatan negara, apakah UU ITE bisa diterapkan terhadap google atau yahoo yang berbasis di Amerika? Atau terhadap facebook dan instagram?

Kedua, ketidakjelasan mengenai batasan informasi tidak relevan yang harus dihapus. Ketiga, siapa yang menjadi penyelenggara sistem elektronik. Keempat, hak atas Freedom of Ress atau hak atas privasi. Terakhir, tentang sanksi yang tidak dijelaskan dalam pasal.

Lebih lanjut, Prof Judha menjelaskan bahwa dalam kancah yang lebih luas lagi, perdebatan mengenai Right to be Forgotten telah luas dibicarakan di dunia. Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang merespon hal tersebut untuk dituangkan di dalam hukum positifnya.

Sedangkan dalam negara yang menganut kebebasan, mereka menolak Right to be Forgotten sebab mereka berpendapat bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk mendapatkan informasi.

Adapun respon dari penolakan Right to be Forgotten, muncullah Artikel Nineteen. Prof. Judha menjelaskan bahwa Artikel Nineteen merupakan respon atas penolakan adanya Right to be Forgotten. “Artikel Nineteen adalah sebuah lembaga internasional yang terdiri dari para profesor dari berbagai universitas dunia yang mendukung kebebasan mengemukakan pendapat dan memperoleh informasi,” jelasnya. 

Salah satu karya fenomenal yang pernah mereka buat yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kemudian dipakai oleh masyarakat international untuk melihat sejauh mana informasi tentang keamanan negara itu dibolehkan untuk dipublikasikan atau tidak.

Prof. Judha menambahkan bahwa ada satu pernyataan menarik dari Artikel Nineteen mengenai Right to be Forgotten. “Adanya Right to be Forgotten itu potensial untuk menghambat kebebasan berbicara secara global. Jangan sampai hal ini disalahgunakan oleh negara-negara, sehingga para koruptor memanfaatkan Right to be Forgotten tersebut agar bisa dilupakan oleh masyarakat atas peristiwa korupsi yang pernah dilakukannya,” jelasnya.

Maka dari itu, kata Prof. Judha, Artikel Nineteen mengusulkan harus adanya perlindungan kebebasan berekspresi, bukan justru mematikannya. (Bru)

Related posts: