Makassar, Eksepsi Online – Tiga mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) yang diadakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengadakan penelitian Eksistensi Penghayat Kepercayaan dalam Administrasi Kependudukan (Studi Kasus Kepercayaan Aluk Todolo Toraja). Ketiga mahasiswa tersebut yaitu Aditya Spadiya Putra dan Fadya Indira Alfatih dari Fakultas Hukum Unhas dan Fifi Efrilia Defi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Isipol) Unhas. Mereka dibimbing oleh Ibu Amaliyah, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Unhas.
Penelitian tersebut dilaksanakan selama lima hari dengan tujuan mengumpulkan data serta mengobservasi tentang ajaran Aluk Todolo yang merupakan agama atau kepercayaan tertua di Tana Toraja. “Penelitian mengenai Aluk Todolo dilandasi karena terjadinya ketidaksesuaian antara das sein (kenyataan/fakta) dan das sollen (seharusnya),” ungkap Aditya.
Sejak tahun 1965 dengan keluarnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebabkan agama yang diakui di Indonesia hanya terdiri dari enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu. Hal inilah yang menyebabkan agama/kepercayaan diluar pengakuan negara tidak diakui keberadaannya termasuk Aluk Todolo.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pada zaman dahulu Aluk Todolo sering mendapat perlakuan diskriminasi oleh beberapa agama lain yang diakui di Indonesia yang menyebabkan Aluk Todolo berpayung hukum dibawah agama Hindu, lebih tepatnya berada di naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Padahal jika diamati secara mendasar agama Hindu dan Agama atau kepercayaan Aluk Todolo sangat jauh berbeda. Hal ini diungkapkan oleh Ne’ Sando pada saat indepth interview dilangsungkan di Makale Utara. “Kami sangat berbeda dengan ajaran Hindu Bali. Seperti contoh ketika seorang manusia meninggal dunia ajaran Hindu Bali melaksanakan ngaben namun di ajaran Aluk Todolo jenazah kami pantang untuk dibakar,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pada saat tim melakukan observasi di Makale Selatan dan Makale Utara mereka melihat tempat peribadahan Aluk Todolo pun dinamakan inan pemalaran yaitu tempat berkumpul untuk berdoa kepada Puang Matua dan tentu saja hal tersebut sangatlah berbeda dengan ajaran agama lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama atau kepercayaan Aluk Todolo merupakan agama yang independen terlepas dibawah naungan agama lain dan pengakuan mereka sudah sepantasnya sama dengan pengakuan agama lain yang diakui oleh negara.
Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 memberi angin segar kepada Aluk Todolo karena keberadaannya telah diakui oleh negara dan setara dengan agama lain. Maka dari itu tim PKM-PSH Toraja selain melakukan pengumpulan data di Tana Toraja mereka pun memberikan pemahaman kepada penganut Aluk Todolo mengenai keberadaan mereka yang telah diakui oleh negara beserta hak-hak yang melekat pada diri mereka termasuk hak dalam administrasi kependudukan.
Saat ini tantangan yang mesti dihadapi adalah menjaga eksistensi Aluk Todolo yang kini kian tersisihkan. Pada zaman dahulu Aluk Todolo merupakan agama atau kepercayaan yang dimiliki 100% masyarakat Tana Toraja namun hingga saat ini hal tersebut kian tergeser dikarenakan beberapa masyarakat Aluk Todolo berpindah agama karena merasa tertekan oleh negara yang tidak mengakui mereka sepanjang sejarah. Dengan keluarnya putusan MK tersebut maka eksistensi Aluk Todolo dan kepercayaan lainnya di Indonesia akan dapat dilestarikan dan menjadi hak melekat bagi pemeluknya sebagaimana yang telah dijaminkan dalam Konstitusi Indonesia. (Citizen Reporter)