web analytics
header

Seminar bersama bahas ham atas hukuman mati

WhatsApp Image 2019-10-23 at 10.46.56
Dokumentasi Eksepsi

Makassar, Eksepsi Online – Selasa (22/10) Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS), International Law Student Association (ILSA), Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM (Insersium), bersama dengan Lembaga Badan Hukum (LBH) Makassar mengadakan “Peluncuran Laporan Kondisi Lembaga Permasyarakatan dan Kaitannya dengan Terpidana Mati di Indonesia” bertempat di Gedung Pertemuan Ilmiah Universitas Hasanuddin (UH).

Melalui kegiatan ini dibahas kondisi lembaga permasyarakatan dan terpidana mati yang erat kaitannya dengan diskursus HAM, dan juga berkaitan dengan hak hidup merupakan hak yang tak dapat dikurangi (non-derogable rights). Yang secara jelas diakui dalam UUD NRI 1945, UU HAM 1999, dan Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR, UU No. 12 tahun 2005). Meski Pasal 6 ICCPR mengakui hak untuk hidup dan membatasi hukuman mati untuk “kejahatan paling serius”, komitmen penghapusan hukuman mati telah tertera dalam Protokol Opsional ke-2 konvensi tersebut. Namun nyatanya Indonesia hingga saat ini belum melakukan aksesi.

Seseorang dapat dijatuhi hukuman mati untuk berbagai kejahatan, yakni Makar, pembunuhan berencana, kejahatan penerbangan, perdagangan narkotika, korupsi, terorisme, pelecehan seksual anak-anak dan kejahatan internasional. Meskipun demikian, sejauh ini hukuman mati di Indonesia hanya diterapkan pada empat jenis kejahatan: subversi, pembunuhan berencana, terorisme, dan kejahatan narkotika. Dewasa ini, hukuman mati bukan lagi hukuman pokok melainkan hukuman alternatif. Dalam upaya penghapusan hukuman mati ada 114 negara yang telah menghapus, dan ada 33 negara yang masih menerapkan hukuman mati namun tidak lagi merealisasikannya dalam eksekusi.

Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara lain: R. Arif Fikri selaku Ketua Divisi Pembelaan HAM KontraS, Abdul Azis Dumpa selaku Kepala Divisi Hak Sipil & Keberagaman LBH Makassar, Dr. Iin Kartika Sakharina, S.H., M.A. Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH).

R. Arif Fikri selaku Ketua Divisi Pembelaan HAM KontraS memaparkan dalam kesempatannya bahwa ketika seseorang divonis hukuman mati, dia menjalani proses penahanan yang tidak diketahui batas waktunya dan eksekusi mati yang akan dilakukan.

“Ketika seseorang divonis hukuman mati, ada hukuman double yakni yang pertama menjalani proses penahanan yang tidak diketahui sampai kapan, dan yang eksekusi hukuman mati yang kemudian dilakukan.” Paparnya.

Dalam pemaparannya Arif tidak hanya membicarakan mengenai praktik hukuman mati yang ada di Indonesia melainkan juga bagaimana situasi serta kondisi terpidana mati dalam Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini kurang disoroti keberadaannya. Menurut Arif meskipun mereka adalah terpidana mati, mereka mempunyai hak-hak yang perlu dipenuhi sebelum vonis hukuman mati dari negara dilakukan.

Selanjutnya Kepala Divisi Hak Sipil & Keberagaman LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa dalam kesempatannya memberikan tanggapannya terkait hukuman mati yang menurutnya sangat berbahaya dan seharusnya ditinggalkan. Ia menjelaskan Hukuman mati pada dasarnya melanggar hak untuk hidup yang menjadi syarat mutlak untuk membicarakan hak-hak lainnya dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri yakni pemulihan.

“Yang kita kawal adalah kasus penghilangan nyawa, namun kenapa Negara masih menggunakan hukuman mengilangkan nyawa orang lain. Tidak ada seorang pun yang punya otoritas untuk menghilangkan nyawa orang lain,” ungkapnya.

Lebih lanjut Aziz menjelaskan kesehatan fisik dan kesehatan mental dari terpidana juga perlu di diperhatikan, menurutnya tidak semua Lapas mempunyai pendekatan mental, sehingga pemerintah setempat seharusnya dapat memenuhi hak-hak kesehatan terpidana.

“Ada terpidana mati yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri atau penyerangan pada terpidana lain, dia akan dimasukkan ke sel isolasi padahal mereka dipengaruhi oleh kondisi mental mereka karena tidak adanya psikolog yang ada dilingkungan Lapas. Kalaupun keberadaan psikolog ada namun dia tidak bisa melakukan tindakan kedokteran terhadap pasian melainkan hanya merekomendasikan. Pendekatan yang dilakukan adalah keagamaan, namun itu tidak cukup,” jelasnya.

Selain kesehatan mental yang terabaikan serta overkapasitas yang ada, menurutnya terpidana juga harus mendapatkan konsumsi yang layak saat berada di Lapas. “Lapas hanya memiliki anggaran 17 ribu untuk tiga kali makan, 15 juta untuk 900 orang, memang sangat diperlukan penambahan anggaran Lembaga Pemasyarakatan.”

Terakhir Aziz menjelaskan Kondisi lapas saat ini mendesak banyak pelanggaran HAM untuk terjadi di dalamnya dan seharusnya hukuman mati dihapuskan agar warga binaan lapas dapat menjadi manusia seutuhnya melalui pemasyarakan.(Ijd)

Related posts: