web analytics
header

Diskusi Publik, Memandang RUU Ciptaker dari Berbagai Perspektif

IMG-20200217-WA0024

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) telah diserahkan ke DPR RI pada Rabu (12/2) lalu. Sejak awal kemunculannya, RUU yang sebelumnya dinamakan RUU Cipta Lapangan Kerja ini menuai banyak kecaman. Berdasarkan draf yang beredar ke publik, sejumlah pihak menilai aturan-aturan dalam RUU sapu jagat ini  akan merugikan kalangan buruh dan hanya menguntungkan golongan tertentu saja, utamanya para pengusaha. 

Menanggapi isu yang beredar, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (BEM Kema  FISIP Unhas) bekerja sama dengan Aliansi Gerak Buruh berinisiatif mengadakan diskusi untuk membahas polemik seputar RUU Omnibus Law Ciptaker pada Senin (17/2). Bertempat di Taman Sospol Unhas, diskusi yang bertajuk “Dampak RUU Omnibus Law: Membaca Masa Depan Indonesia” ini menghadirkan 4 (Empat) pembicara dari berbagai latar belakang. 

Diskusi yang dilakukan berfokus seputar aturan-aturan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang dinilai bermasalah dan bagaimana dampaknya bagi pihak-pihak terkait. Hadir sebagai pembicara pertama, Muhammad Haedir, selaku praktisi hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Dirinya membahas sejumlah permasalahan dalam RUU Ciptaker utamanya yang berdampak pada kelestarian lingkungan. Haedir menyinggung mengenai dihilangkannya ketentuan mengenai perizinan utamanya izin lingkungan dalam draf RUU Omnibus Law Ciptaker. “Izin lingkungan merupakan sarana kontrol dan alat bagi masyarakat untuk mencegah kerusakan lingkungan,” tegas Headir. Hal ini, katanya, dapat dilihat pada mekanisme pengajuan permohonan izin lingkungan yang di dalamnya terdapat persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Di dalam penyusunan AMDAL, masyarakat berhak mendapatkan infromasi mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi akibat aktivitas pembangunan di sekitar mereka. Dengan dihilangkanya mekanisme izin lingkungan dalam RUU Ciptaker berarti menghilangkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan. Denga kata lain, kontrol masyarakat akan aktivitas pembangunan akan sama sekali dihilangkan. “Dengan adanya RUU Omnibus Law hari ini, pemerintah telah menunjukkan posisinya yang tidak memihak kepada rakyat, melainkan lebih memihak kepada kepentingan segelintir orang,” jelas Haedir.

Permasalahan lain di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang dinilai merugikan adalah mengenai pengurangan hak-hak pekerja atau buruh perempuan. Polemik seputar hal ini dibahas oleh Ade Yulia Pratama selaku perwakilan Gabungan Serikat Buruh Nusantara (GSBN). Dalam pemaparannya, Ade menyoroti dihilangkannya cuti haid dan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan yang sebelumnya diatur berturut-turut dalam Pasal 81 Ayat (1) dan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Di dalam draf RUU Ciptaker, menurut Ade, cuti-cuti tersebut tidak lagi diatur atau dengan kata lain telah dihilangkan. Penghilangan ketentuan mengenai hak cuti bagi kebutuhan pekerja perempuan ini dinilai tidak masuk akal. Melalui kesempatan ini juga, Ade menyebutkan bahwa terdapat ketentuan-ketentuan di dalam RUU Ciptaker yang melemahkan Serikat Pekerja. Ia mengharapkan agar RUU ini pada akhirnya tidak disahkan. “Apabila RUU ini disahkan berarti pemupusan harapan bagi kaum buruh. Saat ini saja hak-hak buruh sudah banyak diinjak-injak padahal sudah diatur sedemikian rupa. Jadi, saya berharap semua pihak dapat berpartisipasi untuk memperjuangkan hak-hak kita,” tegasnya. 

Dalam diskusi publik ini juga hadir Muh. Syahfizwan, yang memberikan pandangan mengenai polemik RUU Omnibus Law Ciptaker dari perspektif mahasiswa. Ijan, sapaan akrabnya, menegaskan tentang mengapa mahasiswa perlu berpartisipasi untuk menolak RUU Ciptaker yang dinilai bermasalah ini. Menurutnya, mahasiswa sebagai calon buruh atau orang-orang yang akan terjun dalam dunia kerja, perlu memberi perhatian terhadap polemik yang sedang bergulir, sebab apabila RUU Omnibus Law ini nantinya disahkan, ketentuan-ketentuan yang dianggap merugikan kaum pekerja pada akhirnya akan berdampak buruk pada pekerja dan calon pekerja di masa depan, termasuk pula mahasiswa. Karenanya mahasiswa perlu melakukan penolakan terhadap RUU ini guna menjamin perlindungan hak-hak pekerja baik saat ini maupun untuk kedepannya. 

Menutup diskusi, Aswin Baharuddin, S.IP., M.A, selaku akademisi pada Departemen Hubungan Internasional FISIP Unhas, memberikan pandangannya mengenai permasalahan seputar RUU Ciptaker. Aswin memberikan penjelasan tentang gejala yang tampak dari dibentuknya RUU ini. Menurutnya, saat ini ciri-ciri dari  model pembangunan yang tampak di dalam ketentuan-ketentuan RUU Ciptaker mengarah kepada apa yang disebut State-led Capitalism atau kapitalisme yang dipandu oleh negara. “Dalam model pembangunan ini, yang pertama, membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Yang kedua, dalam model pembangunan ini, demokrasi akan dibatasi (limited democracy). Yang ketiga, rezim negara akan mendorong dan memfasilitasi pertumbuhan kapitalis jalur cepat, atau yang saat ini dikenal sebagai investasi.”, jelas Dosen Hubungan Internasional FISIP Unhas ini. Ia menjelaskan bahwa model pembangunan dengan ciri-ciri demikian, berdasarkan riset, pernah terjadi di Indonesia yakni pada rezim orde baru dimana model ini mendominasi kebijakan pembangunan Presiden Soeharto saat itu. Jadi, menurut Aswin, arah kebijakan pembangunan yang tercermin dalam aturan RUU Omnibus Law Ciptaker yang ada saat ini mengarah kepada State-led capitalism.

Polemik mengenai RUU Omnibus Law Ciptaker sampai saat ini masih terus bergulir di masyarakat. Kendati pemerintah mengklaim RUU ini sebagai langkah konkrit penyederhanaan regulasi yang selama ini dinilai tumpang tindih dan cenderung semerawut, banyak pihak menilai RUU Ciptaker ini tidak mengatasi masalah ketenagakerjaan yang ada di Indonesia, justru malah menambah masalahnya. Kalangan praktisi hukum, akademisi, pekerja, dan mahasiswa yang berbicara dalam diskusi publik mengenai RUU Ciptaker ini memberikan penjelasan seputar polemik yang menyelimuti RUU tersebut dari perspektif masing-masing yang muaranya menegaskan bahwa RUU Ciptaker yang ada saat ini sangat perlu untuk dikritisi dan dipandang dengan bijak serta mendapatkan perhatian masyarakat luas seluruh lapisan dari berbagai kalangan. (bch)

Related posts: