web analytics
header

Bahas Kebebasan Berpendapat, Berekspresi, dan Berserikat Bersama HLSC

54a77197-9ec2-4267-b89f-8dcf7470322f
Dokumentasi Eksepsi

Makassar, Eksepsi Online – Melihat kurang mengertinya masyarakat dengan memaknai kebebasan berpendapat, berekspresi, atau berserikat yang sering disalahartikan, Hasanuddin Law Study Center (HLSC) merespon lewat kegiatan Justice Speak Up Zone yang mengangkat tema Kebebasan Berpendapat, Berekspresi, dan Berserikat.
“Di era sekarang banyak sekali pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat yang kadang dianggap hal-hal kecil dan masih banyak masyarakat umum yang tidak mengetahui perihal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat ataupun HAM ringan bahkan pelanggaran biasa. Maka dari itu HLSC mengangkat tema ini agar masyarakat lebih mengetahui ataupun lebih menambah khazanah keilmuan tentang berbagai macam pelanggaran terhadap HAM ataupun pelanggaran itu sendiri dan juga lebih menyadarkan lagi bahwa kita tidak bisa menganggap remeh sesuatu hal-hal kecil agar dapat memberi rasa aman kepada masyarakat dalam hal kebebasan perbendapat, berekspresi dan berserikat”. Jelas Gio selaku Ketua Panitia Justice Speak Up Zone.
Kegiatan yang harusnya berlangsung mulai pukul 19:00 Wita ini (6/3) karena beberapa kendala teknis dan cuaca, baru bisa dimulai sekitar pukul 20:40 Wita bertempat di Kopi Soe.

Dengan dihadirkanmya pembicara dari berbagai kalangan seperti mahasiwa, praktisi hukum, akademisi dan pemerintah, sangat membantu untuk menjelaskan terkait batasan-batasan dalam kebebasan berpendapat, berekspresi, atau berserikat. 

“Kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu disandingkan, pembatasnya adalah kebebasan berpendapat hanya sebatas menyampaikan pendapat. Jika berekspresi, artinya pendapat tersebut sudah disampaikan melalui media-media lain. Kebebasan berekspresi menjadi penting karena negara-negara dan masyarakat dapat dikatakan benar-benar maju ketika mereka bebas mengekspresikan pendapat”. Penjelasan Kadaruddin, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang diundang sebagai pembicara.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) diciptakan untuk mencegah perang dunia ketiga, oleh karena itu negara-negara bersepakat membentuknya. Selain itu, dalam sisi hukum terutama Hukum Internasional, hukum dibagi antara mengatur dengan mengikat. Oleh karena itu UDHR diturunkan menjadi dua komponen, satu dikenal dengan UDHR dan yang satu disebut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).” Sambungnya

Dalam penerapan dan penegakannya, kebebasan berpendapat, berekspresi, atau kebebasan lainnya yang diatur dalam konstitusi masih cenderung berat sebelah terutama yang diakibatkan faktor relasi.
“Penggunaan sarana-sarana pidana selalu dilatarbelakangi oleh relasi yang tidak seimbang, yang sering melaporkan menggunakan pasal ujaran kebencian adalah pejabat, dan selalu ada relasi yang lebih”. Kata Azis Dumpa selaku perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Salah satu yang paling sering digunakan dalam kasus-kasus kekebasan berpendapat atau berekspresi ialah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara spesifik terkait ujaran kebencian.
“UU ITE dibentuk pada awalnya untuk mengawasi transaksi elektronik sedangkan sekarang yang paling sering digunakan tentang ujaran kebenciannya. Ujaran kebencian elemen utamanya adalah hasutan, kecenderungan meggunakan ujaran kebencian adalah karena masa hukumannya lebih tinggi dibanding pasal penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Jelas Azis di sesi yang sama.

Istilah ujaran kebencian juga sering dimaknai keliru melihat beberapa kasus dengan tuduhan ujaran kebencian yang melibatkan pejabat dengan masyarakat atau hubungan vertikal, karena sebenarnya dalam istilah ujaran kebencian tidak dikenal hubungan vertikal, yang ada hanya hubungan horizontal, hubungan antar masyarakat dengan masyarakat yang lain “Antara warga negara dan penguasa tidak dikenal istilah ujaran kebencian.” Jelas Kadaruddin di saat sesinya.

Diakhir sesinya, Azis Dumpa memberi gambaran ketidakpahaman aparat penegak hukum menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dengan merefleksi kasus Risma Walikota Surabaya yang disebut Putri Kodok “Polisi tidak paham konteks penggunan ujaran kebencian. Dalam kasus Bu Risma saat disebut Putri Kodok, pelaku dikenakan pasal ujaran kebencian, padahal kata Putri Kodok sama sekali tidak menghasut atau mengujarkan kebencian, cenderung hanya untuk memberatkan hukuman penjara” Jelasnya

Kegiatan ditutup dengan penyerahan cendera mata dari panitia kegiatan kepada para pembicara. (hsb)

Related posts:

Mufakat: Musyawarah Cepat tapi Cacat

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) Berangkat dari seutas pertanyaan yang sampai sekarang tak terjamah di grup