Makassar, Eksepsi Online – Kuliah umum dalam rangka Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mengundang Wakil Ketua Mahkamah Konsitusi RI sekaligus guru besar Hukum Pidana FH-UH, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si. di Baruga Prof. Baharuddin Lopa, S.H. pukul 10:00 WITA (13/3).
Pada kuliah umum yang dipandu oleh moderator Dr. Hijrah Adhyanti Mirzana, S.H., M.H. membawakan tema ‘Putusan MK : Tantangan dan Perkembangannya.’ Berdasarkan undang-undang, esensi kehadiran Mahkamah Konsitusi (MK) adalah untuk menegakkan dengan cara menilai pasal, ayat, dan bagian yang ada dalam konstitusi. Kita pahami bahwa konstitusi tidak hanya berisi norma-norma dasar, tetapi juga memuat prinsip dasar bernegara. Bab 10A Pasal 28a-c, konstitusi kita menjamin bahwa salah satu hal yang sangat esensial dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara adalah pengkaun atau jaminan perlindungan dan pemanduan hak asasi manusia. Beliau juga menjelaskan mengenai negara berbentuk presidensial, demokrasi yang harus dikembangkan adalah demokrasi pancasila.
“Ya walaupun banyak krtitikan. Saya baca dimeme itu sekarang kalau mau bertamu ke rumahnya Badan Pembinaan Pancasila, salamnya tidak assalamualaikum, tapi salam pancasila,” candanya disela materi.
Ia lanjut membahas mengenai norma apapun yang dibuat dan diberlakukan dalam wilayah Indonesia harus dipayungi konstitusi. Makamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sesuai yang diamanatkan dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa kekuasaan peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta peradilan-peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Tugasnya yang pertama ialah menguji UU terhadap UUD. Kedua, salah satu komponen yang sama startegis secara demokratis adalah adanya Partai Politiik (ParPol) yang harus dijaga agar norma yang mengatur mereka sesuai konstitusi. Itu sebabnya MK diberi kewenangan untuk membubarkan ParPol. MK juga diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Pasal 24C juga menentukan bahwa yang diberi kewenangan untuk memutus konflik dalam pemilihan umu adalah MK.
Sementara itu kewajibannya ialah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela dan harus diberhentikan secara tidak hormat, “Saya berharap Indonesia tidak ada kasus seperti ini agar tidak keos.” tambahnya.
Ada lembaga yang pernah melakukan riset bahwa ternyata kesadaran masyarakat untuk mematuhi putusan MK relatif masih rendah. Tantangan yang dihadapi oleh MK adalah membuat keputusan yang strategis untuk pembangunan hukum. Bagaimana jika putusan MK membuat kekacauan di dalamnya?
Beliau mengatakan, “Nah kalau MK salah putus itu berbahaya. MK hanya 9 orang hakimnya, tidak semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dipahami secara benar oleh hakim.” Ia berharap agar kerjasama MK dan kampus lebih diintensifkan mengenai kajian putusan MK yang kemudian kajian dari akademisi itu bisa menjadi masukan.
Rofi – Anggota Magang