Makassar, Eksepsi Online – Polemik penarikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Prolegnas menimbulkan respon beragam dari berbagai kalangan. Dengan berdasar alasan “Sulit” melalui komisi VII, DPR menyatakan mengeluarkan pembahasan draft RUU PKS dari Prolegnas.
Merespon hal tersebut Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH UH) bersama-sama dengan Komite Anti Kekerasan Seksual mengadakan diskusi publik dengan mengusung tema Teka-Teki RUU PKS yang dilangsungkan pada Rabu (8/7).
Dalam diskusi yang berlangsung secara online melalui aplikasi Zoom ini DPM FH UH menghadirkan Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani. Dalam penyampaiannya, Tias menyampaikan urgensi pengesahan RUU PKS dimana RUU PKS hadir sebagai payung hukum yang menyetarakan hak dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
“Bicara tentang hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan, Kita semua memiliki hak yang sama. Hak korban itu sama ketika sebuah regulasi payung hukum dibuat. Tidak boleh ada diskriminasi atau pembeda dalam penyusunan RUU PKS. RUU PKS tidak tertuju pada perempuan saja. Tapi tertuju pada siapa saja yg merasakan kekerasan seksual diluar sana. Penting untuk kita mendorong korban kekerasan seksual baik laki-laki ataupun perempuan mendapatkan perlindungan yang sesuai.” Jelasnya
Selain mendatangkan Tiasri Wiandani, dalam diskusi ini juga diundang langsung Anggota DPR-RI Komisi VIII, Diah Pitaloka dan Perwakilan dari Komite Sahkan RUU PKS, Filma Ayuana. Menjawab soal mengapa RUU PKS ditarik dari Prolegnas, Diah Pitaloka menjelaskan terkait sulitnya menyatukan pemahaman terkait suatu definisi atau kata.
“Yang jadi perdebatan adalah dedinisi kita memandang kekerasan seksual. Misalnya relasi kuasa. Banyak yang tidak paham sehingga menimbulkan perdebatan karena semua orang tidak memiliki pemahaman yg sama dalam setiap kata,” Kata Diah.
Diah juga menjelaskan bahwa dengan munculnya RUU PKS ini menggambarkan pola pikir dan prilaku masyarakat yang telah berubah. “UU ini diperlukan karena jika dilihat, ada banyak kasus kekerasan seksual. Dari situ muncul keinginan masyarakat untuk menjadikan itu sebagai bukan hal yg diterima. Ada suatu upaya untuk mengurangi tindak kekerasa seksual itu yg hari ini makin marak di indonesia, yaitu dengan munculnya draft RUU PKS.”
Di kesempatan yang sama, Filma Ayuana sebagai pembicara ketiga menjelaskan terkait solusi agar perempuan dapat terbebas dari pelecehan dan kekerasan seksual, selain itu Filma juga menyampaikan urgensi adanya payung hukum agar pelaku tidak terbebas begitu saja dengan berakhir damai, namun dapat menerima hukuman yang setimpal pula.
“Yang penting agar tidak adanya lagi korban-korban seksual adalah salah satunya mengesahkan RUU PKS ini. Dimana korban-korban bisa speak up, diwadahi dan dilayani. Penting juga adanya posko pengaduan, agar kasus yg berakhir damai dapat terselesaikan dan pelaku mendapatkan hukuman yg setimpal dengan adanya payung hukum yg berlaku.” (hsb)