web analytics
header

Pendampingan Grand Issue : Kenapa Harus Dukung RUU PKS Sampai Disahkan?

Screenshot (398)

Makassar, Eksepsi Online – Hasanuddin Law Study Centre (HLSC)  menggelar kegiatan yang bernama pendampingan Grand Issue dengan tema “Menjegal Imunitas, Pulihkan Korban; Kenapa harus dukung RUU PKS sampai disahkan?”. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu (18/9) melalui platform Zoom yang dihadiri kurang lebih 70 peserta.

Grand issue kali ini merupakan ruang diskusi terbuka untuk umum dengan menghadirkan 3 Narasumber yakni Arnita Pratiwi Arifin sebagai Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Hasanuddin, Taufik Basari sebagai Anggota DPR RI Komnas III, dan Rezky Pratiwi sebagai Kepala Divisi Hak Perempuan dan Anak dan Disabilita LBH Makassar.

“RUU PKS banyak memiliki problematika paradigma berfikir dalam proses pengesahannya. Ide dan gagasan RUU PKS ini sudah cukup lama digagas oleh Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil sejak tahun 2012”. Jelas Salman Al Farizi membuka diskusi umum hari ini.

Taufik Besari menjelaskan apa saja yang menjadi prolematika yang sebenarnya terjadi saat ini di DPR, sehingga RUU PKS belum kunjung disahkan. Sebelumnya, beliau menyebutkan permasalahan-permasalahan mengapa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual hadir dan harus disahkan, yaitu bagaimana paradigma aparat penegak hukum terhadap para korban dalam mendampingi kasus kekerasan seksual. Kedua, pandangan masyarakat kepada korban, sehingga munculnya stigma negatif kepada korban pelecehan seksual. Hal tersebut yang membuat banyaknya korban tidak ingin melapor.

 “Di dalam proses legislasi, muncul hambatan-hambatan pro kontra yang sebenarnya tidak perlu ada. Kalau adanya kesadaran kekerasan seksual harus dilawan bersama-sama, tetapi instrument hukumnya belum cukup menjamin dan mengoptimalkan pendampingan perlindungan hak-hak korban. Proses legislasi yang juga merupakan ranah politik membuat munculnya seseorang memanfaatkan isu RUU PKS untuk kepentingan politik-politik tertentu. Munculnya isu-isu perdepatan pro kontra membentuk narasi negatif menyebabkan RUU PKS tidak disahkan.” Ujar Taufik Besari

Dilanjutkan oleh Rezky Pratiwi yang menjelaskan bahwa berdasarkan data LBHI pendampingan kekerasan seksual tahun 2020 tercatat 239 korban kekerasan seksual yang diantaranya perempuan, anak, disabilitas, dan minoritas seksual. Kekerasan terhadap korban ini umumnya diikuti oleh jenis kekerasan lain. Jika ditotalkan terdapat 526 tindakan kekerasan. Selain itu, di dalam pembicaraannya menjelaskan apa yang menjadi urgensi RUU PKS sehingga harus disahkan.

 “Untuk RUU PKS ini, sebenarnya kami sebagai pendamping dan masyarakat sipil selalu menekankan bahwa korban sebagai aktor kunci, karena yang membutuhkan dan mengalami ialah korban. Tentunya mengapa RUU PKS didorong untuk disahkan adalah untuk kepentingan korban. Kekerasan Sekesual tidak hanya berdampak pada korban, melainkan juga kepada komunitas dan negara. Dampak yang didapatkan baik fisik, secara psikologi, social, dan ekonomi.”. Tutur Rezky Pratiwi

Selain itu, beliau juga menyampaikan, bahwa banyaknya hambatan dan tantangan yang dihadapi. Minimnya kebijakan pencegahan dan penaggulangan baik di dalam lingkungan pendidikan atau pun pekerjaan.

Arnita Pratiwi Arifin sebagai narasumber terakhir pada kegiatan ini menjelaskan, bahwa RUU PKS sejatinya merupakan payung hukum untuk mencegah bertambahnya korban kekerasan seksual di Indonesia. Selain melindungi korban, RUU itu bertujuan untuk mencegah korban kekerasan seksual kembali menjadi pelaku di masa mendatang.

“Pengaturan Delik Kesusilaan pada KUHP (dan juga RUU KUHP) pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi nilai-nilai kesusilaan yang ada dalam masyarakat. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan delik kesusilaan sering kali tidak memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban. Kondisi kekerasan seksual yang terus meningkat, dan peraturan yang tersedia masih cukupp lemah dan tidak mengcover perlindungan dan keadilan bagi korban. Hal-hal tersebutlah yang membuat RUU PKS menjadi sangat urgen untuk segera ditetapkan.” Jelas Arnita Arifin

Beliau juga menjelaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdapat pengaturan mengenai 9 tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menunjutkkan bahwa RUU PKS menjadi peraturan pertama dan satu-satunya yang mengatur mengenai 9 tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, juga memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM yang termuat dalamnya.

Di akhir kegiatan,  Salman Al Farizi selaku moderator menutup diskusi dengan sesi tanya jawab. (nsy)

Related posts: