Oleh:
Aulia Ayu Permatasari
“Le, ini Lili yang kerja di toko Bude. Dia yang sering Bude ceritakan ke kamu,” ucap Bude Ratih yang menunjuk ke arah gadis bule berambut cokelat gelap dan mempersilahkan kami untuk berkenalan. Wajah gadis itu sangat menunjukkan jika ia memiliki sifat yang ceria, berani, dan ingin tahu banyak hal. Terbukti dari matanya yang sibuk menelusuri ornamen yang ada di dinding rumahku.
“Saya Dipta,” kataku sambil mengulurkan tangan yang langsung dibalasnya dengan semangat.
“Dan aku Ainsley Eilaria. Senang berkenalan denganmu, Dipta … ?” tanyanya menggantung seakan menanyakan nama lengkapku.
“Nalendra Dipta.”
“Nama yang bagus,” komentarnya dengan senyum manisnya.
“Nah, Dipta. Bantu dia ya? Bude tahu kamu bisa antar Ainsley ke tujuannya,” pinta bude yang langsung bisa kumengerti. Aku hanya mengangguk saja menyanggupi perintahnya karena aku sudah tahu apa tujuan Ainsley ada di Kota Gudeg ini.
“Ainsley, mau ikut saya?” tanyaku mengajak padanya yang sedari tadi hanya diam menyimak.
“Mau, tapi ada syaratnya.”
Aneh-aneh saja gadis ini. Hanya kusuruh ikut saja ada syaratnya. Tapi, aku mengiyakan saja apa maunya, agar semuanya segera selesai. Jujur saja, aku tak begitu nyaman untuk berinteraksi dengan perempuan lain selain keluargaku.
“Jangan pakai ‘saya’, ya? Terlalu asing, Dipta.”
Aku mengernyit bingung. Bukankah aku dan dia ini memang asing? Hanya dipertemukan karena aku harus membantunya untuk menemukan tujuannya. Tapi, lagi-lagi aku hanya menurut saja. Tak ingin aku memperpanjang hal yang tidak penting untuk diperdebatkan.
“Oke. Thank you, Dipta. Sekarang kita mau kemana?” tanyanya setelah bude meninggalkan kami berdua karena ia harus segera kembali ke toko.
“Ikut saja. Ayo!” ajakku kemudian beranjak menuju motor yang ada di pekarangan rumah. Dia mengikutiku dengan langkahnya yang ringan dan ceria. Ternyata dia pandai menutupi perasaannya.
Dalam perjalanan menuju tempat tujuan, Ainsley asik menceritakan segala hal layaknya kita berdua ini sahabat sejak kecil. Walaupun respon yang kuberikan hanya singkat, tetapi telingaku setia menangkap dan mencerna semua hal yang ia bicarakan.
“Dipta, kamu tahu kenapa aku rela sampai pergi ke negeri orang untuk mencari dia?” tanyanya pelan saat kami berhenti di lampu merah. Kulihat dari kaca spion, pandangannya kosong tersirat kesedihan dan kerinduan yang mendalam.
Aku hanya menggeleng kecil. Masih kuawasi segala gerak-geriknya. Matanya mulai berkaca-kaca dan sebelum menjawab ia menarik napasnya seakan mengumpulkan keberanian untuk mengeluarkan kata-kata.
“Karena aku masih mencintainya, sedalam apapun luka yang ia berikan,” jelasnya lirih. “Apa aku bodoh, Dipta?” lanjutnya bertanya.
“Bodoh?”
“Iya. Aku masih berjuang untuk mencarinya hanya berlandaskan karena aku masih mencintainya. Bahkan aku mengabaikan segala perlakuan jahatnya.”
Aku terdiam untuk sesaat. Mencerna segala maksud dalam perkataannya. Menurutku ini bukan hal yang sepele dan mudah untuk dilakukan. Tak semua orang mampu melakukan hal yang sama dengan Ainsley. Termasuk aku.
“Cintamu itu tulus, Ainsley. Mungkin kebanyakan orang akan menganggapmu bodoh, tapi menurutku tidak,” kataku sambil melepas helm karena kami sudah sampai di sebuah gedung tua yang ada di belakang gedung suatu perusahaan ternama.
“Walaupun banyak luka yang kau dapat, akan tetapi dalam perjalananmu menuju kedewasaan ini, kamu mendapat banyak pelajaran yang tentu kamu sendiri menjadi paham tentang makna cinta dan perjuangan bukan?” jelasku sarat akan bertanya. Ia masih diam memerhatikan perkataanku.
“Kamu tidak bodoh, Ainsley. Kamu hanya memperjuangkan sebuah cinta sebelum semuanya terlambat dan sebelum penyesalan melingkupi hatimu.”
Dia masih diam, bahkan saat kita sudah sampai di lantai tiga gedung tua ini. Kami berdua duduk di pinggir sisi kiri gedung dengan kaki yang terjuntai ke bawah. Pemandangan sore itu sungguh indah dengan semburat jingga yang bercampur sedikit dengan lilac. Angin yang berhembus pelan menyelinap sela-sela rambut dan menyentuh pelan kulit semakin menambah kesan tenang dan santai sore ini.
“Dipta? Cinta itu apa?” tanya Ainsley dengan pandangannya yang menerawang ke kumpulan para lelaki paruh baya yang ada di belakang gedung perusahaan. Sepertinya mereka para jajaran petinggi perusahaan, terlihat dari pakaian yang seakan menegaskan posisi mereka.
“Hmm … . Tiap orang memiliki definisi dan ukurannya masing-masing mengenai apa itu cinta. Menurutku cinta itu bagaimana kita mampu dan ikhlas melihat orang yang kita cintai bahagia dengan pilihannya. Jika bersamaku tidak membuatnya bahagia, maka tanpa berpikir lagi akan langsung aku lepaskan dan relakan ia pergi dariku,” jelasku yang bahkan aku sendiri tak mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Ini pertama kali bagiku mendapatkan pertanyaan tentang apa itu cinta.
Naluriku merasakan jika Ainsley sedang menatapku dalam. Dengan perlahan aku menoleh padanya dan menatap balik netra birunya yang semakin terang karena terkena cahaya matahari.
“Apakah egois jika menahannya agar tetap bersama kita? Walaupun cinta itu bukan lagi untuk kita, Dipta,” tanyanya lagi.
Mengapa Ainsley menjawabku dengan pertanyaan lagi? Aku bingung harus menjawab bagaimana. Aku tak paham tentang cinta dan segala hal yang ada di dalamnya.
“Aku tak tahu ukuran keegoisan dalam cinta. Tapi Ainsley, kenapa kamu lebih memilih untuk menggunakan sepatu yang sempit padahal kamu bisa melepasnya dan membiarkan sepatu itu dimiliki oleh kaki yang pas?”
Lagi-lagi aku tak paham dengan apa yang aku katakan. Sempat mataku menatap sepatu yang kugunakan dan otakku mengolah kata sepatu untuk dirangkai menjadi sebuah jawaban.
“Kalau begitu, untuk apa kita mencintai seseorang jika pada akhirnya hanya untuk dilepaskan?”
Lagi. Ainsley menjawab dengan pertanyaan yang seakan mematikan otakku untuk berpikir. Bahkan, aku terkelu untuk menjawab pertanyaannya. Aku membiarkan hening mengisi waktu dan ruang di antara kami sambil memberi jeda untukku berpikir.
Aku sering bertanya-tanya tentang; Mengapa cinta begitu rumit? Atau apakah sebenarnya yang rumit manusianya dan cinta itu hanyalah hal yang sederhana? Pertanyaan ini hanya tersimpan rapi di dalam otakku tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Tapi kini, aku malah bertemu seorang gadis yang mempertanyakan tentang cinta padaku yang juga masih bertanya-tanya.
“Dipta, kenapa tak menjawab?”
Aku menarik napas pelan sebelum menjawab, “Ainsley, kita terlahir di rahim yang berbeda tanpa bisa memilih ingin lahir di rahim yang mana dengan keluarga seperti apa. Memilih saja tak bisa begitupun dengan menentukan. Seperti itulah cinta bekerja. Kita tak bisa menentukan kemana hati ini akan berlabuh, Ainsley.”
Kali ini aku paham dengan ucapanku. Semoga saja gadis di sampingku ini mampu mengolah setiap kata yang kulontarkan. Dia hanya diam dengan pandangan lurus ke depan menatap matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya.
“Lalu menurutmu, apa itu cinta?” tanyaku balik padanya. Aku juga ingin mendengar suatu jawaban darinya. Tapi, dia hanya mengedikkan bahunya seakan memberi tahu bahwa ia tak tahu apa itu cinta.
“Aku tak tahu, Dipta. Tapi aku pernah membaca kalau, ‘Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kau cintai, bahwa kau mencintai mereka.’ Karena hal ini aku memutuskan untuk datang ke Jogja.” Ucapannya terhenti sejenak karena ada kucing kecil yang mendekat padanya. Ia mengelus pelan kepala kucing itu dengan pandangan kembali menatap lurus ke depan.
“Aku merasa yang dikatakan buku itu benar adanya. Setiap orang dalam hidupnya pasti akan mencintai hingga membuat ia rela melakukan apa saja untuk orang yang dicintainya. Sedih memang jika rasa cinta tak mampu terucap dan tersampaikan. Ini cukup menjadi dasar untukku melakukan misi di kota ini, Dipta,” lanjutnya lagi diakhiri dengan senyum tipis di bibirnya.
Aku mengangguk pelan seakan mengerti dan paham apa yang dia maksud. “Jadi, misimu itu mengungkapkan cinta?” tanyaku karena memang aku tak tahu apa misinya. Aku hanya tahu tujuannya ada di Jogja adalah untuk menemukan seseorang.
“Bingo! Terdengar mudah bukan?”
“Tidak, Ainsley. Tidak semua orang memiliki keberanian untuk mengungkapkan secara gamblang bahwa mereka mencintainya. Mereka berani, tetapi tak siap dengan jawabannya yang pada akhirnya lebih memilih untuk diam dan menyakiti diri sendiri,” sanggahku akan ucapannya.
“Memangnya, kepada siapa kamu mau mengungkapkan cintamu?” lanjutku yang semakin ingin tahu dengan misi gadis ini. Sempat kulihat tubuhnya tersentak kecil sesaat setelah mendengar pertanyaanku. Apa yang salah dengan pertanyaanku?
“Ayah.”
***
Siang ini aku kembali menemui Ainsley di toko bude setelah menyelesaikan tugasku sebagai seorang mahasiswa. Aku ingin menanyakan beberapa hal yang belum sempat kutanyakan kemarin. Untuk menemukan ayahnya, aku membutuhkan beberapa hal sebagai petunjuk.
Dia baru saja duduk di hadapanku setelah menerima telepon dari seseorang. Raut wajahnya terlihat tak baik dan aku tidak suka melihatnya. Entah mengapa, aku hanya ingin gadis ini selalu ceria, sama seperti saat aku pertama kali melihatnya.
Aku masih menunggunya untuk mengeluarkan suara. Ia masih termenung dengan tatapan kosongnya pada gawai yang ada di atas meja.
“Dipta … aku diminta untuk pulang.” Singkat saja ia mengadu padaku, tapi seakan menegaskan bahwa waktunya tak akan lama lagi ada di sini.
“Aku ingin menceritakan kisahku sebelum kita harus berpisah. Boleh?” tanyanya meminta izin padaku untuk membuka lebar telinga dan pikiranku agar menerima segala hal yang akan dia ucapkan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk mempersilahkannya.
“Singkat saja. Ayahku meninggalkan ibuku saat umurku enam tahun. Dia merawat dan membesarkanku hingga umur yang menurutnya cukup untuk membantu ibuku. Dia lebih memilih wanita masa lalunya dan meninggalkan ibuku yang begitu tulus mencintainya. Bajingan!” Umpatan Ainsley untuk ayahnya terasa begitu tajam. Matanya terlihat memburam karena likuid bening siap untuk tumpah membasahi pipinya.
“Dia abai saat diberitahu bahwa ibuku mulai depresi berat dan dengan entengnya dia mengatakan bahwa dia tak pernah mencintai ibu. Dia dengan terpaksa menikahinya karena tuntutan neneknya, sang diktator yang tak bisa dibantah. Sejak saat itu aku sangat membencinya,” jelasnya lagi yang kini sudah berlinang air mata. Untung saja kami ada di staff room, sehingga tak akan menganggu orang-orang yang ada di toko.
Aku masih diam menyimak semua ceritanya yang sepertinya baru kali ini dia berbagi dengan orang lain. Emosinya masih terasa segar untuk dirasakan juga oleh sang pendengar–aku.
Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran seorang pria yang tega meninggalkan perempuan yang begitu tulus padanya. Apakah ia tak ingat jika ia memiliki seorang ibu atau mungkin saja istri baru dan anaknya yang akan terkena imbas dari perilakunya?
“Tapi ibuku melarang keras rasa benciku tumbuh untuk ayah. Ibu selalu mengatakan bahwa ini semua bukan salahnya. Katanya, ayah hanya memilih untuk mengejar cintanya dan berbahagia dengan pilihannya. Tapi kenapa harus dengan meninggalkan ibu, Dipta?! Karena dia, ibu memilih untuk mengakhiri hidupnya! Dia bajingan, Dipta! Dia membunuh ibuku!”
Ainsley mulai tak terkendali. Ia memukul keras dada dan kepalanya seakan tak mampu lagi mengingat apa yang dilakukan oleh ayahnya. Bude sampai menengok ke dalam untuk melihat apa yang terjadi karena mungkin suara Ainsley sampai ke luar ruangan. Aku hanya menatap teduh bude menyiratkan bahwa aku akan mengurus gadis ini.
Setelah bude keluar, aku mulai merengkuh pelan tubuh gadis rapuh ini. Ia masih menangis sesenggukan dan aku yakin jika ia kesusahan untuk bernapas. Aku hanya mengelus pelan punggungnya seakan memberi tahunya bahwa masih ada aku di sisinya.
“Dan dengan bodohnya aku masih mencintai lelaki yang mengajariku untuk menjadi gadis pemberani. Aku hanya tak mampu untuk mengingkari titah ibuku, hingga aku tumbuh dengan melebur rasa benciku terhadap ayah dan menyisakan rasa cinta seorang gadis kecil terhadap ayahnya. Aku harus bagaimana, Dipta?” tanyanya lirih.
Aku harus menjawab bagaimana? Aku bukan orang yang pandai memberi jalan keluar untuk orang lain dan aku juga takut untuk mengeluarkan suara jika itu tidak membantunya sama sekali.
“Aku ingin menyerah saja untuk mencari ayahku. Ditambah paman dan bibiku yang selalu menentangku untuk mencari ayah. Mereka bilang, aku harus kembali dan melupakan ayahku. Lebih baik aku mengurus sapi-sapiku yang gemuk di ladang dan membantu mereka untuk mengurus kebun anggur,” lanjutnya lagi yang diakhiri dengan tawa paksa seakan mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Ainsley, tak apa kalau kamu ingin pulang. Tidak semua rasa mampu untuk disampaikan pada sang tuan ataupun puan. Biarkan saja mereka tetap ada dan tumbuh di hatimu, itu sudah lebih dari cukup. Is–”
“Tapi aku sudah berusaha hingga sejauh ini, Dipta! Aku datang ke sini dengan berbekal nomor telepon dan alamat rumah yang ternyata semua sudah ia ganti. Aku juga coba datang ke tempat ia bekerja yang dulu paman beritahu padaku, tapi semuanya tetap nihil. Apa aku memang harus menyerah?” Suaranya terdengar sangat pilu dan terlihat dari matanya yang menatapku nanar bahwa ia juga merasa buntu.
“Siapa nama ayahmu?”
“Wajendra dan dia punya tompel di bawah telinga kirinya.”
Aku tak tahu apakah aku akan menemukan ayahnya. Tapi yang kutahu, ada seseorang yang mahir di bidangnya untuk membantuku. Waktuku juga tak banyak. Aku bergegas pamit setelah menenangkan Ainsley dan berjanji padanya akan membawa kabar baik esok hari.
***
“Ini, Le.”
Bapakku menyerahkan sebuah map cokelat saat aku sedang sibuk dengan laptopku. Aku berusaha mencari data dari seorang Wajendra dengan sedikit kemampuan yang kumiliki. Tapi sepertinya, Wajendra ini orang yang sangat penting. Datanya sangat sulit untuk dibobol. Aku juga belum sempat untuk meminta bantuan temanku yang lebih handal karena aku ingin mencobanya terlebih dahulu.
“Dia pengusaha ternama. Agak sulit untuk mencari datanya secara detail. Betul kalau dia pernah menikah sebelum dengan istrinya yang sekarang. Selebihnya kamu baca sendiri, Le. Bapak sudah mengerahkan anak buah Bapak untuk mencari itu,” jelas bapak kepadaku.
Mataku menelusuri dengan teliti tiap baris kalimat yang ada di sana. Benar saja jika lelaki paruh baya itu dulunya meninggalkan istri dan anaknya demi wanita yang tulus dicintainya. Bejat sekali pria ini. Aku merasa antara salut dan geram terhadap Ainsley yang masih berusaha menemukan ayahnya. Cintanya begitu tulus, tapi sayangnya bukan pada orang yang tepat.
“Semalam waktu kamu ketiduran, Bapak lihat laptopmu yang masih nyala lagi cari orang ini. Berhubung Bapak ini orang yang baik dan peka, ya Bapak suruh saja Dirga untuk cari orangnya. Lebih hemat waktu, toh? Gak mau terima kasih sama Bapakmu ini? Atau belikan Bapak rokok selusin begitu?” kata bapak dengan nada penuh makna memberi kode untuk meminta imbalan.
Astaga, bapakku ini pamrih atau bagaimana? Ya aku tahu jika bapak ini hanya bercanda, tapi kadang aku lelah dengan candaannya. Dia memang senang bercanda dan overpede. Entah mengapa ibuku bisa mau dengan pria ini.
“Aman, Pak, nanti Dipta beliin sepabrik sekalian. Matur nuwun nggih, Ndoro,” kataku dengan senyum paksa dan nada malas. Bapak malah merespon dengan tawa jenaka, seakan jawabanku adalah lawakan renyah yang didengarnya.
“Memang dia siapa?” tanya bapak sambil mencomot gethuk yang dibuat ibu.
“Ayah temanku, Pak.”
Bapak mengangguk paham. “Bantu dia, Dipta. Bapak tidak tahu apa masalah di antara mereka, tapi kamu bisa menolong temanmu dengan mengantarkannya pada Wajendra dan tetap berada di sisinya bagaimanapun keadaannya,” nasihat bapak padaku. Aku hanya mengangguk saja sebagai tanda aku menyanggupi nasihatnya.
“Ya sudah. Gek dimaem gethuke, enak tenan ibumu nek nggawe gethuk. Tambah cinta Bapak sama ibu, Le.” Bapak senyum-senyum sendiri sambil menatap penuh damba ke arah ibu yang sedang menjemur kerupuk mlinjo. Aku hanya menatap jengah tingkah bapakku sambil ikut memakan gethuk yang kutambah taburan parutan kelapa dan gula pasir. Nikmat sekali.
***
“Jadi masuk?” tanyaku pada Ainsley yang terpaku menatap gedung di hadapan kami. Aku sudah memberitahu semuanya kepadanya dan hingga detik ini gadis itu masih diam enggan untuk bersuara. Ia hanya merespon omonganku dengan gerakan kecil dari tubuhnya saja. Seperti saat ini, ia hanya mengangguk mengiyakan pertanyaanku.
Kami masuk ke dalam gedung dan langsung menuju lobi untuk menanyakan informasi mengenai keberadaan Wajendra. Tapi kami tak bisa menemuinya karena tak terikat janji sebelumnya. Aku sudah mencoba memohon agar diizinkan bertemu dengannya, tapi malah berujung ditarik paksa oleh satpam untuk keluar.
“Pak, tolong biarkan kami bertemu dengan Pak Wajendra. Ada hal penting yang harus dibicarakan, Pak!” kataku mencoba memberontak dari cekalan erat satpam itu. Kulihat Ainsley hanya diam pasrah saat ditarik untuk keluar.
“Anda harus keluar karena sudah menimbulkan keributan di sini.”
“Maka dari itu tolong biarkan kami menemuinya, Pak!”
Nihil. Usaha kami sia-sia karena satpam ini semakin gencar menarik kami keluar. Ditambah lagi tatapan heran sekaligus penasaran dari orang-orang yang ada di sini, semakin membuat langkah dan kekuatan satpam semakin bertambah. Ini tidak bisa dibiarkan. Ainsley harus menuntaskan misinya.
Aku mencoba mengumpulkan kekuatan agar bisa menghentikan langkah mereka. Saat sudah berhenti walaupun sejenak, aku berteriak, “GADIS ITU ANAK YANG DITINGGALKAN OLEH WAJENDRA!!!”
Berhasil. Teriakanku mengambil perhatian banyak orang. Saat aku mengedarkan pandangan, tak sengaja aku bersitatap dengan pria yang persis dalam foto yang diberikan oleh bapak. Dia Wajendra. Dengan diiringi oleh para ajudan atau apapun itu, lelaki paruh baya itu terkejut mendengar deklarasiku.
“JANGAN MENYEBAR HOAX! PAK WAJENDRA HANYA MEMILIKI SATU PUTRA!” teriak satpam berperut buncit menyanggah pernyataanku. Kuabaikan sanggahannya. Lalu aku menyentakkan tanganku yang masih ditahan oleh satpam dan mendekat ke arah Wajendra, tak lupa juga aku menggandeng Ainsley yang sudah berkaca-kaca menatap ayahnya.
“Assalamualaikum, Tuan Wajendra yang dihormati manusia penghuni perusahaan ini. Anda tidak lupa bukan dengan seorang gadis kecil yang anda tinggalkan beserta dengan ibunya 16 tahun yang lalu? Dia-” Ucapanku terpotong karena Ainsley menahanku. Dia menatapku memohon seakan dia tahu bahwa aku akan melontarkan kalimat yang menyakitkan untuk ayahnya. Aku menurut saja dan membiarkan ia mengambil alih.
“Biarkan saya mengenalkan diri sebagai bentuk antisipasi jika anda lupa. Saya Ainsley Eilaria, putri dari mendiang Nyonya Heera, istri yang anda tinggalkan demi wanita lain dengan dalih anda tidak pernah mencintai ibu saya,” ucap Ainsley tegas, berbanding terbalik saat ia menceritakan segala tentang ayahnya padaku. Saat ini, ia terlihat begitu tegar dan pemberani, dengan tatapannya yang tak gentar saat menatap sumber lukanya.
“Jika saja ibu tak melarang saya untuk membenci anda, mungkin sekarang saya tidak akan berdiri di hadapan anda. Karena ketulusan cinta ibu kepada anda, saya tumbuh dengan melebur segala rasa benci yang sudah tertanam kuat atas nama Wajendra.” Ainsley mulai goyah. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya seakan memberitahu bahwa aku akan selalu di sampingnya.
“Bagi ibu, anda adalah rumah untuk pulang. Tapi saat rumah itu sendiri memilih penghuni baru, penghuni lama bisa apa? Mungkin untuk penghuni lainnya akan mencari rumah baru, tapi tidak untuk ibu. Beliau memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan saya, hanya karena laki-laki seperti anda.” Pertahanan Ainsley mulai hancur. Likuid bening turun membasahi pipinya yang mulai kemerahan karena mungkin menahan amarah yang meledak-ledak.
Orang-orang di sini masih menaruh perhatian penuh pada panggung yang tergelar secara nyata di hadapan mereka. Aku yakin jika mereka hanya sebatas ingin tahu masalah orang lain tanpa menaruh sedikitpun rasa peduli. Jika sudah mendapatkan apa yang mereka mau, semua akan berlalu seperti debu halus terbawa angin.
Wajendra masih diam, tapi tercetak jelas raut penyesalan dalam wajahnya yang sudah agak berkeriput. Lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, tapi kalah cepat dengan Ainsley.
“Maaf, biarkan saya memanggil anda ‘ayah’ untuk sebentar saja,” ucap Ainsley memohon izin pada Wajendra. Gadis itu semakin mengeratkan genggaman tangan kami untuk mencari tumpuan kekuatan untuk berucap.
“Ayah … Ainsley cinta Ayah. Ainsley hanya ingin Ayah tahu itu.” Dia menjeda ucapannya untuk sekedar menarik napas. “Terima kasih karena pernah menjadi ayah yang hebat untuk gadis kecil ini. Terima kasih juga karena pernah menjadi lelaki yang begitu dicintai ibu dan menerima ketulusannya. Ibu tidak pernah memaafkan anda karena di hatinya, anda tidak pernah berbuat kesalahan. Semoga keluarga anda senantiasa utuh dan bahagia hingga maut memisahkan,” lanjutnya lagi mengakhiri dialog dengan ayahnya.
Tanpa memberi kesempatan pada ayahnya untuk sedikit merespon, ia langsung berbalik untuk keluar dari gedung ini dan mengabaikan panggilan serta kejaran dari ayahnya. Ia juga menarikku agar bergegas untuk pergi dari gedung ini. Aku langsung melajukan motor dengan cepat untuk keluar dari jangkauan wilayah Wajendra.
Dalam perjalanan, Ainsley menangis di balik punggungku. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran gadis ini. Luka dan duka yang begitu dalam tak membuatnya berhenti berjuang untuk orang yang ia cintai. Jauh-jauh ia mencari ayahnya hanya untuk mengatakan bahwa ia masih mencintainya.
Tapi tiba-tiba terlentas dalam benakku. Aku yang masih memiliki orang tua lengkap dan selalu bersama mereka setiap waktu, apakah pernah sekali saja mengatakan bahwa aku sayang pada mereka? Seingatku tidak pernah. Malah hanya ada rasa gengsi dan malu untuk mengakui hal itu.
Tapi Ainsley? Mengabaikan segala luka dan duka yang didapat, ia berjuang untuk mengungkapkan rasa cinta pada ayahnya. Meskipun tak bersama lagi, aku yakin jika cinta untuk ayah dan ibunya memiliki tempat spesial di hatinya.
Sekarang aku malah merasa salut padanya dan malu pada diriku sendiri. Ainsley berhasil menyadarkanku untuk tidak menyia-nyiakan keberadaan orang tua. Hari esok tentu masih ada, tapi aku tak tahu apakah orang tuaku atau malah diriku sendiri ini masih ada di dunia ini. Jika hari esok sudah tak terlihat lagi, maka hanya akan tersisa rasa penyesalan dalam diri ini.
***
Keterangan:
* Matur nuwun nggih, Ndoro: Terima kasih ya, Tuan.
* Gek dimaem gethuke, enak tenan ibumu nek nggawe gethuk: Cepat dimakan gethuk-nya, enak sekali ibumu kalau membuat gethuk.
* Le (Thole): sebutan atau panggilan untuk anak laki-laki atau laki-laki yang lebih muda dari si pemanggil.
* Bude: sebutan untuk tante (kakak dari bapak atau ibu) dalam bahasa Jawa.