web analytics
header

Senja dan Air Mata

WhatsApp Image 2021-11-15 at 22.28.59

Oleh:

Nurul Aisyah

Kilasan kenangan tentangmu kembali hadir. Masih ingatkah engkau?atau tahukah engkau? aku ternyata masih terjerat akan bayangmu. Terkadang saat kilasan kenangan penuh tawa itu muncul aku mulai bertanya, bahagiakah engkau di sana? Setelah kau terlelap hari itu, aku membenci senja. Senja yang membawa duka, senja yang membawa tawa, senja yang mebuatku menitikkan air mata, dan senja yang membawa sang cinta pertama.

Saat itu setiap pulang sekolah kau akan ada di depan gerbang tempatku menuntut ilmu, kau akan menungguku di sana sambil berbincang dengan penjaga sekolahku. Ketika aku datang kau akan berkata “ayo kita pulang” lalu kau akan bertanya lagi “bagaimana jika kita berjalan kaki, itu akan membuatmu sehat! tubuhmu itu terlalu gemuk, kau harus lebih kurus jika ingin terlihat cantik” ucapmu, dan aku hanya akan mengangguk sebagai jawaban. Sebenarnya aku selalu tahu bahwa kau tak memiliki cukup uang untuk menaiki kendaraan umum. Bahkan pakaian lusuh dan basah

Penuh peluh itu pun masih memeluk erat tubuhmu. “kenapa tidak mengganti baju dulu baru menjemputku?” tanyaku satu saat itu. Lalu kau akan balik bertanya “kenapa?apa kau malu?” ada gurat sedih yang nampak saat itu, namun kau akhirnya tersenyum jumawa lalu berkata”tentu saja untuk memperlihatkan pada semua temanmu bahwa aku adalah orang hebat yang bekerja keras untukmu karena aku sangat menyayangimu”celotehmu waktu itu. Aku mendengus lalu tertawa kecil.

Seperti senja biasanya, kita akan melewati jalanan lengang dan jembatan compang – camping yang menghubungkan jalan menuju rumah dengan sekolah. Saat itu kau akan memegang tanganku erat seolah takut aku terjatuh, padahal di bawah jembatan hanyalah paret besar yang airnya hanya sebatas lututku. Genggaman itu tak pernah berubah selalu terasa hangat dan membuatku terlindungi. Aku melompat dengan heboh waktu itu tepat di sampingmu, mungkin karena berat badanku atau jambatan itu telah lapuk aku akhirnya terjatuh. Kau dengan panik ikut meloncat

“astaga, kenapa kau tidak mau mendengarkanku? Apa ada yang terluka? Apakah kakimu sakit?seharusnya kau mendengarkanku!” nyeri yang sempat ku rasa akhirnya sirna. Wajah kesal, marah, dan sarat akan khawatir itu membuatku merasa istimewa, membuatku merasa amat disayangi. Aku tersenyum kemudian menggeleng, saat aku akan berdiri aku kembali jatuh, ternyata kakiku terkilir. Tanpa banyak kata kau akhirnya menggendongku tanpa memperdulikan air yang menetes dari pakaianku.

Setelah itu kau terus di sampingku dan menjagaku. Kau bahkan tak membiarkanku beranjak dari tempat tidurku.

Huuuhhhhh….. rasa rindu itu kian membuncah saat semua kenangan tentangmu

Kembali muncul. Rasanya baru kemarin kau tertawa bersamaku. Rasanya baru kemarin aku melihatmu mengangkat batu bersama teman – teman kuli bangunanmu sedang aku duduk sambil meminum es lilin yang kau belikan agar aku tenang, dulu sekali. Malam itu sehabis mengerjakan tugas sekolah, aku melihatmu berkecimpung dengan pakaian kotor. Pakaianmu yang lusuh tampak benar – benar kumal malam itu, basah karena kau mencuci pakaianku. “aku juga mau membantu” ucapku saat itu, kau menggeleng dan tersenyum. Tapi rasa bersalah memenuhi pikiranku, aku pun beranjak tetap berkeras ingin membantu. Kau meraih tanganku, menggenggamnya lalu menatapnya “tangan ini adalah tangan seorang dokter nantinya, jika harus kasar haruslah karena operasi” aku terenyuh, memang itulah yang selalu aku katakan. Aku ingin menjadi dokter, agar aku bisa merawatmu nantinya. Mataku berkaca “tapi,,, aku..” rasanya aku tersedak oleh isakanku, seakan mengerti kau menenangkanku “hei.. tak apa, tidurlah besok kau sekolah” aku berbalik dan berjalan menuju kamarku lalu terlelap.

Penantian itu akhirnya berakhir, dengan bantuan beasiswa aku berhasil menyelesaikan kuliahku. Hari itu aku mengenakan toga itu dengan bangga, naik ke atas podium sebagai perwakilan teman seangkatanku. Ku tatap sekeliling dan berharap kau ada di sana. Seketika rasa kecewa memenuhi hatiku. Setelah menyampaikan beberapa pesan singkat aku turun dan menghampiri teman – temanku. Rasanya semua terasa salah saat itu, seharusnya kau ada di sana dan aku akan berlari memeluk tubuh ringkihmu. Tapi itu menjadi sekedar khayal saat aku sadar kau tak ada di sana. Dengan tergesa aku mencari kendaraan umum yang dapat membawaku padamu. Sengaja masih kupakai baju kebanggaan dan toga itu kutenteng agar dapat kuperlihatkan bahwa kerja kerasmu telah membuahkan hasil. Aku telah diajak bergabung dengan rumah sakit ternama setelah kelulusanku.

Perasaan senang membuat kakiku ini berlari penuh semangat melewati gang kecil menuju tempatmu berada. “mungkin kau lupa jam berapa acaranya dimulai dan masih bersiap saat ini” itulah yang aku pikirkan untuk menenangkan diriku. Satu belokan lagi dan aku akan sampai kepadamu. Aku pun memakai toga itu agar dapat memperlihatkannya padamu. Aku berpikir ingin memberimu kejutan, namun ternyata kaulah yang memberiku kejutan.

Langkahku terhenti. Menatap rumah yang biasanya lengang itu kini dipenuhi banyak orang. Bukan, bukan itu yang membuatku berhenti, tapi sebuah bendera kuning yang berkibar diterpa angin itu. Aku hampir saja jatuh jika satu pembohongan terhadap diri sendiri tak kujadikan keyakinanku saat itu “ini hanya mimpi” kata itulah yang membuatku berderap ke dalam rumah. Aku tak perduli bagaimana mereka menatapku iba, saat itu dalam harapanku hanya satu yaitu agar kau datang ke arahku mengucapkan kalau kau baik – baik saja. Dan semua itu runtuh saat di sana kau terbaring kaku dengan kain yang menutupi wajahmu sebatas leher. Wajah pucat dan gurat lelah itu tampak amat jelas di sana tapi senyum itu tak pernah pudar. “apa ini? Apa kau sedang bercanda?ini tak lucu” ucapku waktu itu. “mel” tegur salah seorang dari mereka yang tak kuperhatikan lagi. “aku.. aku.. tidak tahu? Rasanya kenapa sangat sesak? Kenapa rasanya aku sulit bernapas?” aku memukul dadaku yang terasa begitu sesak berharap semuanya berhenti. Lalu kesadaran menghampiriku, ini semua nyata. Aku berteriak histeris saat itu, lalu menghampiri tubuh kakumu. “kenapa? Kenapa begitu cepat? Kau lihat aku berhasil, aku akan bekerja dan merawatmu, tapi kenapa begitu cepat? Aku bahkan belum memanggilmu dengan benar. Sekarang dengarkan aku oke? Ayah…. ayah… bukannya kau selalu ingin aku memanggilmu ayah, kau dengarkan?sekarang bangunlah! BANGUN!” aku mengguncang tubuhmu saat itu, dan para tamu segera menarikku. aku memang tak pernah memanggilmu dengan sebutan ayah karena sejujurnya aku malu. Pakaian lusuh yang sering kau pakai itu terkadang membuatku menjadi bahan ejekan.

Semua sudah selesai sekarang. Kau sudah ada di tempat peristirahatan terakhirmu dan aku saat itu masih di sana, Menatap tanah merah yang memelukmu. Takkan ada lagi kau yang akan mengoceh tentang pentingnya makan teratur agar hidup sehat padahal aku tahu waktu itu kau bahkan belum memakan apapun. aku menangis tergugu hari itu di temani sang lembayung senja. Hari itu aku membencinya, membenci senja yang membawa mu pergi dariku, ayah…

Kurasakan dekapan hangat dari arah belakangku “mengenang lagi hem..?” tanya suara itu. Aku mengangguk dan tersenyum. Dekapan itu mengerat seolah tahu apa yang kurasa. Ya, ada satu lagi kenangan tentang senja yang mambuatku bahagia setelah jatuh merana. Aku bertemu dengannya di jembatan tempatku biasa mengenang, dia datang bersama senja yang mulai menghilang, sang tuan senja.

Terima kasih untuk senja yang membuatku menitikkan air mata dan membuatku bahagia.

Related posts:

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup

Temu

Penulis: Wriftsah Qalbiah (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Semilir rindu menaungi langkahku, Membawaku pada ruang sepi yang menanti sebuah temu. Bayangmu

Menumpang Tanya

Oleh: Athifah Putri Fidar Di atas bus yang berguncang lembut,kita berdiri bersebelahan,namun dengan debaran jantung yang tak seiramseperti dua ritme