web analytics
header

GABUNGKAN KONSEP HUKUM WARISAN EROPA KONTINENTAL DAN KEARIFAN LOKAL, SYL JADI PROFESOR

Sumber: Dokumentasi Eksepsi

 

 

Sumber: Dokumentasi Eksepsi
Sumber: Dokumentasi Eksepsi

Makassar, Eksepsi Online – (19/3) Menteri Pertanian Republik Indonesia, Prof. (Unhas). Dr. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.Si, M.H, (SYL) melalui orasi ilmiahnya resmi menerima gelar Profesor Kehormatan Universitas Hasanuddin pada kamis, (17/3) lalu.

Pada orasi ilmiah yang berjudul “Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik Dengan Kearifan Lokal Dalam Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan” SYL mengangkat penggabungan antara Hukum Tata Negara positif Indonesia dan kearifan lokal masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bugis Makassar, Sulawesi Selatan.

Konsep hibridisasi diangkat dan didasari oleh peran beliau saat ini sebagai Menteri Pertanian Republik Indonesia. Hibridisasi dalam pertanian, adalah penggabungan/penyilangan dua individu/varietas yang berbeda untuk menghasilkan satu varietas unggul.

Berdasarkan orasi ilmiahnya, SYL menyampaikan bahwa apa yang disusun oleh beliau dalam orasi ilmiah tersebut adalah hasil pemikiran dan pengalamannya selama 40 tahun berkarir menjadi seorang birokrat mulai dari setingkat Kepala Desa, sampai saat ini menjadi Menteri Pertanian Republik Indonesia.

Permasalahan yang kemudian diangkat oleh SYL adalah bagaimana gambaran Hukum Tata Negara (HTN) kurang memenuhi keadaan masyarakat saat ini. Selain itu, menurutnya perkembangan hukum positif Indonesia saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pemikir Eropa.

“Pemikiran John Locke, Thomas Hobbes, Adam Smith, Frederich Hegel, Karl Marx, dan lainnya dipelajari dengan sungguh-sungguh, dibandingkan dengan mengakrabi pemikiran hukum, politik, dan pemerintahan oleh Ammana Gappa, misalnya tentang Hukum Maritim pada abad 17”.

Nilai-nilai kearifan lokal bugis Makassar menurut SYL penting untuk dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan dan akademisi hukum. SYL berpendapat bahwa teorisasi hukum di Indonesia adalah pekerjaan besar yang membutuhkan ketelatenan. Oleh karena itu, teorisasi hukum seharusnya tidak hanya mengacu pada hukum normatif semata, melainkan juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan politik kita sendiri.

Sementara itu, di akhir acara, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., menyampaikan apresiasi kepada SYL.

“SYL telah membuktikan bahwa hukum positif yang mengatur tata negara dan pemerintahan saat ini tidak cukup kecuali diikuti dengan kearifan lokal yang berangkat dari masyarakat itu sendiri” Jelas Prof. Dwia. (aim)

Related posts: