Makassar, Eksepsi Online – (17/6) Semenjak terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dewasa ini dilihat menjadi solusi untuk menghentikan kasus seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi. Namun, jika melihat saat ini, masih sangat kurang perguruan tinggi yang belum mengimplementasikan peraturan tersebut.
Menurut Koordinator Umum Komite Anti Kekesaran Seksual Universitas Hasanuddin (Unhas) terkait soal pelecehan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi terlebih khusus di Unhas, menyatakan masih banyak yang mengetahui keberadaan aturan tentang penanganan kekerasan seksual di tingkat Himpunan Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), maupun Universitas Hasanuddin.
“Pembahasan soal kekerasan seksual pernah meningkat seiring dengan isu Permendikbud kemarin, tapi sekarang menurun kembali orang membahas soal kasus kekerasan seksual,” ujar Siti Khafidzah Mufti.
Ia melanjutkan bahwa persoalan kekerasan seksual ini masih menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan.
Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas Tahun 2019-2022 yang terbit pada bulan Maret 2022, beberapa kasus tercatat oleh mereka dari aduan korban. Setidaknya terdapat 16 kasus kekerasan dimana 15 kasus dilaporkan oleh korban, dan 1 kasus dilaporkan oleh pelaku. Adapun uraian pelaku kekerasan seksualnya yaitu:
1. Ranah Privat 57% (9 kasus)
-Pacar (2 kasus)
-Mantan Pacar (6 kasus)
-Kerabat (1 kasus)
2. Ranah Komunitas 43% (7 kasus)
-Teman (4 kasus)
-Atasan di tempat kerja (1 kasus)
-Dosen Pembimbing (1 kasus)
-Orang yang tidak dikenal (1 kasus)
Menurut catatan tersebut, terjadinya kekerasan seksual bukan hanya dilihat dari siapa yang berpotensi menjadi korban, namun dilihat juga dari siapa yang berpotensi menjadi pelaku. Dari total kasus yang ada, kekerasan seksual ini dilakukan dengan bermacam-macam variasi, mulai dari kekerasan secara verbal, psikis (pengancaman), fisik, finansial, pemerkosaan, paksaan hubungan seksual, dan KBGO (Kekerasan berbasis gender online).
“Sekarang yang ditangani komite setelah catahu ada 2 kasus yang kita kawal sampai sekarang, ” ujar Icha sapaan akrabnya.
Selanjutnya, Icha juga memberi keterangan jika pada saat menangani kasus seringkali meminta bantuan kepihak kampus. Kendala lain hadir dengan alasan-alasan pihak kampus ketika dimintai bantuan atas penyelesaiaan kasus, yakni dengan tidak adanya tindak lanjut atau terkendala dengan posisi tinggi yang dimilki oleh pelaku.
“Hanya dua responnya, pertama tidak ada follow up, kedua pelaku nya adalah yang jabatannya lebih tinggi (dari tempat meminta bantuan),” tuturnya dalam wawancara pada Selasa (14/6).
Icha juga menggambarkan keberadaan Permendikbud ini ibaratkan bola yang harus dijemput, dan hingga saat ini belum dijemput oleh Unhas. Ia juga menambahkan dalam meningkatkan kesadaran untuk kekerasan seksual dalam lingkup kampus, pihak kampus harusnya membuat kajian terbuka ataupun sosialiasi terbuka dengan membahas hubungan kampus dan Permendikbud tersebut.
Lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, ia meminta keterlibatan seluruh civitas akademika .
“Permendikbud untuk melindungi semuanya, tidak hanya satu dua orang yang berkepentingan saja. Artinya dengan sosialisasi terbuka saja itu sudah bentuk kepedulian kampus,” harap icha.
Dalam sesi wawancara bersama kru eksepsi, ia menutup dengan ajakan kepada mahasiswa untuk meminta pihak kampus menerapkan Permendikbud ini. (fff)