Makassar, Eksepsi Online – (13/11) Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) disahkan pada 20 september 2022 yang kemudian tercatat menjadi Undang-Undang Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dalam pengesahan UU tersebut menempuh perjalanan yang cukup panjang dan kontroversial.
Walaupun tidak sedikit yang mendukung pengesahan RUU PDP karena dinilai dapat menjadi instrument hukum untuk melindungi data pribadi warga negara dari praktik penyalahgunaan data pribadi, namun terdapat beberapa aturan yang dinilai membatasi atau mematikan fungsi jurnalistik.
Anggota Majelis Etik (ME) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Nurdin Amir menjelaskan bahwa ketiaadaan fungsi jurnalistik pada beberapa pasal dalam UU PDP menjadikan jurnalis rentan dikriminalisasi. Kriminalisasi ini juga rentan menjerat aktivis dan masyarakat sipil.
“Saya melihat, persoalan yang selama ini mengancam kebebasan pers dan teman-teman di sini pasti tau bahwa belakangan ada UU ITE yang banyak menjerat masyarakat kita, baik itu aktivis, jurnalis maupun masyarakat sipil. Dan sekarang ada lagi RUU KUHP yang baru disahkan yang sarat dengan kepentingan politik. Dan dibeberapa kajian belakangan kami melihat bahwa di RKUHP ini sangat mengancam kebebasan pers termasuk delik penghinaan presiden,” jelasnya pada Sabtu (12/11) lalu.
Dalam panjelasannya pada Kegiatan Kumpul Bareng Persma Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin, ia menegaskan bahwa pers merupakan profesi yang dilindungi oleh undang-undang No. 40 Tahun 1999, pada bagian menimbang undang-undang tersebut, telah mencantumkan dengan jelas bahwa:
Pers nasional seagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentukan opini harus dapat melaksanakan asa, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang professional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlndungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
AJI bersama Koalisi Masyarakat sipil menilai, UU PDP sebelum disahkan menjadi undang-undang, dalam penyusunannya tidak mempertimbangkan aturan lain yang semestinya disinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Hal tersebut menjadi bukti konkret pembahasan UU PDP terkesan terlalu terburu-buru
Selain itu pasal 4 ayat (2) huruf d dan pasl 64 ayat (4) UU PDP yang berpotensi mengancam kerja-kerja jurnalistik dalam meliput suatu sengketa pelanggaran data pribadi di pengadilan, serta dalam melakukan peliputan mengenai catatan kejahatan seseorang, bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers terutama terhadap hak untuk memperoleh, mencari dan menyebarluaskan kepada publik.
“Pers dalam melakasanakan kerja-kerja jurnalistik harus sedapat mungkin dikecualikan dalam pengaturan data pribadi untuk menjamin keterbukaan informasi publik dan kemerdekaan pers,” tegasnya pada acara yang berlangsung di Lab. Moot Court Harifin A. Tumpa, S.H., M.H.
Meskipun ada pengecualian dalam hak-hak subjek data sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU PDP, tetapi tidak mempertimbangkan kepentingan hak informasi bagi publik dan aturan tersebut tidak mengecualikan bagi pekerja pers yang melaksanakan kerja jurnalistiknya yang justru dapat menimbulkan adanya diskriminasi hukum.
“Padahal kerja-kerja jurnalistik demi kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara,” tambahnya dihadapan para peserta.
Sebagai penutup materinya mantan ketua AJI kota Makassar itu menegaskan bahwa koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi publik seperti pasal 4 ayat (2) huruf d, pasal 15 ayat (1), pasal 64 ayat (4), pasal 65 ayat (2) dan pasal 67 ayat (2) dari UU PDP. (goz)