Ilustrasi: Tim Eksepsi
Makassar, Eksepsi Online – (2/1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah diterbitkan oleh Pemerintah sebagai penutup akhir tahun 2022 pada (30/12) lalu.
Dilansir dari Kompas Pagi edisi 31 Desember 2022, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menyampaikan bahwa, Perpu ini telah menggugurkan status inkonstitusional bersyarat Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurutnya, status inkonstitusional bersyarat tersebut gugur karena terdapat kebutuhan mendesak sehingga tidak menunggu dibuatnya UU baru melainkan membuat Perpu yang setara dengan UU.
Merespon terbitnya peraturan tersebut, Tim Eksepsi melakukan wawancara khusus bersama Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH), Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., untuk membahas tentang lahirnya Perpu serta keadaan mendesak yang sebelumnya telah disampaikan oleh Mahfud MD.
Tim Eksepsi: “Memulai pembahasan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Pertanyaanpertama mungkin, bagaimana status dari Perpu menurut Anda?”
Dr. Romi: “Statusnya ya sah, karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Kaidahnya adalah, dia dianggap tidak bertentangan sampai ada ketentuan yang membatalkannya”
Tim Eksepsi: “Secara umum, dalam hal apa Perpu dapat diterbitkan?”
Dr. Romi: “Nah ini menarik, kalau kita merujuk pada Undang-Undang Dasar (UUD), di sana telah dijelaskan bahwa secara formal, Presiden berwenang mengeluarkan Perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Tim Eksepsi: “Jadi poinnya ada pada hal ihwal kegentingan yang memaksa, apa sebenarnya hal ihwal kegentingan yang memaksa itu?”
Dr. Romi: “Pada UUD, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak di jelaskan secara konkret, lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 138/PUU-VII/2009, MK menjelaskan bahwa Perpu diperlukan apabila:
• Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
• Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
• Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Tim Eksepsi: “Istilah ‘mendesak’ yang dimaksud dalam putusan MK tersebut, mendesak yang bagaimana menurut Anda?”
Dr. Romi: “Dalam disertasi Saya, kebetulan sudah jelas itu, berdasarkan konstruksi peraturan dalam bidang pembentukan peraturan perundang undangan kita (Indonesia), terdapat berbagai istilah “kemendesakan”. Tetapi, kriteria terhadap hirarki kemendesakan tersebut ada 3, Pertama kemendesakan tersebut tidak dapat menunggu sidang, kedua masih dapat menunggu sidang, dan yang ketiga harus menunggu sidang untuk mendapatkan persetujuan bersama (Presiden dan DPR)”
Tim Eksepsi: “Jadi bagaimana dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini, dia masuk pada kriteria kemendesakan yang mana?”
Dr. Romi: “Jika merujuk pada prosedur yang digunakan, maka dia masuk pada kriteria tidak dapat menunggu sidang untuk mendapatkan persetujuan bersama.”
Tim Eksepsi: “Apa indikator tidak dapat menunggu sidang yang Anda maksud?”
Dr. Romi: “Yaa ketika DPR sudah tidak dapat lagi bersidang.”
Tim Eksepsi: “Jika dikaitkan pada Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini apakah keadaan dan kriteria tersebut telah terpenuhi?”
Dr. Romi: “Waaah secara faktual, hanya bapak Presiden saja yang tau.”
Tim Eksepsi: “Terakhir, simpulannya apakah Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini, bisa menggugurkan status inkonstitusional bersyarat dari UU No. 11 Tahun 2020?”
Dr. Romi: “Hahaha (dengan mimik wajah heran sembari menggaruk kepalanya Dr. Romi berkata). Yaa, Tidak bisa dihubungkan secara langsung.” (aim)