Makassar, Eksepsi Online – (16/4) Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) mengadakan kegiatan Pendampingan Grand Issue dengan tema kekerasan seksual dengan pembahasan “Mengupas Substansi Implementasi Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasca Disahkan”.
Acara yang dilaksanakan melalui Zoom Meeting tersebut terbuka untuk umum dengan menghadirkan Tiga narasumber yakni Willy Aditya, S.FIL, MDM (Anggota DPR RI, KOMISI XI dan juga merupakan Ketua Panitia Kerja RUU TPKS), M. Aris Munandar, S.H., M.H. (Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas) dan Lusia Palulungan, S.H., M.HUM. (Direktur Yayasan Rumah Mama SulSel).
Satu tahun setelah disahkannya UU TPKS, Willy berpendapat bahwa masalah terbesar di masyarakat Indonesia adalah masalah sosikultural bahwa kekerasan seksual masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan saru.
“Karena realitas sosial kita yang masih feodal ini yang kemudian menjadi tantangan, barrier besar dalam proses merealisasikan undang-undang ini,” jelas Willy.
Lebih lanjut ia menjelaskan, UU TPKS dibuat agar aparat penegak hukum memiliki payung hukum. Sebab beberapa UU yang sebelumnya telah eksis seperti UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak dan sebagainya tidak cukup untuk memberikan perlindungan kepada korban dan juga menjadi legal standing bagi aparat penegak hukum dalam menindak pelaku-pelaku kekerasan seksual.
“Inilah problem yang masih kita rasakan, bahwasannya aparat penegak hukum masih saja belum menggunakan ini secara optimal. Di dalam beberapa kasus yang terakhir masih terjadi restorative justice. Padahal khusus dalam kekerasan seksual, kita tidak menggunakan restorative justice,” tambahnya.
Ada terobosan baru di dalam UU TPKS terkhusus pada beberapa bentuk kekerasan seksual salah satunya ialah perkawinan anak. Lusi menyatakan adanya perkawinan anak yang di atur dalam UU TPKS merupakan satu langkah maju untuk percegahan terjadinya perkawinan anak.
“Penanganan yang dibutuhkan itu bukan hanya penanganan kasusnya tetapi juga pemulihan secara psikologis sampai dia bisa pulih dari kekerasan seksual yang dialami,” jelas Lusi terkait penangan kekerasan seksual.
Lusi pun menambahkan terkait kendala lembaga-lembaga layanan yang fokus pada isu-isu perempuan pasca disahkannya UU TPKS ialah, pertama pada proses penanganan kasus di kepolisian karena banyak penyidik yang belum mau untuk menerapkan UU TPKS ini dengan alasan belum ada kebijakan turunan.
“Kira lihat pasal dalam UU ini sudah mengatur tentang perlunya penguatan kepada aparat penegak hukum dan lembaga layanan. Kenapa seperti itu? karena UU ini memiliki hukum acara pidana sendiri,” tuturnya.
Selanjutnya, Lusi menyatakan pentingnya ada penguatan pada aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga layanan agar bisa benar-benar memahami substansi dari UU TPKS.
Aris menyatakan terkait Keberlakuan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang pada dasarnya sudah berlaku. Hanya saja keberlakuan UU ini membutuhkan aturan pelaksanana yang paling lambat 2 tahun sejak diundangkan.
Ia juga menambahkan ada rasio legis penerbitan UU TPKS yaitu untuk memberikan perlindungan perlindungan kepada korban. Namun UU TPKS ini juga membuka perluang untuk memberikan kemanfaatan bagi pelaku khususnya bagi pelaku yang sudah kecanduan untuk melakukan kekerasan seksual. (hvn)