web analytics
header

Bisikan Kelam Perampasan Ruang Hidup

Sumber: kalamkopi-wordpress.com

Oleh: Rahmawati

(Pengurus LPMH Periode 2022-2023)

Di balik sorotan terang perubahan iklim dan upaya pelestarian lingkungan terlihat pemandangan yang kurang menyenangkan yaitu adanya perampasan ruang hidup yang menjelma menjadi bayangan gelap yang menghantui ekosistem. Perampasan ruang hidup adalah cerita tentang bagaimana kepentingan ekonomi seringkali mengalahkan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak manusia.

Lalu apa sih sebenarnya perempasan ruang hidup itu?

Dr. Vandana Shiva, seorang ilmuwan lingkungan dan aktivis hak asasi manusia, menggambarkan perampasan ruang hidup sebagai proses di mana komunitas manusia dan spesies lainnya kehilangan akses dan kendali atas sumber daya alam yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan mereka.

Perampasan ruang hidup yang juga dikenal sebagai deforestasi, perambahan lahan, dan perubahan penggunaan lahan merujuk pada aktivitas manusia yang merusak, menghancurkan, atau mengubah habitat alamiah untuk tujuan seperti pertanian, pertambangan, pembangunan perkotaan, dan infrastruktur. Aktivitas ini seringkali berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya. Pohon-pohon ditebang, hutan-hutan diratakan, dan lahan-lahan yang dulunya hijau berubah menjadi zona beton dan aspal.

Dampak perampasan ruang hidup sangat luas di antaranya berupa ancaman bagi spesies hewan maupun tumbuhan yang kehilangan habitat alamiah yang dapat memicu efek berantai di seluruh ekosistem. Lebih lanjut dampak serius lainnya adalah perubahan iklim. Hutan-hutan berperan penting dalam menyimpan karbon dioksida (CO2), salah satu gas rumah kaca utama yang menyebabkan perubahan iklim. Ketika hutan ditebang atau terbakar, karbon yang tersimpan dalam pohon-pohon dilepaskan ke atmosfer meningkatkan konsentrasi CO2 di udara. Hal ini mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.

Perampasan ruang hidup masyarakat adat

Selain itu, ada dampak sosial yang signifikan yang harus diperhatikan. Banyak komunitas adat dan masyarakat lokal yang tinggal di lingkungan yang terancam perampasan ruang hidup. Mereka seringkali menjadi korban karena kehilangan tanah mereka serta sumber daya alam yang digantungkan untuk hidup. Salah satu kasus yang cukup mencolok adalah konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan pertambangan atau kehutanan yang ingin menguasai lahan di wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat. Salah satu contohnya adalah konflik di wilayah Papua, di mana masyarakat adat seringkali menghadapi tekanan besar dari perusahaan-perusahaan tambang yang ingin mengakses sumber daya alam di wilayah mereka.

Salah satu kasus yang terkenal adalah konflik di Kabupaten Mimika-Papua, antara masyarakat adat Amungme dan Kamoro dengan perusahaan tambang internasional PT Freeport Indonesia. Konflik ini terjadi karena PT Freeport mengoperasikan tambang emas dan tembaga di wilayah yang dianggap sebagai tanah adat oleh masyarakat setempat. Masyarakat adat merasa bahwa aktivitas tambang tersebut merusak lingkungan, mencemari sungai-sungai yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.

Dilansir dari antaranews.com pada Selasa (31/1), sejumlah perwakilan dari 23 kampung di tiga distrik yaitu Agimuga, Jita, dan Manasari mengunjungi Komisi IV DPR RI untuk menyampaikan aspirasi mereka. Fokus aspirasi ini adalah masalah serius limbah tambang yang dibuang oleh Freeport ke sungai-sungai di daerah tersebut dianggap merusak ekosistem sungai yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian dan kesehatan masyarakat setempat.

Konflik semacam ini menunjukkan pentingnya memperhatikan mengenai bagaimana mencapai keseimbangan antara pengembangan ekonomi melalui pertambangan dan perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. Aktivitas tambang tersebut tidak hanya merusak lingkungan termasuk mencemari sungai-sungai yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat tetapi juga merampas ruang hidup dan sumber daya alam yang secara historis telah menjadi bagian penting dari kehidupan dan budaya mereka. Konflik ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia yang seringkali menghadapi perusahaan-perusahaan besar dalam upaya mereka untuk melindungi ruang hidup tradisional mereka dan hak-hak asasi manusia mereka.

Perampasan ruang hidup sebagai isu urgensi yang harus diselesaikan

Hak-hak masyarakat untuk mengelola sumber daya alam lokal mereka dan hidup dalam lingkungan yang sehat dan berkelanjutan harus dihormati dan dilindungi. Ketika hak-hak ini dilanggar oleh perusahaan atau pemerintah maka masyarakat dapat menghadapi ketidakadilan yang serius. Oleh karena itu, menangani perampasan ruang hidup bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga tentang melindungi hak asasi manusia, keanekaragaman hayati, dan masa depan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Dalam menghadapi isu ini, kolaborasi global dan tindakan segera adalah kunci untuk menjaga kehidupan di Bumi ini.

*Opini ini tidak mewakili pandangan Redaksi Eksepsi

Related posts: