Makassar, Eksepsi Online – (19/9) Hassanudin Law Study Center (HLSC) menyelenggarakan Pendampingan Grand Issue Vol.III pada Minggu (17/9). Pendampingan Grand Issue ini mengusung tema Efektivitas Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual : Eksistensi Peraturan Pelaksana Sebagai Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Adapun beberapa narasumber yang memberikan materi diantaranya M. Aris Munandar, S.H., M.H. (dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Eni Widiyanti, SE, MPP, M.S.E (Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Kasmawati, S.Sos., M.H. (Kanit 5 Subdit 4 Ditkrimum Polda SulSel), dan Eva Nurcahyani (Presiden BEM STH Indonesia Jentera) sebagai penanggap.
Ketua panitia Pendampingan Grand Issue Vol. III, Muhammad Alfian menyampaikan tujuan dari diangkatnya tema pada kegiatan ini.
“Sejak Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual disahkan, pengimplementasian undang-undang tersebut belum berjalan secara optimal sehingga pembentukan pelaksanaan terhadap undang-undang tindak pidana kekerasan seksual diperlukan,” ujar Alfian.
Mengenai tidak opitimalnya pelaksanaan UU TPKS ini turut diungkap oleh Aris Munandar, S.H., M.H. selaku pemateri pertama.
“Kalau kita mau lihat efektivitasnya itu agak sulit karena belum dilaksanakan secara umum karena untuk menguji penegakan hukum harus melihat sejauh mana pelaksanaan dari undang-undang itu,” ujarnya
Kasmawati, S.Sos., M.H. sendiri menerangkan hambatan atau faktor kendala dari aparat penegak hukum dalam pengimplementasian UU TPKS.
“Kepolisian sulit untuk menangani kasus kekerasan seksual karena korban melapor belum bisa dibuktikan dan terkadang korban memanfaatkan laporan untuk mendapatkan finansial,” tuturnya.
Lantas apa saja yang termasuk ke dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dijabarkan oleh Eni Widiyanti, SE, MPP, M.S.E.
“TPKS terdiri atas pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, perkawinan, eksploitasi seksual, pelecehan seksial fisik, pemaksaan strelisisasi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik,” jabarnya.
Dijelaskannya pula bahwa pelaku bukan hanya dipenjarakan tetapi juga ada restitusi, pidana tambahan, dan rehabilitasi. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pencegahan, pemulihan dan pemantauan terhadap tindak pidana kekerasan seksual.
Kegiatan yang digelar secara daring melalui Zoom ini berlangsung lancar hingga akhir kegiatan. (Ehn)