Tidak Punya Sertifikat, Masyarakat Rempang Skakmat?
“Masyarakat di Pulau Rempang Tidak Ada yang Punya Sertifikat”.
Makassar, Eksepsi Online – (30/10) Begitulah narasi yang banyak tersebar di media. Masyarakat Melayu yang menduduki Pulau Rempang Batam memang menjadi topik hangat beberapa waktu terakhir. Semua bermula dari proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City, mengakibatkan masyarakat Rempang harus angkat kaki dari tanahnya. Tak setuju, mereka menyerukan penolakan terhadap rencana relokasi.
Setelah diungkapkan oleh Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, ‘Masyarakat Rempang tidak memiliki dokumen kepemilikan’ kemudian menjadi narasi yang banyak didapati di headline berita. Muhammad Anshar dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dalam diskusi bertajuk PERJAMUAN (Pertemuan Jurnalis Bulanan) yang digelar LPMH UNHAS (Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin) memantik api diskusi dengan pertanyaan: Apakah narasi “Masyarakat Rempang tidak memiliki sertifikat” rasional di mata hukum?
Mundur puluhan tahun ke belakang, Belanda yang kala itu menjajah Indonesia, menerapkan Domein Verklaring, sebuah istilah di mana semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara. Domein Verklaring ini lah yang disebut Anshar mempengaruhi tersebarnya narasi-narasi tersebut.
“Padahal Domein Verklaring, setelah Indonesia merdeka, dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Pokok Agraria, Domein Verklaring sudah dihapus. Kan kita sudah bisa lihat penghapusannya itu di pasal 33 ayat 3 UUD NRI,” ungkap Anshar
Pasal 33 ayat 3 UUD NRI berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kemudian timbul pertanyaan baru:
Bagaimana Bentuk Penguasaan oleh Negara?
Anshar menjelaskan, kata “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”, hal itu disebutkan dalam pasal 2 UU Pokok Agraria yang berbunyi:
2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
“Tidak dimiliki oleh negara… Negara punya wewenang untuk melakukan pengaturan, pengaturannya itu peruntukkannya sesuai pasal 33 ayat 3, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tutur Anshar.
Menurutnya, negara tidak memiliki hak atas tanah, hanya mengatur hubungan hukum antar warga negara dengan sumber-sumber agraria serta mengatur bagaimana peruntukkannya. Lebih lanjut ia mengungkapkan, “negara seharusnya memberikan hak kepemilikan terhadap warga yang sudah berpuluh-puluh tahun itu.”
Terkait hak kepemilikan, Anshar menyebutkan, masyarakat Rempang sudah memenuhi unsur-unsur dalam UU Agraria untuk dapat ditingkatkan hak kepemilikannya dengan pengadaan sertifikat tanah.
Memenuhi Unsur-Unsur dalam UU Agraria, Warga Rempang berhak atas Sertifikat
“Seharusnya negara sudah memberikan hak kepemilikan tersebut kepada masyarakat rempang karena sudah memenuhi UU Agraria,” ucap Anshar.
Ia menyebutkan syarat-syarat untuk mendapatkan hak atas kepemilikan: Merupakan WNI, penguasaan lebih dari 20 tahun dan sudah dilakukan secara turun-temurun.
Masyarakat Rempang sendiri merupakan masyarakat adat Melayu yang sudah berpuluh-puluh tahun dan secara turun-temurun bermukim di pulau itu. Maka dari itu, Anshar menarik kesimpulan, “Unsur untuk kemudian warga Rempang memiliki tanah tersebut sudah terpenuhi menurut Hukum Indonesia.”
“Kalau masyarakat adat itu kan, masyarakat kecil itu sangat sulit untuk memperoleh bukti administrasi. Nah, di sini sebetulnya pemerintah itu bertanggung jawab untuk mengakui mereka dengan memberikan atau meningkatkan hak mereka,“ jelasnya lebih lanjut.
Tanah Rempang Berharga, Bukan untuk Niaga
Masyarakat Rempang sebagai masyarakat adat memiliki ikatan yang kuat dengan tanah yang dipijakinya. Anshar menuturkan, masyarakat adat dengan tanah adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Kehilangan tanah bagi mereka tidak hanya kehilangan properti tanah itu sendiri, tapi ada banyak hal-hal yang bisa menghilang. Bagi masyarakat adat, tanah merupakan bagian dari spiritual mereka. Maka tak heran jika mereka menolak tawaran hunian bagus dari pemerintah sebagai harga dari tanahnya.
“Ini bukan persoalan ganti rugi, tapi ada persoalan yang sifatnya non materil yang tidak bisa digantikan dengan rumah saja. Bukan begitu cara berpikir dari masyarakat adat, hilangnya tanah maka kebudayannya juga akan hilang dan kebudayaan itu tidak bisa diukur dengan materi, dengan uang, dengan ganti rugi. Tidak bisa dimaterialkan.”
Namun, mampu kah masyarakat Rempang bertahan di atas dalih kuatnya ikatan antara masyarakat adat dan tanah, ketika dihadapkan pula dengan dalih demi pembangunan untuk negeri?
Demi Pembangunan: Dibangun untuk Siapa?
Pembangunan adalah suatu keniscayaan dari dialektika sosial, begitu kata Anshar. Namun kemudian ia menggarisbawahi, pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang dapat diakses banyak orang. Pembangunan yang diperuntukkan untuk warga negara, bukan justru mengekslusi warga negara dari ruang publik.
Menurutnya, pembangunan dengan membuka lahan baru saat ini lebih condong kepada proses menciptakan ruang untuk mengakumulasikan modal sebesar-besarnya. Pada akhirnya, ruang-ruang baru yang tercipta semakin eksklusif, hanya untuk orang kaya.
“CPI,” sebutnya memberi contoh.
Padahal menurutnya, sesuai bentuk negara pada pasal 1 yakni Republik, maka pembangunan harus pula bersifat Res Publica, bukan malah Res Privata dan tidak inklusif.
“Model pembangunan saat ini adalah pembangunan yang melahirkan ketimpangan, bukan kesejahteraan.”
Tak hanya dianggap tidak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, proyek Eco-City yang berujung pada lahirnya konflik pun dianggap Anshar malah berujung pada pelanggaran HAM berat.
LBH Makassar: Kasus Rempang termasuk Pelanggaran HAM Berat
“Apakah peristiwa di Pulau Rempang ini dapat dikategorikan sebagai Peristiwa Pelanggaran HAM Berat atau tidak,” ujar Anshar memantik api baru.
Ia kemudian mengungkapkan bagaimana LBH Makassar melihat kasus Rempang ini sebagai pelanggaran HAM Berat. Ungkapan tersebut beralaskan pada Pasal 9 UU no 26 tahun 2000 yang menyebutkan bentuk pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah pengusiran secara paksa penduduk yang dikategorikan ke dalam bentuk kejahatan kemanusiaan.
Menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi, Anshar memaparkan, konflik Rempang sudah memenuhi unsur sistematis dan meluas. Penangkapan masyarakat rempang yang melakukan aksi, hingga penembakan gas air mata di sekolah dan pemukiman adalah wajah konflik yang banyak disoroti media.
“Bisa jadi ini perintahnya dilakukan secara terstruktur… Secara sistem mereka (petugas keamanan) bertindak itu selalu atas nama perintah. Jadi bisa jadi kejadian di sana itu ada perintah, bisa dikategorikan ini adalah peristiwa yang sifatnya atau memenuhi unsur terstruktur itu… menurut kita sudah memenuhi unsur sistematis dan meluas itu.”
Anshar menyayangkan kasus represif yang dilakukan aparat. Pasalnya bukan hanya Rempang. Bulukumba, PTPN Takalar, Soppeng, dan Enrekang mengalami hal serupa, di mana aparat itu jutru digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga negaranya.
“Baju-baju yang mereka pakai, senjata-senjata yang mereka pakai itu dibayar dengan uang rakyat dan ternyata itu dipakai memukuli rakyat. Ini kan logika yang menurutku sudah sangat menyimpang dari tujuan daripada kita bernegara,” tandasnya.
Kasus Rempang: Tanda Tanya Keberpihakan Pemerintah (?)
Pada akhirnya, kasus Rempang menjadi batu uji yang menguji keberpihakan pemerintah sebagaimana yang disampaikan Anshar, “Di sini kita akan menguji, apakah pemerintah yang notebenenya menjalankan fungsi negara atau menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh negara itu berpihak kepada rakyat atau berpihak kepada yang kita sebut para oligarki.”
Keberpihakan kepada negara, kata Anshar, akan terbukti jika pemerintah memberikan hak kepemilikan secara adminstrasi berupa sertifikat hak milik kepada warga Rempang.
Pemerintah perlu ditagih, apakah sudah menjalankan roda pemerintahan berdasarkan konstitusi atau menjalankan roda pemerintah ke luar jalur roda konstitusi.
“Menurutku, ini sudah keluar dari konstitusi,” pungkasnya di Taman Keadilan Fakultas Hukum Unhas pada Rabu (25/10) lalu. (lyn)