web analytics
header

Miris, Mahkamah Konstitusi Pentingkan  Ego Pribadi

Sumber: Pinterest

Oleh: Ainun Jahriah

(Pengurus LPMH-UH Periode 2022/2023)

Ada apa dengan Mahkamah Konstitusi?

Suatu hal yang kini hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Termasuk anak kecil? Mungkin saja. Jika ada seorang anak yang diming-imingi coklat ataupun permen manis siapa yang akan menolaknya? Eitsss, bisa jadi rasa manis itu adalah racun. Begitu juga dengan iming-imingan janji sesorang pejabat berdasi kepada masyarakat jelata yang lusuh akan pakaiannya. Ini tidak berbicara mengenai janji palsu layaknya alamat palsu, akan tetapi persoalannya apakah masih ada kepercayaan yang dapat digenggam?

Prolog diatas bukan suatu wejangan! melainkan kanggo kenyataane.

Mula-mula.

Terkait adanya permohonan Pengujian Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang dilancangkan oleh mahasiswa menimbulkan banyak tanda tanya terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Seperti yang telah banyak kita ketahui dalam Putusan Nomor 90/PUU-Xxi/2023, Mahkamah Konstitusi merumuskan sendiri norma seorang pejabat yang tepilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres dan cawapres walaupun tidak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun. Putusan tersebut memberikan golden tiket untuk Gibran selaku putra sulung Jokowi yang juga merupakan keponakan dari Ketua Mahkamah Konstitusi yakni Anwar Usman. Dengan nama lengkap Gibran Rakabuming berpacu cepat pada Pilpres 2024 dala usia 36 tahun dengan bekal status Walikota Solo yang hitungannya hanya 3 tahun menjabat. Telah terpampang jelas bukan terkait pemakaian orang dalamnya?

Yapsss. Hal itu benar diduga adanya hubungan kekerabatan. Anwar diduga terlibat aktif dalam melobi hakim lainnya untuk memutuskan perkara tersebut. Sehingga telah jelas melakukan pelanggaran kode etik. Bukan hanya itu, dilansir dari halaman sosial media narasinewsroom adanya kejanggalan terkait Administrasi perkara No 90 yang mana sempat ditarik dan batal dicabut lantaran diduga atas perintah pimpinan. Maka dengan itu putusan MK terkait batas usia minimal capres-cawapres yang diiketuai oleh Anwar Usman cacat secara hukum sehingga pencalonan Gibran sebagai bacawapres adalah illegal.

Atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan kepentingan konflik dalam putusan perkara no 90 pun terbukti setelah MKMK memutuskan bahwa Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat dan mendapatkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi hal itu didasarkan pada Kode Etik dan perilaku Hakim Kontitusi yang dilanggar. 

Namun, apakah sanksi yang dilayangkan kepada Anwar Usman telah tepat?!

Menurut penulis, tentu saja tidak. Karena sanksi yang paling tepat untuk Anwar Usman adalah pemberhentian tidak dengan hormat. Mengapa demikian? Tentu saja dinilai diluar dari ekspektasi. Sesuai Peraturan Mahkamah No 1 tahun 2023 ttg Majelis kehormatan MK pasal 41, Anwar Usman seharusnya tidak sekadar diberhentikan dari ketua MK, akan tetapi alangkah baiknya diberhentikan dengan tidak hormat. Sehingga sanksi yang diberikan dapat mengembalikan marwah dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Lagi dan lagi mari kita melek sejenak dan kita sebut saja negara ini adalah negara MAFIA. Entah tidak kuat pondasi akan suatu keyakinan yang benar atau takut dengan atasan. We never know. Salah satu kode etik yang dilanggar yakni Prinsip Ketidakberpihakan sebagai berikut;

“Hakim Konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa perasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak serta menampilkan perilaku netral baik didalam maupun diluar persidangan.”

Berdasarkan marwah derajat pelanggaran kode etik yang dilakukan seharusnya dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat sehingga mendapatkan sanksi berat  bukan berupa teguran lisan dan pemberhentian dari jabatan Ketua MK. Maka hal itu didasari dengan adanya ego dan kepentingan pribadi (conflict of interest) dibandingkan melaksanakan kode etik, miris. Dengan ditambah kenyataan putusan MK yang telah dikeluarkan tersebut tidak dapat dibatalkan karena putusan tersebut telah bersifat final.

Akankah MK menuju Positive Legislator?

Dalam Putusan MK No 90 2023, secara materil putusan tersebut memuat 2 konsep yakni Open legacy policy dan Negative Legislator. Istilah Open legal policy dikenal sebagai kebijakan hukum yang dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk menafsir dan merenungkan suatu kebijakan hukum. Maka dengan adanya kebebasan tersebut, dapat memberikan kesempatan luas dan fleksibel kepada pembentuk UU untuk mengatur negaranya dan dapat juga membahayakan pembentuk UU apabila bertindak sewenang-wenang nya atau menyalahgunakan kewenangan dalam menentukan sesuatu. Sehingga kebijakan terbuka tersebut tidak dapat ditinjau secara konstitusional oleh karenanya kebijakan tersebut merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Namun tentu saja dalam hal kebijakan tersebut akan melanggar prinsip keadilan , moralitas dan rasionalitas . Dengan itu MK dapat dibenarkan memutus perkara tersebut.

Sedangkan mengenai negative legislator adalah tindakan MK yang dapat membatalkan norma yang ada dalam suatu UU bila bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga konsep tersebut menyatakan bahwa MK tidak berwenang membuat norma baru hanya saja melakukan penghapusan atau mencoret jika tidak sesuai dengan konstitusi.

Sejak diberlakukannya UU No. 8 tahun 2011 dalam Pasal 57 ayat 2 telah diatur jelas batasan-batasan mengenai putusan yang dapat diambil oleh MK. Adapun tujuan dari rumusan pasal tersebut agar sekiranya MK dapat membatasi dirinya sebagai pembatal norma bukan sebagai perumus norma baru (Positive Legislator) karena hal tersebut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden sebagai pembentuk UU. Maka dengan itu, berdasarkan putusan tersebut jelas bahwasannya MK telah melampaui batas kewenangannya.

Namun, jika berkaca kembali pada Peraturan Mahkamah Konstitusi No 02 tahun 2021 tentang tata cara dalam perkara pengujian UU yang mana menyatakan bahwa “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan.” Dengan adanya pertimbangan seperti faktor keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Akan tetapi perkara tersebut tidak didasari dengan adanya keadilan melainkan menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Sehingga secara teoritis dan praktis Negative legislator kini sudah tidak berjalan secara absolut.

Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi

Related posts:

Bisikan Kelam Perampasan Ruang Hidup

Oleh: Rahmawati (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Di balik sorotan terang perubahan iklim dan upaya pelestarian lingkungan terlihat pemandangan yang kurang