web analytics
header

Dansa di Laut Makassar

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Oleh: Elmayanti

(Anggota LPMH-UH)

..

[Prolog]

Aku senang di laut.

Aku senang sebab suara-suara di kepala ku tak sendiri, ada suara ombak yang mengajaknya berdansa.

[Bagian I]

Maka pada Rabu dan Jumat (ataukah di hari-hari lain) di mana suara di kepala merasuk dan berisik.

Di mana suara itu bergerak lincah dengan gerakan aneh mirip orang-orang di aplikasi ponselku.

Di mana suara itu menari dan menelisik tiap sekat tubuhku, menggambar urat baru di lenganku (aku tak tahu apakah itu bagian dari koreografinya atau bukan).

Maka pada Rabu dan Jumat (ataukah di hari-hari lain) itu, ku ajak ia mencari teman dansa, supaya ia tak berdansa sendirian (ush.. sebenarnya supaya ada yang mengajarinya, sebab terakhir kali aku melarangnya melakukan tarian aneh dan menyarankannya belajar dansa saja— ia kesulitan, benda-benda di ruang kepala ku berjatuhan dibuatnya)

Maka pada Rabu dan Jumat (ataukah di hari-hari lain) itu, agar aku bisa membereskan ruang kepalaku, maka ku ajak ia keluar mencari teman dansa.

Maka pada Rabu dan Jumat  (ataukah di hari-hari lain) itu, di salah satu laut di makassar, suara ombak mengajaknya berkenalan. Lantas keduanya berdansa di atas pasir.

Maka pada hari-hari berikutnya, ku antar suara kepala ku kembali ke sana. Mereka akrab. Mereka senang bersama. Aku pun turut senang, sebab ada waktu untuk membereskan ruang kepala ku. Aneh. Suara itu sudah mahir berdansa, tapi benda-benda masih berjatuhan dibuatnya (mungkin ia tidak pandai berdansa sendirian, sebab ombak hanya mengajarinya cara dansa berpasangan).

[Bagian II]

Oh, tidak!

Benda-benda semakin berjatuhan. Aku tak ada waktu ke laut beberapa waktu belakangan. Suara-suara itu menghardik marah sebagai ganjaran. Ruang kepala ku pun penuh dan berantakan.

Terlalu berantakan, sampai aku pun angkat tangan. Berakhir ingin menemui Tuhan.

“Jangan menemui-Nya sebelum kau membawaku ke sana! Bawa dulu aku ke sana! Aku ingin berdansa!”

Aku menunduk takut, suara-suara itu kini memerintah bak raja (salahku yang sejak awal mengikuti maunya).

Tak ada jalan, jika ingin mati, aku harus ke laut, karena hanya di sana, aku kehilangan takut.

[Bagian III]

Maka Minggu sore itu, ku antar dia ke laut untuk berdansa atau dia yang mengantarku ke laut untuk mati. Entahlah, kita tidak berdebat tentang siapa yang mengantar siapa.

Sore itu, ia tak sabar bertemu ombak. Sedang aku tak sabar bertemu Tuhan (setidaknya, langit jingga jadi dekorasi yang indah untuk pertemuan kami).

Ah, lupakan soal langit jingga.

Karena langit– si supir tua itu– lupa menjemput jingga.

Bus udara hanya ditumpangi petir dan beberapa rintik air yang duduk berdesakan dan minta diturunkan.

Sial! Kali ini laut jadi haltenya.

Sial! Pertemuanku dengan Tuhan didekor dengan warna abu.

Sial! (suara di kepalaku ikut mengumpat) Ombak ternyata berteman dengan hujan. aku terpaksa membiarkannya ikut berdansa, mengacaukan saja.

Aku tesenyum, aku dan suara di kepalaku, sekarang kami sama-sama kesal.

[Epilog]

Minggu sore itu, di laut Makassar.

Suara di kepalaku. Ombak laut. Hujan.

Ketiganya lincah berdansa, sampai berbusa-busa, sampai tak sadar, bahwa aku sudah tak tersisa.

Related posts:

Pemangsa Peradaban

Penulis: Verlyn Thesman (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Mau seperti apakah kaumku? Nyaman sudah tak pernah kami alami Tertutup tak tertutup

Temu

Penulis: Wriftsah Qalbiah (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024) Semilir rindu menaungi langkahku, Membawaku pada ruang sepi yang menanti sebuah temu. Bayangmu

Menumpang Tanya

Oleh: Athifah Putri Fidar Di atas bus yang berguncang lembut,kita berdiri bersebelahan,namun dengan debaran jantung yang tak seiramseperti dua ritme