Penulis: Naufal Fakhirsha Aksah
(Anggota UKM BSDK Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Kutemui hal baru dalam perjalananku
Yang mengikat tatap mataku hingga sulit berpaling kala itu
Puncak bukit yang tampak berbeda dari yang lain
Hamparan rumput yang tidak begitu luas dengan sebatang pohon angsana di salah satu sisinya
Di sisi lain, bunga-bunga menyapa dengan ragam warnanya
Tempat itu memang tidaklah gersang
Cerah dan hangat, namun tetap teduh di saat yang sama
Dapat kubayangkan sejuknya tempat itu ketika pagi
Kupikir akan jadi persinggahan yang nyaman bagi perjalananku
Duduk, bersandar, berbaring sejenak, lalu berjalan mengitari tempat itu
Setiap langkahku makin menyentuh kenyamanan atas tempat itu
Tempat yang menyenangkan
“Kusebut tempat ini taman.“
Larut dalam suasana, kuputuskan menanam mawar di sana
“Mawarku akan tumbuh dengan baik di sini.”
Khayalku telah meraba keindahan taman saat mawar itu tumbuh nanti
Tidak berapa lama, kujumpai celah ruang berpintu kayu dan jendela kaca di salah satu tepi bukit
Gitar, bola, dan barang-barang lain tertata rapi di dalam
“Aku baru tahu taman ini ada pemiliknya.”
Bahkan dapat kulihat potret pria itu terpajang di sana
Tubuhku berbalik memuggungi ruang itu
Indra penglihatku mengunci mata seorang pria yang memandang dari kejauhan kaki bukit
“Dia pria yang ada di foto itu.”
Selepas pandangan itu, ia berpaling dan tidak mendekat sama sekali
Tetap di sana seolah kehadiranku tidak untuk dipermasalahkan
Merasa tidak ada yang terusik, aku tidak beranjak dari taman itu
Tetap menikmati setiap keindahan yang bergerak seiring dengan udara yang kuhirup dan kuembus
Meski demikian, rasa penasaran kerap mengusikku lewat tanya
“Sampai kapan aku bisa tetap di sini?”
Tidak menemukan jawaban, aku masih saja terus-terusan membunuh waktu di sana
Tiba masanya keindahan taman itu perlahan redup
Gelap melingkupi, guruh menggaungi, dan kilat menyoroti
Tetes demi tetes air jatuh kian deras sesaat setelahnya
Angin pun menusuk kencang bak mengusirku dari sana
Aku tahu ini badai
Rasa nyaman yang sebelumnya menemani, kini berganti perasaan yang entah apa
Panik, khawatir, takut, dan perasaan lain yang bagiku tidak sedikit pun menyenangkan
“Sudah saatnya pergi.”
Segera kuberlari meninggalkan taman itu
Berharap tidak ada yang berubah dan tertinggal di sana usai kepergianku
“Tunggu, mawar itu masih di sana! Harus segera kusingkirkan sebelum tumbuh.”
Langkahku berganti arah menuju mawar itu
Sesekali kakiku tergelincir oleh tanah yang berubah licin
Hingga langkahku mendadak terhenti saat berdiri di hadapan mawar itu
“Ah, sial! Mawarku mekar dengan indah di taman milik orang lain.“
Kucabut saja secepat mungkin
Mahkota dan kelopaknya terlepas, namun tangkai dan akarnya masih terpaku dengan kokoh
Celakanya, duri-duri mawar itu telah melukai tanganku hingga berdarah
“Benar-benar sial! Bahkan untuk beranjak dari sini tanpa bekas saja harus kutempuh dengan perih luka. Maaf, sudah kucoba sebisaku. Sisanya biar kemarau yang membunuhnya nanti. Aku pergi.“