Makassar, Eksepsi Online – Dalam sekat-sekat kecil milik bumi, suara para petani Takalar dan Gowa membahana di bawah bintang. Mereka menggelar kegiatan bertajuk Diskusi dan Panggung Rakyat dengan mengusung tema “Merdeka itu: Petani Berdaulat atas Tanahnya” yang diselenggarakan pada malam sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia ke-79 tahun, Jumat (16/8) di Posko Perjuangan Petani, Dusun Sunggumanai, Desa Pa’Bentengang, Gowa.
Kegiatan dibuka dengan diskusi dan testimoni dari rakyat, berlanjut pada pameran foto yang menunjukkan visual dari gerakan rakyat dengan judul “Ragam Ekspresi Perjuangan”. Kemudian, di panggung kecil beralaskan tanah, seni pun turut berbicara. Tarian kecil dari anak-anak yang ikut mengiringi musik dan nyanyian para seniman lokal, serta penampilan teater dan puisi. Penampilan kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga medium untuk menyampaikan pesan-pesan perlawanan. Perlawanan mempertahankan tanah.
Di tengah euforia kemerdekaan, banyak rakyat di penjuru negeri tengah mempertahankan hak atas tanahnya. Dua di antaranya disuarakan dalam kegiatan ini. Pertama, tentang tanah milik rakyat yang dipakai untuk memperluas cakupan daerah Bumi Perkemahan Cadika atas keinginan Pemerintah Kab. Gowa yang berusaha mengklaim lahan milik rakyat. Mengutip dari akun Instagram @lbhmakassar, permohonan secara lisan sudah berkali-kali diajukan oleh para petani demi alat bukti kepemilikan atas lahan yang kemudian tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat, hingga akhirnya melalui tim kuasa hukumnya, mereka menyurat ke Desa Pa’Bentengang untuk diterbitkan keterangan penguasaan fisik atas tanah dan Rekomendasi Penerbitan Surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan yang sudah dikuasai sejak tahun 1930-an.
“Saya menang kalau riwayat tanah disebut, tapi kalau surat, tidak ada. Di mana ambil surat kalau bukan dari pemerintah? Saya tidak mau dikasih, … sudah turun-temurun mulai nenek tahun 1930 sampai belumpi (sebelum) merdeka orang,” tutur Mama Ati warga desa Lassang Barat dalam wawancara singkat bersama reporter Eksepsi (16/8).
Lewat kasus lain, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) juga ikut terlibat dalam gaung suara rakyat. Di atas kertas, tanah tersebut dilihat sebagai lahan produktif, sebuah modal yang menopang produksi dan keuntungan. Mereka berdalih bahwa setiap jengkal tanah itu telah sah dimiliki melalui HGU (Hak Guna Usaha) yang diperoleh dengan restu pemerintah. Dalam pandangan mereka, hukum telah memberikan legitimasi, menjadikan tanah itu sebagai milik yang sah, bagian dari roda besar industri yang terus berputar tanpa henti.
Daeng Tonji, seorang warga kampung Beru, menceritakan tentang tanahnya yang pernah dia garap malah dialih fungsikan kepada pihak PTPN.
“Pernah ku kuasai, berapa lama, tiga tahun kayaknya ku kuasai itu tanah tapi akhirnya diambil kembali, … diambil alih lah oleh PTPN,” akunya yang kemudian mengeluh karena perbedaan pendapatan yang dihasilkan setelah tanah miliknya berganti tuan.
“Kembalikan tanah kami, kami juga mau menanam padi. … karena kita tidak mau jadi petani di lahannya orang, tidak mau jadi buruh di tanah kita sendiri, maunya kita sendiri yang garap itu tanah,” pinta Daeng Tonji sebagai harapan dalam menyambut kemerdekaan Indonesia yang ke-79.
Sebagai penutup dari rangkaian kegiatan, deklarasi menolak perampasan tanah kembali digaungkan. Dalam deklarasi tersebut, warga menolak konflik agraria yang mengakibatkan alih fungsi lahan, perampasan tanah dan sumber kehidupan yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Realitas ketimpangan struktur agraria menimbulkan konflik agraria yang diperparah dengan budaya patriarki yang lebih mengutamakan hak kepemilikan laki-laki. Hilangnya hak petani atas tanah sama dengan merampas kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan. Melihat hal tersebut, para petani yang berkumpul di posko perjuangan petani menyatakan sebuah pernyataan sikap untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
- Memperkuat pengorganisasian dan gerakan petani untuk melawan segala bentuk perampasan tanah demi terwujudnya keadilan, kedaulatan, dan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi petani;
- Menggalang solidaritas yang lebih luas, termasuk gerakan perempuan, mahasiswa, kelompok muda, jurnalis media, akademisi, dan gerakan sosial lainnya untuk mendukung gerakan perjuangan petani;
- Menempatkan peran dan posisi perempuan dalam perjuangan rakyat sebagai subjek yang berkepentingan dalam mempertahankan dan merebut kedaulatan hak atas tanahnya. (Tod)