Penulis: El
“Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih dari cukup untuk membuat perempuan itu tersentak.
“Koridor lima, kan? Itu busnya sudah datang.”
Dan benar saja, bunyi pedal terdengar, benda berbentuk persegi bercorak merah dan kuning baru saja berhenti di depannya, lebih tepatnya berhenti di depan halte kampus.
Tanpa suara, perempuan itu masuk ke dalam bus, memilih kursi paling belakang, sebelum membelai telinga dengan lagu-lagu milik Radiohead dan Chase Atlantic. Ia siap memejamkan mata sebelum teriakan seorang pria mengacaukannya, supir pun urung menekan gas.
Dua orang pria masuk, yang satu bertubuh gempal dengan rambut ikal panjang, yang satunya lagi lebih jangkung dengan topi cokelat. Mereka berkelakar seraya menjatuhkan bokong di kursi yang menghadap ke jalan.
Perempuan tadi harusnya melanjutkan tidur, tapi kini tujuh menit berlalu, matanya masih terbuka lebar, menoleh dan membuang pandang pada padatnya Jalan Perintis. Tak ada yang menarik sebenarnya, hanya saja perempuan itu tidak ada pilihan lain, sebab jika ia meluruskan pandangan, maka bisa dipastikan, matanya akan beradu dengan mata pria bertopi itu.
Perempuan itu tidak sedang kegeeran, ia berani bertaruh bahwa pria itu menatapnya sedari tadi. Terlebih samar-samar ia mendengar namanya disebut dalam obrolan kedua pria itu.
“Bang Jae tidak salah orang, kan? Itu benar Nirwana?” Pria bertubuh gempal yang ditanyai mengangguk cepat, cukup yakin, ia tidak mungkin salah informasi.
Tak butuh waktu lama, pria bertopi itu beranjak dari duduknya dan kalian harusnya tahu betul titik mana yang menjadi tuju berpindahnya.
Nirwana tak bereaksi apapun saat dirasakan ada yang mengisi kursi di sampingnya.
“Boleh kenalan?”
Klise, batin Nirwana. Ia tak menjawab. Earphone yang menyumpal telinganya harusnya bisa jadi jawaban untuk pria itu. Nirwana sedang tidak ingin diganggu, lebih tepatnya, seorang Nirwana adalah perempuan yang selama hidupnya menggantung papan ‘Don’t disturb’ di depan pintu.
“Anak hukum juga, kan? Saya dari departemen perdata.”
Nirwana tetap membisu.
Namun ketika tangan pria itu bergerak, menekan dua kali layar ponsel Nirwana yang ada ada di pangkuannya, menampilkan layar gelap. Nirwana tidak bisa lagi untuk tidak bereaksi. Ia menoleh, menagih penjelasan lewat mata.
Pria itu menyodorkan ponselnya yang sedang memainkan lagu berjudul I Don’t love You, “Lebih enak dengar My Chemical Romance daripada dengar suara angin.”
Nirwana menggeleng menolak.
“Jadi tidak mau kenalan, nih?”
Nirwana memutar bola matanya kesal.
“Kamu sudah tahu namaku,” kata Nirwana akhirnya. Dapat ia lihat pria itu menahan senyum.
“Tapi kamu belum tahu namaku.”
“Dan aku juga tidak tertarik mengetahui namamu.”
“Berarti aku harus berusaha membuatmu tertarik dulu?”
Nirwana menghembuskan napas berat. “Jangan mengusahakan aku. Aku bukan orang yang tepat.”
Setelah mengatakan itu, Nirwana berdiri bersamaan dengan supir yang menginjak rem. Mereka tiba di Halte Aspol Panaikang. Pria bertopi itu segera bangun dari duduknya melihat Nirwana turun dari bus.
“Nirwana!”
Yang dipanggil memutar badan, tak habis pikir melihat pria itu menahan pintu bus.
“Namaku Alam, ingat itu! Alam! Kita akan bertemu lagi.”
Tenang saja Alam, kau sendiri yang tak memberi kesempatan untuk Nirwana melupakanmu. Dua puluh empat jam, dan kini Alam kembali menatap wajah itu, persis seperti kemarin: koridor lima, kursi paling belakang, dan tentu saja, si cantik Nirwana bersama earphonenya, bedanya kali ini, ponsel Nirwana tidak lagi mati dan itu lebih dari cukup untuk membuat Alam kesal sebab tak digubris sedari tadi.
Alam mengulum bibir, memutuskan pindah, membiarkan Nirwana menang kali ini.
“Yakin berhasil?” tanya Jae saat Alam menjatuhkan duduk di dekatnya, matanya menatap lurus pada Nirwana yang terlihat memejamkan mata.
Alam tidak tahu akan berhasil atau tidak, yang ia tahu, ia belum lelah. Ini sudah hari kelima di koridor lima, kali ini seorang diri. Awalnya Alam kesal sebab Jae tidak menemaninya, tapi seperkian detik kemudian ia bersyukur.
“Pria yang biasa bersama mu kemana?”
Kalian dengar itu? Akhirnya! Nirwana mengajaknya bicara.
“Bang Jae? Dia ikut rapat persiapan pengkaderan di fakultas.”
Nirwana yang masih mengenakan earphone dengan tatapan lurus ke depan mengangguk.
“Tunggu dulu! Kenapa kau menanyakan Bang Jae? Kau tidak suka dia kan? Aku tidak terima, lebih tampan aku kemana-mana Na!”
Nirwana menoleh, ia tertawa kecil.Tadi ia hanya sekadar bertanya, tidak punya maksud apapun. Sudut bibir Alam terangkat.
Besoknya, lusanya, hingga kini hari ketujuh. Keduanya rutin bertemu. Dari Senin hingga Jumat, berlatar kemacetan kota Makassar, dua puluh menit sebelum bus tiba di Halte Aspol Panaikan dan menurunkan Nirwana.
“Namamu hanya Nirwana saja?”
“Nirwana Bintang.”
“Sepertinya aku tahu, kenapa namamu ada Bintang-nya,”
“Kenapa?” tanya Nirwana tertarik.
“Sebab ada bintang jatuh di matamu.”
“Apa itu sebuah pujian?”
“Kalau kau senang mendengarnya, maka kau bisa menganggapnya demikian.”
Nirwana melongos, setengah kesal karena jawaban Alam yang tak pasti, setengahnya lagi kesal karena menyadari-benar, ia tadi sedikit merasa senang. Padahal tidak biasanya Nirwana bereaksi jika digoda.
Hari kesebelas. Di tempat lain.
“Iya, nanti kakak kirim uang sekalian buat bayar sewa. Jagain Ibu ya, kakak mau masuk kelas…”
Nirwana memutuskan sambungan telepon, bersiap keluar toilet sebelum suara berisik segerombolan pria menahan langkahnya. Nirwana baru keluar setelah merasakan suara itu semakin hilang ditelan jarak.
Suara itu sudah terlalu Nirwana kenal. Padahal pertemuan mereka bisa dihitung jari. Mungkin karena Nirwana terlalu sering memutar ulang reka pertemuan-pertemuan mereka di otaknya. Ya, Nirwana akui suka tak sengaja memikirkan Alam, suka tak sengaja mengingat interaksi-interaksi kecil mereka di bus.
Interaksi kecil yang entah kenapa berdampak besar bagi Nirwana. Buktinya hari ini, Nirwana gagal memahami mengapa dirinya meminta supir bus menunggu beberapa detik karena matanya belum menangkap kehadiran Alam.
Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, bus melaju tanpa Alam. Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir, Nirwana bisa tidur tanpa Alam yang merecokinya dan untuk pertama kalinya pula, Nirwana mengerti. Kehadiran pria itu memang mengganggu, tapi ketidakhadirannya ternyata bisa lebih mengganggu.
“Pasti tadi adek tahan saya jalan karena tungguin Alam, ya?” Supir Bus berseragam itu memecah hening.
“Bapak kenal sama Alam?”
“Kalau kamu sudah turun, dia tuh langsung ke depan sini, nemenin saya ngobrol. Tanya-tanya soal kamu. Kamu tahu tidak, dia turunnya di mana?”
Nirwana menggeleng. Ia tidak pernah bertanya tempat tinggal pria itu.
“Dia tidak turun di halte mana pun, dia ngikut saya terus sampai balik lagi ke kampus. Dia tinggalnya di kampus, Dek, ngekos.”
Nirwana tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Adek kaget, kan? Saya juga dulu responnya sama. Pas saya tanyain kenapa mau repot-repot begitu, dibilangnya demi misi rahasia. Eleh, anak jaman sekarang, tinggal bilang cinta aja, susah amat! Adek juga janganlah terlalu jual mahal, kasian dia…”
Tanpa aba-aba, pipi Nirwana merona. Sial!
“Kata supir bus kamu mencariku kemarin? Maaf, aku ada rapat redaksi,” ungkap Alam.
“Rapat redaksi?”
Alam mengangguk, menunjuk pada pdh yang ia kenakan, namanya terukir Andi Alam Seiya, tepat di bawahnya tertulis Pers Mahasiswa, “aku anak persma.”
“Kenapa kamu melakukan itu Lam?”
“Jadi anak persma? Karena ak-“
“Kenapa kamu mengikuti naik bus ini?”
Alam terdiam beberapa saat, cukup lama, tampak memilah jawaban yang tepat.
“Menurutmu kenapa aku begitu?”
Nirwana menggigit bibir dan lanjut berkata lirih, “jangan suka padaku, Alam. Kamu hanya belum mengenalku. Kau tidak akan suka lagi setelah tahu aku.”
Alam tersenyum cukup lebar. “Kalau begitu biarkan aku tahu, Na. Mari kita buktikan sama-sama.
Hari ke-empat puluh dua. Masih di koridor lima.
“Ayolah Na… Kau sungguh tidak bisa malam ini?”
“Aku sudah bilang tidak bisa Lam, aku—“
Dering ponsel memotong ucapan Nirwana. Alam melirik pada ponsel di pangkuan perempuan itu, tapi layar ponsel itu gelap. Nirwana mengacak-acak isi tasnya, mengeluarkan sebuah ponsel lain dari sana, ponsel yang lebih mahal.
Alam memerhatikan dengan seksama pergerakan perempuan di sampingnya, ia sabar menunggu Nirwana selesai mengetik pesan.
“Minggu depan, kita ke pantai. Aku tidak mau tahu, kamu yang bilang mau menceritakan dirimu, Nirwana.”
Yang diajak bicara menunduk, bukan tanpa alasan perempuan itu menutup pintu, rumah Nirwana berantakan, ia takut Alam tak sudi menetap di dalamnya. Tapi Nirwana menyerah, ia memutuskan mengangguk sebagai jawaban.
Dan di sini lah mereka berakhir, di salah satu pantai di kota ini. Tak banyak orang. Pertama, karena ini sudah pukul tujuh lewat. Kedua, karena ini bukan akhir pekan.
“Seumur hidup aku belajar menyelamatkan orang, Lam. Ibuku, adikku. Mereka semua seperti penumpang kapal yang dilempar ke laut,dan aku satu-satunya yang harus menyelamatkan mereka.”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku? Kenapa?”
“Kau tidak ingin kuselamatkan?”
“Tidak, aku tidak-“
“Kau terluka Na, begitu parah, dan bagian terburuknya kau tidak mau disembuhkan. ”
Nirwana mengepalkan tangan, tenggorokannya sesak akan kata yang memaksa keluar, tapi ia tahu betul, satu kata yang keluar akan merusak pertahanannya, ayolah, matanya bahkan sudah memanas sedari tadi.
“Lukaku menjijikan Lam, kau tak akan berpikir untuk menyembuhkan ku, kau akan lebih dulu lari menghindar.”
“Kau tak percaya padaku?”
Nirwana menatap mata pria itu lama sekali, tak peduli sesuatu yang mulai mengalir menjamah pipinya. Pernah sekali ia mempercayai seorang pria, pria yang dalam janjinya mencintai ibu dan keempat adik-adiknya. Pria yang pergi dan tak meninggalkan apapun kecuali luka.
Nirwana menyerah, ia berbisik sesuatu pada Alam, “Aku kotor, Alam.”
Bersama tangisnya, ia rebah pada pelukan pria itu.
…
“Dek, itu koridor lima sudah datang…”
Nirwana menoleh dan mengangguk, ia tidak ketiduran seperti dua bulan lalu. Matanya bahkan terbuka lebar mencari seseorang.
Beep!
Itu sudah klakson kedua. Nirwana memutuskan naik sebelum supir bus marah dan membunyikan klakson ketiga.
Di kursi belakang, Nirwana menyalakan ponsel, mengirim pesan pada Alam. Dua hari berlalu sejak kejadian di pantai. Dan jika kalian penasaran, semuanya berjalan baik. Malam itu Nirwana menceritakan segalanya, Alam benar-benar tak membiarkannya pulang kecuali lega itu sudah Nirwana kantongi. Mereka berpelukan lama sekali, Alam bahkan meninggalkan kecup di kepala Nirwana.
Dan hari ini, mereka seharusnya bertemu di bus. Itu yang dijanjikan Alam kemarin.
Ponsel Nirwana berbunyi beberapa kali, tak biasanya Alam melakukan spam. Perempuan itu mengernyit, rupanya bukan balasan dari Alam, adalah grup angkatan yang menjadi sumber notifikasi itu.
Nirwana menahan napas. Seseorang mengirim tautan berita yang kemudian menjadi buah bibir di grup itu.
UKT TINGGI, SEORANG MAHASISWA TERPAKSA MENJADI AYAM KAMPUS DAN TIDUR BERSAMA DOSENNYA
Tangan Nirwana menggenggam ponselnya lebih erat, setelah ditekan, tautan itu membawanya ke postingan Instagram milik pers mahasiswa fakultasnya. Bibirnya bergetar membaca kalimat demi kalimat itu tanpa suara.
Makassar (20/8) Mawar (nama samaran) terpaksa harus menjual diri. Hal itu karena permohonan penurunan UKTnya tak juga disetujui pihak fakultas. Sebagai anak sulung tanpa ayah, Mawar tak hanya memenuhi kebutuhannya tapi juga kebutuhan Ibu dan Keempat adiknya. Melonjaknya UKT sejak 2 tahun lalu memaksa Mawar mencari pekerjaan sampingan.
Nirwana tidak melanjutkan, satu paragraf cukup untuk merampas kewarasan perempuan itu, namun itu belum seberapa, kejutan masih menanti Nirwana di kalimat paling bawah.
Digarap oleh: Jaelani(2019) dan Alam Seiya (2020)
Bus menepi. Nirwana menyeret kakinya yang gemetar, tangannya yang berkeringat berpegangan pada gagang tangga, ia bisa jatuh kapan saja.
Nirwana menatap bus yang meninggalkannya dan perlahan bergabung dengan kendaraan lain. Tidak, ia tidak menangis, Nirwana tidak lagi menangis, sebab air matanya sudah terlanjur habis, sebab hidup yang dilakoninya begitu tragis.
Besoknya, koridor lima kehilangan seorang penumpang tetapnya. Kursi belakang kini diisi orang lain. Tak ada lagi Nirwana. Perempuan itu beringsut di sudut kamar kos, matanya terpaku pada kalender, menghitung mundur menuju Desember, waktu di mana ia meninggalkan Makassar, dengan tubuh penuh luka dan memar.