Oleh: Malam Adventuria
Kampus adalah miniatur negara, se-mini nya bentuk.
Mahasiswa adalah rakyat, dan lembaga kemahasiswaan adalah otoritas ideal rakyat di dalam lingkungan kampus. Kemudian selayaknya negara, berbagai dinamika juga tidak bisa lepas dari perjalanan panjang lembaga kemahasiswaan di institusi perguruan tinggi. Kembali lagi, dalam dinamika tersebut terjadi proses dialektis yang dilakukan secara demokratis dalam melihat bagaimana konstruksi ideal sebuah lembaga dapat tercapai.
Namun, yang menjadi pertanyaan; apakah kondisi ideal ini sedang menuju atau telah tercapai?
Penulis menyoroti dari sekian banyak problematika yang bisa dibahas, tulisan kali ini akan lebih menunjukkan tendensi kepada sebuah fenomena kontra-ideal yang setidak-tidaknya pernah terjadi di lembaga kemahasiswaan.
Fenomena tersebut adalah Nepotisme.
Menurut Echol dan Sadily (2003); Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism”, yang secara umum berarti mendahulukan atau memprioritaskan keluarga, kelompok, atau golongan untuk diangkat atau diberikan peluang menjadi pejabat negara atau posisi serupa. Dengan demikian, nepotisme adalah tindakan atau pengambilan keputusan secara subyektif yang memberikan keuntungan dalam bentuk apapun bagi keluarga, kelompok, atau golongan tertentu untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu.
Dalam konteks kemahasiswaan, penulis mencoba mengutip Nabil Fajaruddin dalam opininya di portal Kompasiana dengan judul “Nepotisme Dalam Dunia Mahasiswa, Adakah?”
“Mahasiswa yang lolos seleksi hampir semuanya berasal dari organisasi yang sama dengan pemegang kekuasaan. Mereka menjegal para calon anggota lain dan lebih memilih mahasiswanya dari organisasinya sendiri, seharusnya pemilihan anggota didasari oleh kemampuan para mahasiswa bukan karena memiliki korelasi yang sama tanpa memandang bakat mahasiswa. Maka harapan untuk memajukan kampus maupun organisasi semakin menurun, karena nepotisme di tubuh organisasi kemahasiswaan itu sendiri.”
Menurut pengamatan penulis, terdapat distingsi antara kondisi ideal dan real dalam menyikapi kultur mahasiswa kontemporer. Seperti disinggung sebelumnya, terdapat kecenderungan otoritas tertinggi kemahasiswaan (lembaga tinggi) memberikan kelonggaran kepada pihak-pihak yang mendukung kelompok politik mereka atau calon kader yang akan memperjuangkan agenda kelompok tersebut. Hal ini juga terjadi pada mereka yang memiliki posisi senior, mempermudah jalan bagi individu yang didukungnya.
Sebagai ilustrasi, kita dapat membayangkan beberapa skenario. Misalnya, dalam proses pendelegasian secara kelembagaan untuk mendapatkan mandat di lembaga yang lebih besar yang biasa kita sebut konvensi, yakni praktik di mana suatu partai atau kelompok menunjuk delegasinya untuk maju, idealnya melalui pembahasan demokratis (contohnya konvensi partai politik sebelum memilih calon presiden). Dalam proses politik ini, penulis menemukan adanya bias yang cenderung memilih calon berdasarkan afiliasi politik mereka.
Adapun dalam kegiatan kemahasiswaan berbasis kaderisasi, terjadi kontrak sosial antara peserta dan panitia pelaksana untuk menanamkan nilai-nilai melalui seleksi dan eliminasi yang seharusnya objektif. Namun, seringkali terjadi praktik “titip-menitip” atau “orang dalam” yang memudahkan orang-orang terdekat untuk menjalani proses tersebut.
Beberapa lembaga kemahasiswaan di perguruan tinggi Indonesia masih mempertahankan praktik ini, dengan kelompok-kelompok penjaga nilai yang berusaha mempertahankan status quo. Mereka menggunakan relasi kuasa untuk memberi peluang kepada individu di bawah naungannya, alih-alih melalui proses demokratis.
Inilah yang penulis sebut sebagai “Nepokrasi”—pemerintahan oleh para nepo. Objektivitas yang seharusnya menjadi dasar seleksi kebijakan digantikan oleh subjektivitas kelompok atau individu yang memiliki legitimasi untuk membuat keputusan eksekutif.
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Arif Sugitanata, dkk (2024: 23-40); Persebaran praktik nepotisme dapat mengikis norma dan nilai demokratis, menyebabkan apatisme dan sinisme di antara warga negara. Ketika masyarakat menyadari bahwa nepotisme mendominasi politik dan pemerintahan, mereka mungkin menjadi kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam proses demokratis, seperti pemilihan umum, karena mereka merasa bahwa hasilnya sudah ditentukan oleh jaringan nepotisme. Hal ini melemahkan fondasi demokrasi yang bergantung pada partisipasi aktif warganya. Pada akhirnya, nepotisme menimbulkan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi, menodai integritas dan efektivitas pemerintahan, serta merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokratis. Dampak jangka panjang dari nepotisme, termasuk erosi keadilan sosial, stagnasi institusional, dan pengikisan partisipasi demokratis, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk strategi pencegahan yang efektif dan kebijakan pemberantasan yang konsisten agar dapat memulihkan dan memperkuat dasar-dasar demokrasi yang sejati, memastikan distribusi sumber daya dan peluang secara adil dan merata di seluruh lapisan masyarakat.
Kondisi yang sekiranya berangkat dari keinginan ideal bertransformasi, kini menjadi sesuatu yang dangkal. Iklim kemahasiswaan yang seharusnya menjadi wadah demokratis untuk berkembang secara akademis, justru menjadi wadah aktualisasi tindakan nepotisme. Implikasinya seperti yang penulis kutip, yakni terjadinya pengikisan terhadap partisipasi dan kemungkinan munculnya stagnasi kelembagaan.
Melihat hal ini, sebenarnya oposisi menjadi hal yang penting untuk tetap menjaga checks and balances dalam menjaga agar praktik seperti nepotisme itu tidak terjadi.
Sayangnya, muncul pandangan bahwa oposisi adalah pengacau yang dianggap merusak apa yang mereka sebut sebagai “persatuan”.
Beberapa dari mereka menganggap bahwa kerangka persatuan sebagai sesuatu hal yang pra-kondisinya dapat tercapai ketika corong oposisi ditiadakan. Kemudian mem-framing kelompok lain yang mencoba ingin tumbuh dan berkembang di dalam dinamika miniatur negaranya seperti yang sudah dijelaskan oleh penulis sebelumnya sebagai kelompok “perusuh” dan “pengacau”.
Perlu dicatat bahwa hal ini memiliki implikasi negatif yang besar dalam kultur kemahasiswaan, apabila pembenarannya ada pada kebiasaan, kenapa hal yang seperti ini dipertahankan? Anehnya, perubahan lah yang dianggap merusak. Paradigma ini hanya akan menggerogoti semangat ideal lembaga tinggi kemudian menjelma menjadi dekadensi yang mengarah kepada bunuh diri.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” – Ar-Ra’d ayat 11.
Tulisan ini bukan untuk menyerang institusi mana pun, melainkan menyuarakan keresahan mahasiswa yang dihimpun dari media sosial. Kemiripan narasi hanyalah kebetulan. Jika merasa tersentil, silakan introspeksi dan berbenah.