Makassar, Eksepsi Online (21/11) – Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya kembali menggelar aksi yang kedua kalinya pada Rabu (20/11) untuk menuntut dosen yang melakukan pelecehan mahasiswi bimbingannya agar dapat dipecat, dengan berkumpul di depan gedung dekanat Fakultas Ilmu Budaya.
Aksi ini dimulai pada pukul 16.00 yang dihadiri bukan hanya oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, tetapi juga oleh beberapa mahasiswa dari fakultas lain. Aksi diisi dengan orasi beberapa mahasiswa yang meneriakkan tuntutan-tuntutan, pembacaan sumpah mahasiswa, hingga puisi.
Dalam kurun waktu dua sampai tiga jam, para mahasiswa tetap melancarkan aksinya dan menuntut agar dekan Fakultas Ilmu Budaya dapat keluar dan berbicara dengan massa aksi. Namun lain dari pada itu, Wakil Dekan 3, Dr. Kaharuddin M. Hum., yang justru kemudian keluar dan mencoba menyampaikan bahwa dekan saat ini sedang rapat di rektorat serta mengimbau agar para partisipan aksi dapat bersabar.
Dalam dialog dengan Wakil Dekan 3 tersebut, salah satu mahasiswa menanyakan perihal pihak fakultas yang berusaha mengancam para mahasiswa yang turun aksi sebagai tanggapan, Wakil Dekan 3 menanyakan kembali oknum yang melakukan pengancaman tersebut dan bagaimana bentuk ancamannya.
“Siapa yang ancam?…Kalau memang ada yang mengancam, siapa yang mengancam? Kalau ada dari pimpinan yang mengancam, siapa yang mengancam, dan bagaimana bentuk ancamannya?,” ungkap Dr. Kaharudiin.
Dialog dengan Wakil Dekan 3 tersebut berjalan dengan tidak cukup lancar dan hanya berlangsung selama beberapa menit, yang tentu saja belum memberikan kepuasan bagi para massa aksi. Aksi kemudian diwarnai dengan pembakaran ban motor oleh beberapa mahasiswa tepat di depan Gedung dekanat.
Selang beberapa lama, Dr. Mardi Adi Amin, M. Hum. selaku Wakil Dekan 1 juga mencoba untuk berdialog dengan massa aksi. Wakil Dekan 1 mengungkapkan bahwa dirinya sebagai seorang ayah dan pendidik tidak mendukung pelaku atas perbuatannya, namun penyelesainya dapat ditempuh dengan cara lain.
“Saya sudah bilang, sebagai seorang ayah, saya kutuk. Sebagai seorang pendidik, saya tidak terima itu. Hanya, ada cara-cara menyelesaikannya,” jelas Dr. Mardi.
Pernyataan tersebut rupanya tidak membuat para massa aksi puas dan tetap berpendirian bahwa pihak dekanat fakultas tetap tidak cukup perhatiannya pada korban. Menurut para massa aksi, hal ini terbukti dari pemberian sanksi skrosing dua semester kepada pelaku yang dinilai terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan.
Lebih lanjut, Dr. Mardi menanggapi hal tersebut dan menyatakan bahwa pemberian sanksi bukan hanya keputusan dari dekanat. Beliau juga menawarkan penyelesaian perkara melalui beberapa mahasiswa yang dapat mewakili untuk diskusi dengan dekanat dan pihak-pihak lain.
“Yang memutuskan dua semester bukan hanya dekanat, ada rektorat, ada satgas. Mari kita duduk bersama, kita koneksi, apakah adil atau tidak. Jadi, mari kita dialog, perwakilan, ada rektorat dan satgas, ada dekanat. Itu satu opsi…mungkin sanksi hukum terdengar ringan, tapi sanksi sosial sudah jalan ini.”
Pernyataan dan tawaran tersebut ditanggapi oleh massa aksi dengan penolakan dan ketidaksetujuan. Mereka menilai bahwa dialog yang direncanakan seharusnya dilakukan secara terbuka dan mengedepankan transparansi. Massa aksi juga menyampaikan mahasiswa yang berkumpul di sini datang dengan sukarela dan tidak ada perwakilan yang mengkoordinir, sehingga melibatkan beberapa mahasiswa sebagai perwakilan untuk berdiskusi adalah hal yang tidak memungkinkan.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin (Satgas PPKS Unhas) menanggapi keributan ini, mengeluarkan press release nomor 53918/UN4.1.3/KM.06.03/2024 pada Rabu (20/11). Pada intinya, pernyataan tersebut menyatakan bahwa pihak Satgas PPKS Unhas telah memenuhi seluruh prosedur yang ada dalam menanggapi laporan dari korban berdasarkan peraturan yang ada.
Menanggapi hal ini, Arya (nama samaran), sebagai salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya mengemukakan pendapatnya yang menyatakan bahwa pernyataan Satgas PPKS Unhas hanyalah bentuk pelepasan tanggung jawab.
“…mereka seakan cuci tangan saja. Padahal sudah jelas kalau dia pelakunya, mahasiswa saja di-DO, masa dia cuma di skorsing dua semester. Sanksi administrasi itu bisa sampai pemecatan,” jelas Arya. Karena tidak adanya kesepakatan dari dialog antara massa aksi dan pihak dekanat, aksi kemudian dicukupkan pada pukul 19.18 dan dilanjutkan di depan aula untuk aksi simbolis sambil menunggu tanggapan dari dekan. Aksi kemudian akan tetap dilanjutkan sampai pihak dekanat mengabulkan tuntutan massa aksi. Selanjutnya, diskusi terbuka juga telah direncanakan pada Jumat (22/11). (Sal)