Makassar, Eksepsi Online (24/11) – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (BEM KMFIB-UH) menggelar dialog publik bertajuk “Pendampingan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup Kampus”. Kegiatan ini berlangsung di Aula Prof. Mattulada, FIB-UH pada Jumat (22/11).
Dialog ini bertujuan menciptakan ruang diskusi yang transparan sebagai tindak lanjut aksi solidaritas terkait dugaan kekerasan seksual yang melibatkan salah satu dosen di fakultas tersebut.
Acara tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas; Prof. Dr. Akin Duli, M.A. selaku Dekan FIB-UH; Aflina Mustafaina selaku aktivis perempuan; dan Prof. Siti Aisyah, M.A., Ph.D. selaku akademisi gender dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM). Selain itu acara ini juga dihadiri oleh sejumlah orang tua mahasiswa dan dipandu oleh Irmawati Puan Mawar, mahasiswa Magister Cultural Studies UH.
Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Ketua Satgas PPKS Unhas menjelaskan terkait alur penanganan kasus kekerasan seksual oleh Satgas PPKS Unhas, dilakukan setelah adanya laporan oleh korban, pemeriksaan kasus oleh tim pemeriksa yang dibentuk oleh Satgas PPKS Unhas, rapat pendalaman kemudian selanjutnya dilakukan pemanggilan kepada terlapor dan beberapa pihak-pihak yang disebutkan dalam pemeriksaan. Setelah itu akan dilakukan pengumpulan alat bukti, sembari memeriksa kasus, Satgas PPKS Unhas juga akan memberikan pendampingan psikolog kepada korban.
“Sembari kasus berjalan kami dari satgas ppks juga memberikan pendampingan kepada korban akibat trauma yang dialaminya,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, perwakilan lembaga mahasiswa FIB-UH mendesak pihak birokrasi untuk menunjukkan komitmennya dengan menandatangani pakta integritas. Pakta ini berisi komitmen untuk mengusut tuntas kasus kekerasan seksual yang terjadi serta memberikan sanksi tegas kepada pelaku, termasuk pemecatan.
Namun, tuntutan penandatanganan pakta integritas tersebut ditolak oleh pihak birokrasi dengan alasan bahwa hal tersebut tidak benar dan berada di luar kewenangan mereka. Menurut mereka, dalam penanganan kasus tersebut, terdapat prosedur resmi yang harus diikuti sesuai dengan peraturan yang berlaku, jika memang korban ingin melapor maka pihak universitas akan memberikan bantuan hukum.
“Tapi tugas teman-teman dari lembaga adalah menyampaikan ke korban apakah dia mau atau tidak, karena kita sudah menawarkan, kami sudah menawarkan korban kalo mau banding kami akan kawal, kalo ada mau ke jalur hukum lewat polisi kami akan kawal. Bahkan dari pihak universitas menawarkan bantuan hukum, jadi prosesnya seperti itu, jadi kalo prosesnya seperti ini itu tidak benar,” tutur Prof Akin.
Dialog ini menjadi momentum penting untuk memperkuat penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. (Son—Mxi)