(Surat Terbuka untuk Kita Semua)
Oleh: Bunga
O Karaeng, apa yang terjadi di dunia sekarang ini? Ini sangat memilukan, semuanya terasa menyimpang dan ganjil. Katanya mitos sepanjang sejarah akan selalu sama meskipun dari waktu ke waktu penampilannya berbeda.
Kawan,
Aku masih ingat hari pertama memilih bersekolah, kelas satu sekolah dasar. Itu ketika aku masih belia kala berumur tujuh setengah tahun. Hari itu aku tidak memahami apa-apa kecuali seisi kelas ramai dengan anak kecil seusiaku dan di luar di jendela ramai para ibu menunggu anak masing-masing pulang bersekolah. Kulihat semua orang dewasa itu sangat antusias setiap harinya terus datang menunggu anak-anaknya pulang. Jika anaknya terjatuh ketika bermain, seketika serempak orang dewasa itu menegur, menolong, memberi tahu agar berhati-hati, dan ada juga yang menghibur agar tak menangis. Para orang dewasa itu kompak. Mereka terlihat sekadar mengantar anak-anak umur tujuh setengah tahun dan menunggunya pulang, tapi bukankah itu bentuk cinta mereka yang ingin melihat orang yang ia cintai tumbuh, berkembang, mendapat pendidikan yang layak, atau sesederhana ia ingin melihat dengan matanya sendiri bahwa anaknya kini bersekolah dan memastikan anaknya baik-baik saja. Sesekali orang dewasa itu panik mendatangi sekolah, jika saja si guru menghubunginya karena si anak terjatuh, tiba-tiba sakit, terlibat perkelahian kecil dan besar, pokoknya orang dewasa selalu berusaha menghindarkan, menyelamatkan, berusaha dengan usaha penuh agar si anak terhindar dari nasib buruk.
Kala itu aku belum memahami penuh kenapa semua orang dewasa mengirim anaknya ke sekolah dan ingin memastikan anaknya belajar dengan baik. Bisa jadi karena mereka paham jika pendidikan itu mulia, bisa jadi. Pendidikan akan menyelamatkan nasib keluarga, nasib orang banyak, dan nasib si anak sendiri. Semua orang dewasa ingin melihat anaknya kelak pintar. Ini kemudian membingungkan seperti apa kepintaran itu kelak setelah enam tahun, setelah Sembilan tahun, setelah dua belas tahun, atau seumur hidup seperti ibu bapak guru yang dipercaya orang-orang dewasa ini. Karena sepertinya semua orang dewasa ingin melihat anaknya pintar. Buruh udang mengantar anaknya ke sekolah. Sopir truk mengantar anaknya ke sekolah. Penjual nasi campur mengantar anaknya ke sekolah. Tukang galon. Ojek. Begal. Semuanya mengirim anaknya ke sekolah. Seperti apa kepintaran itu, Tuhan? Kenapa kelak ia berubah menjadi kata ‘Intelektual’?
Hari ini, hari ke sebelas kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 hari). Tertanggal 5 Desember. Ini yang terjadi di sebuah sekolah besar ternama. Yang di mana semua orang dewasa dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara juga mengirim anaknya ke sini buat pintar. Bukan sekolah biasa. Ia lebih sering dengan istilah-istilah mewah. Institusi Pendidikan, akademisi, profesor, doktor, magister, humaniora, eksakta, saintifik, ilmuwan, sarjana, merdeka belajar, intelektualitas, dan banyak lagi istilah-istilah asing bermakna mulia tapi telah ditemukan kasus pelecehan seksual. Oh, aku salah, kekerasan seksual. Orang yang ingin mengajar kami berusaha meniduri muridnya dengan paksa. Sampai-sampai si murid trauma, pilu, sesak, sedih, tidak tahu ingin berkawan dengan siapa, bimbang, dan tak pernah lelap tidurnya. Itu tidak hanya satu, banyak! Banyak pula yang memilih diam dan tidak membeberkannya atas nama menjaga nama baik. Apakah sudah seperti itukah cara main sekolah, Mama? Pernah juga kudengar cerita soal kasus murid dilecehkan guru di sini, tetapi hanya sampai di pembicaraan departemen. Mereka mengatakan, “ini aib, jangan sampai bocor rahasia ini. Masalah ini selesai di kita saja untuk mengamankan institusi ini.”
Sudah banyak. Sudah banyak sekali. Berkali-kali. Berkali-kali kami melihat orang-orang berteriak sekencang-kencangnya dengan mata yang sedih dan tangis pecah di barisan mereka. Tapi para pengajar ini, para pelayan publik, yang mengemban tanggung jawab mencerdaskan bangsa tidak melakukan apapun. Apapun! Bahkan, ketika orang-orang mulai memberontak, muak, marah, jengkel, karena sepertinya mereka masih tidak terbuka hati dan matanya, mereka tetap tidak melakukan apapun! Apakah inilah ujungnya setelah belajar bertahun-tahun berusaha menjadi pintar agar dapat menjalankan sesuatu yang lagi-lagi asing, Tri dharma Perguruan Tinggi. Apakah seperti ini bentuknya? Tolong bantu aku menjawabnya. Tidak ada lagikah empati, nurani, cahaya, kebaikan yang menyelimuti kepakaran orang-orang di lingkungan pintar ini, Mama? Apakah ini akan berjalan terus dengan normal? Bahkan sampai hari ini sekolah itu tak pernah meminta maaf. Membuat permintaan maaf. Dengan kerendahan hati mengakui kesalahan dan bakal memperbaiki. Sangat menakutkan, Mama. Tidak terlihat seperti orang yang dapat dipercaya menjadikan orang-orang, bangsa-bangsa, generasi-generasi, pemuda-pemuda menjadi pintar, Mama. Tempat ini bernama Universitas Hasanuddin, Mama. Universitas, tempat berkumpulnya orang-orang pintar, orang-orang yang memiliki harapan untuk pintar. Hasanuddin, seorang raja di masa silam dengan sejarah heroik pembebasan rakyatnya akan penjajahan rempah-rempah atau singkatnya pahlawan nasional karena membela kebenaran! Mengapa sekarang terlihat seperti ini? Haruskah Aku, Kamu, Orang-orang dewasa percaya institusi ini?
Bukan hanya itu, setelah kami berteriak sekencang-kencangnya. Berdiri tegas di depan mengawal kebenaran ini, mereka sendiri mengatakan menutup jalur-jalur dialektika. Tak pernah sekalipun pemimpin orang-orang pintar ini—pengawal kepintaran ini bernama rektor—turun dan berbicara langsung dengan orang-orang yang meminta rasa amannya untuk bersekolah di sini. Atau orang-orang belum berteriak lebih kencang? Apa butuh semua orang? Semuanya? Orang yang mengaku paling pintar di antara kami berlagak seperti itu, kodong.
Belum lagi perjanjian sekolah ini akan memberikan ruang aman untuk semua orang belajar, justru dilanggar sekolah ini. Tempat bikin pintar orang malah melanggar aturannya sendiri. Dia menangkap orang secara sembarangan ketika orang pintarnya dikritik. Pernah! Dikabarkan sebelas orang ditangkap setelah dicurigai membuat konten kritik di media sosial atas Rektor Universitas Hasanuddin, Jamaluddin Jompa. Terbaru, telah ditangkap tiga puluh dua mahasiswa secara acak, ada yang ditonjok matanya oleh polisi, Mama. Apakah ini sudah benar? Tolong tegurlah jika ini adalah sebuah kesalahan.
Mama, kudengar orang-orang membicarakan sekolah ini adalah sekolah luar biasa mewah. Berkelas. Dapat dipercaya. Tempat mulia. Hutan kota, terlihat seperti Ghibli. Kenapa kami seperti tidak mendapat tempat yang layak? Ada juga yang terbaru kudengar dikeluarkan secara tidak hormat. Tidak hormat. Setelah membaca puisi, berdiri bersama orang-orang dan penyintas kekerasan seksual. Kudengar juga dia meminum-minuman keras. Tapi kulihat di film-film pelajar melakukan hal bersenang-senang, di hukum negara manapun itu diperbolehkan setelah umur dua puluh satu tahun ke atas. Dan kudengar dia meminta maaf, menyesali perbuatan, dan berjanji tidak bakal mengulangi namun itu tidak merubah apapun, Mama. Dosen pelaku kekerasan seksual masih berkeliaran. Tenaga pendidik pelaku kekerasan seksual masih berkeliaran. Pelaku kekerasan seksual yang berjanji di bawah Al-Quran setelah mendapat jabatan masih berkeliaran. Bukankah agama dan janji itu sakral, Mama?
Sekolah ini sangat banyak uangnya. Katanya orang yang mencari rezeki, melapak jualan sewaktu wisuda membayar banyak demi sepetak rezeki. Tidak ada yang gratis. Kupikir ini milik negara, semua orang bisa menikmatinya? Belum lagi ibu-ibu kantin yang selalu memberi murid-murid pinjaman di kala tidak ada lagi uang saku untuk bulan ini, minggu ini, hari ini. Kami memanggil mereka dengan sebutan ‘Mace’. Mace pernah berbicara soal bagaimana dia melihat sekolah ini. Katanya, mereka sangat ingin menyekolahkan anak mereka di sini, tetapi nasib tak ada yang tahu makanya ia sangat sering membawa anaknya ke sekolah ini demi bisa mendekatkan anaknya dengan orang pintar. Agar pintarnya bisa menular. Sungguh muliakah itu terdengar atau hanya cita-cita biasa dari rakyat biasa yang tidak penting, kawan? Kudengar juga Mace sesekali mengeluh akan biaya sewa yang terus membengkak tapi begitu berat meninggalkan tempat ini. Mace percaya ini tempat orang pintar, tempat mulia. Ada yang sudah 34 tahun menjual di sekolah ini dan mungkin ada yang lebih lama. Apa yang sedang terjadi di sekolahku, Tuhan? O, Karaeng!
Semua orang percaya dengan kepintaran akan membawa manusia, kehidupan, masyarakat ke arah kebaikan dan lebih baik. Pendidikan adalah cita-cita. Tapi pernah kudengar seorang satpam pusing dengan uang kuliah anaknya yang bersekolah di sini. Yang baru saja masuk tahun kemarin. Oh, dia itu warga asli tempat sekolah ini berdiri. Tetapi silakan lihat sendiri keadaan di sekitar sekolah ini, sangat jarang. Jarang sekali orang-orang di sekitar sekolah ini, bersekolah dan menjadi tenaga pengajar di sini. Apakah mungkin orang yang bermukim di sekitar tempat bikin orang pintar ini tidak mau lagi bersekolah? Kupikir semua orang dewasa membawa anaknya ke sekolah?
Oh Mama, Tuhan, Karaeng, kawan-kawanku! Aku saja atau kalian juga pernah mendengar Undang-Undang Dasar di setiap hari senin? Dibacakan bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa. Kenapa? Kenapa para orang pintar negara ini mengatakan kalau pendidikan tinggi itu TERSIER. Apakah benar ini barang mewah? Kudengar untuk bersekolah di sini murid perlu orang tua yang bekerja keras membanting tulang, membanting keringat, membanting pikiran untuk menjadikannya pintar. Bukankah itu terdengar sangat sukar? Belum? Di sekolah ini kudengar ada orang yang membayar empat puluh dua juta lebih setiap enam bulan untuk bersekolah. Empat puluh dua juta rupiah. Fantastis. Kudengar pula ada kawanku menghemat makannya tiga kali sehari yang awalnya lima belas ribu setiap makan menjadi sekali makan di pagi hari dan sisanya memakan indomie seharga tiga ribu lima ratus rupiah.
Ada juga kawanku yang sering di masjid mengaku dia merasa senang di sini karena bisa berkumpul bersama teman teman yang sependapat, senang di masjid juga. Yang suka K-Pop ketemu dengan yang suka K-Pop. Yang senang bermain drum bertemu dengan yang senang bernyanyi dan bertemu juga dengan si pemain gitar hebat. Ada yang ingin belajar menari bertemu dengan kelompok penari andal. Yang senang bermain bola bertemu dengan sepuluh teman setimnnya di lapangan, di unit kegiatan kampus. Yang senang berdiskusi, belajar, bertemu dengan generasi sepantaran mereka yang juga senang melakukan hal itu. Yang mencintai alam bertemu dengan kelompok yang matang mempersiapkan diri mereka menjelajahi alam. Tapi selalu saja orang-orang pintar ini menyuruh kami pulang di jam delapan malam. Sebenarnya sekolah ini milik siapa? Milik dia-kah, milik aku-kah, milik kamu-kah? Atau malah hanya milik mereka saja?
Apakah mereka benar benar berjanji ingin bertanggung jawab atas keingintahuan aku, kamu, kita, ibu-ibu kita, orang-orang di sekitar sekolah ini, mace-mace, satuan pengamanan, tukang bersih kampus, tukang parkir kampus, tukang dagang mineral waktu wisuda? Apakah benar-benar mereka jujur, orang-orang pintar itu? Orang-orang telah berteriak kencang di depan gedung-gedung mereka, di depan mereka, di jagat media tapi tak ada yang berubah. Apa aku yang salah? Apa teman-temanku yang menangis di barisan depan yang salah? Apa penyintas kekerasan seksual biadab ini yang salah? Apakah salah menuntut hak kami? Apakah marah tidak diperbolehkan? Orang-orang pintar itu selalu mengatakan cara ini tidak akademis. Sedang mereka tidak membuat kami, mahasiswa, rakyat biasa, orang kecil merasa lebih baik sedikit. Sedikit saja. Mereka membuat aturan secara sepihak, mengeluarkan seseorang secara sepihak, menangkap secara sepihak, menutup telinga dan kuping mereka atas penderitaan kami. Kalau hanya itu ujungnya sekolah dan menjadi pintar, akan celakakah kami semua, ya, Tuhan? Katanya kau selalu berpihak pada kebaikan? Tolong ini adalah doa pengharapan banyak orang. Tunjukanlah kami jalan yang lurus itu, kami tak percaya di depan kami ini benar. Kami akan menuntut itu. Itu adalah hak kami. Mereka berjanji atas nama ilmu pengetahuan, agama, rakyat, dan segala-galanya.
Hey Jude, don’t make it bad.
Take a sad song and make it better.
Remember to let her into your heart,
Then you can start to make it better.
Hey Jude, don’t be afraid.
You were made to go out and get her.
The minute you let her under your skin,
Then you begin to make it better.
And anytime you feel the pain, hey Jude, refrain,
Don’t carry the world upon your shoulders.
For well you know that it’s a fool who plays it cool
By making his world a little colder.
Hey Jude, don’t let me down.
You have found her, now go and get her.
Remember to let her into your heart,
Then you can start to make it better.
So let it out and let it in, hey Jude, begin,
You’re waiting for someone to perform with.
And don’t you know that it’s just you, hey Jude, you’ll do,
The movement you need is on your shoulder.
Hey Jude, don’t make it bad.
Take a sad song and make it better.
Remember to let her under your skin,
Then you’ll begin to make it
Better better better better better better, oh.
Na na na nananana, nannana, hey Jude…
(The Beatles-Hey Jude)