Makassar, Eksepsi Online (24/01) – Panitia Pemilihan Umum Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (PPU KEMA FH-UH) menjadi sorotan setelah menerbitkan tiga surat keputusan resmi terkait status pasangan calon nomor urut 2, Dzikrullah Al Muta’al dan Muhammad Naufal Alwan Mudian. Surat keputusan ini menjadi tindak lanjut dari polemik yang sebelumnya diumumkan melalui Instagram Story pada Senin (20/01).
Dalam Surat Keputusan Nomor 008/B/PPU/KEMA FH-UH/I/2025 yang diterbitkan pada Rabu (22/01), PPU menyatakan bahwa Muhammad Naufal Alwan Mudian, calon wakil presiden nomor urut 2, dinyatakan gugur dari pencalonan karena tidak memenuhi persyaratan administrasi pendaftaran.
Pasangan calon nomor urut 1, Muhammad Dzaky Arya Nauval dan Fathan Rezky A., menyampaikan kekecewaan mereka terhadap dinamika pemilu yang dinilai penuh dengan kejanggalan.
“Bukan hanya keputusan terakhir tersebut yang membuat kami merasa kecewa, namun sedari awal sudah banyak kejanggalan yang dibuat oleh Panitia Pemilihan Umum 2025,” ungkap Dzaky saat diwawancarai oleh Reporter Eksepsi.
Mereka menyoroti beberapa masalah yang dianggap mengganggu proses pemilu, seperti pengumuman mendadak, ketidakjelasan proses verifikasi berkas, dan minimnya transparansi dari PPU.
Pasangan nomor urut 1 beranggapan bahwa ada pelanggaran terhadap regulasi yang diatur dalam Peraturan Keluarga Mahasiswa (PERKEMA) Nomor 4 Tahun 2021.
“Sudah jelas tercantum dalam Pasal 18 Huruf D bahwa yang menjadi satu satunya jalan membuktikan SKS ialah dengan Transkrip Nilai, dan PPU entah menggunakan pemikiran apa serta nalar yang mana sehingga dengan gampangnya mengiyakan dan menerima dokumen selain Transkrip Nilai.”
Pasangan nomor 1 kemudian memaparkan bahwa saat konsolidasi dilakukan antara PPU, pasangan calon, dan pimpinan fakultas, telah disepakati bahwa pasangan calon nomor 2 dinyatakan gugur. Namun, keputusan ini kembali berubah dengan diterimanya nama calon wakil presiden pengganti untuk pasangan nomor 2.
Melalui Surat Keputusan Nomor 009/B/PPU/KEMA FH-UH/I/2025, PPU memberikan kesempatan kepada Dzikrullah Al Muta’al untuk mendaftarkan kembali calon wakil presiden baru dalam waktu 1×12 jam setelah surat tersebut diterbitkan.
PPU kemudian menetapkan calon wakil presiden pengganti untuk pasangan nomor urut 2. Melalui Surat Keputusan Nomor 010/B/PPU/KEMA FH-UH/I/2025, Dyandra Rayyani Hendra Putri resmi diajukan sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Dzikrullah Al Muta’al. Dengan demikian, pasangan calon nomor urut 2 kini kembali mencalonkan diri setelah perubahan dalam komposisi mereka.
Menanggapi dinamika ini, Dzikrullah Al Muta’al menyampaikan pernyataannya melalui Instagram Story pada Kamis (23/01). Dalam unggahan, ia menjelaskan bahwa dirinya telah melalui tahapan pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun, ia menyayangkan keputusan PPU yang tiba-tiba mendiskualifikasi dirinya, dinilai tidak berdasar karena hanya wakilnya yang tidak memenuhi persyaratan.
“Akan tetapi belakangan aral melintang, tiba-tiba saja telah terbit pernyataan dari PPU KEMA FH-UH bahwa saya telah didiskualifikasi sebagai pasangan calon yang tentu membuat saya kecewa dan memutuskan melayangkan surat pernyataan keberatan kepada panitia PPU KEMA FH-UH sebab saya masih memiliki kualifikasi syarat pendaftaran sebagai calon Presiden BEM FH-UH,” tulisnya dalam unggahan tersebut.
Pandangan juga datang dari kalangan mahasiswa yang mulai mempertanyakan integritas dan independensi PPU dalam menjalankan tugasnya. Salah satu mahasiswa FH-UH, sebut saja Semangka, mengkritisi proses kontestasi yang ia anggap tidak sehat sejak awal.
“Saya melihat kontestasi ini dari awal sudah tidak sehat. Beberapa waktu belakangan saya mendengar desas-desus pembentukan badan pengawas di mana sebelumnya itu tidak ada dan bahkan tidak diatur di dalam konstitusi, yang mana menjadi beban juga bagi kawan-kawan PPU sebagai pihak yang berwenang,” tutur Semangka.
Ia juga menyayangkan inkonsistensi PPU dalam mengambil keputusan, bahkan Semangka menyebutkan bahwa PPU adalah badan “proksi” dari salah satu kandidat tiap periode pemilu, hal tersebut menurutnya melahirkan istilah di kalangan mahasiswa FH-UH yang menganggap bahwa “Siapa yang pegang PPU, maka dia yang menang pemilihan”. (Tod)