web analytics
header

Kiamat!! Kita Semua (Harus) Mati!

Sumber: Cuplikan Gambar Film "Silent Night"

Resensi Film Silent Night (2021)

Oleh: Muhammad Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH-UH Periode 2023/2024)

Bayangkan, suatu hari pemerintah mengumumkan bahwa dunia akan kiamat akibat gas beracun yang melanda seluruh dunia dan kalian harus menenggak pil untuk mati tanpa rasa sakit. Inilah premis yang diangkat dalam film “Silent Night” (2021), sebuah komedi gelap apokaliptik yang disutradarai oleh Camille Griffin.

Film ini menampilkan Keira Knightley sebagai Nell dan Matthew Goode sebagai Simon, pasangan suami istri yang mengundang teman-teman lama mereka untuk merayakan Natal terakhir di rumah pedesaan mereka.

Nell dan Simon adalah pasangan suami istri yang setiap tahun mengadakan makan malam Natal di rumah pedesaan. Tahun ini, perayaan tersebut memiliki makna khusus karena dunia sedang menghadapi ancaman bencana lingkungan yang mematikan, yakni awan gas beracun raksasa yang membunuh semua makhluk hidup yang dilaluinya.

Para tamu yang hadir termasuk Sandra (Annabelle Wallis) bersama suaminya Tony (Rufus Jones) dan putri mereka Kitty (Davida McKenzie); Bella (Lucy Punch) dan pasangannya Alex (Kirby Howell-Baptiste); serta James (Sope Dirisu) dengan tunangannya Sophie (Lily-Rose Depp). Mereka semua berkumpul dengan kesadaran bahwa ini mungkin adalah perayaan Natal terakhir mereka sebelum awan beracun mencapai wilayah tempat mereka.

Pemerintah Inggris telah mengeluarkan pil bunuh diri untuk memberikan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit sebelum awan tersebut mencapai wilayah mereka. Nell, Simon, dan teman-teman mereka telah sepakat untuk mengonsumsi pil tersebut, termasuk memberikannya kepada anak-anak mereka.

Namun, Art (Roman Griffin Davis)—putra sulung Nell dan Simon—mulai meragukan keputusan tersebut sehingga kemudian mempertanyakan apakah para ilmuwan dan pemerintah benar dalam prediksi mereka. Ketegangan pun semakin menjadi-jadi tatkala waktu “kiamat” semakin mendekat, dan setiap karakter menghadapi dilema moral mereka sendiri menjelang akhir dunia.

Salah satu aspek yang menurut saya unik dari film “Silent Night” ini adalah perpaduan antara humor gelap dan situasi menjelang kiamat. Meskipun premisnya suram, film ini sukses untuk kemudian menyisipkan momen-momen komedi yang menyoroti absurditas perilaku manusia saat menghadapi kematian yang tak terelakkan.

Para aktor dalam “Silent Night” berhasil menggambarkan momen-momen kepanikan menjelang akhir dunia dengan sangat meyakinkan. Keira Knightley dalam film ini menampilkan perpaduan antara ketenangan seorang ibu yang berusaha menjaga suasana tetap normal dan ketakutan yang mendalam terhadap nasib keluarganya. Matthew Goode di sisi lain juga sukses memperlihatkan rasa, serta Roman Griffin Davis secara efektif menampilkan kebingungan dan ketakutan seorang anak yang mulai menyadari situasi sebenarnya, di mana dalam hal ini menambahkan lapisan emosi yang mendalam pada narasi menjelang detik-detik “kiamat” tersebut.

Sementara itu, interaksi antara para aktor menciptakan dinamika yang menegangkan pun realistis. Annabelle Wallis, dengan apik menampilkan kepanikan yang terbungkus dalam kepura-puraan ketenangan, Lily-Rose Depp menunjukkan bagaimana kerentanan dan ketidakpastian yang kontras dengan suasana perayaan. Kombinasi akting yang kuat ini membuat penonton merasakan spektrum emosi yang dialami oleh setiap karakter saat mereka menghadapi kematian yang sudah di depan mata.

Film ini sukses menyampaikan kritik sosial terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu kritik utamanya adalah terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia. Ancaman gas beracun yang mematikan dalam film ini dapat dilihat sebagai metafora dari konsekuensi perusakan alam dan perubahan iklim yang semakin parah, di mana setting dari film ini menampilkan dunia yang menghadapi kehancuran akibat ulahnya sendiri.

Film ini juga memberikan kita perspektif terhadap kepatuhan buta masyarakat umum terhadap otoritas, terutama dalam hal memandang krisis global seperti climate change. Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, pemerintah mengeluarkan pil bunuh diri sebagai solusi untuk menghindari penderitaan akibat gas beracun yang akan datang. Mayoritas karakter menerima instruksi ini tanpa mempertanyakan, menunjukkan kepatuhan total terhadap arahan pemerintah. Namun, karakter Art, mempertanyakan keputusan ini dan menunjukkan keraguan terhadap narasi yang dibangun oleh otoritas.

Uniknya, dalam film ini, setelah semua karakter—kecuali Art—mengonsumsi pil bunuh diri untuk menghindari penderitaan akibat gas beracun yang mematikan, Art terlihat tak lagi bernyawa di pelukan ibunya (dalam film tersebut Art terpapar gas beracun). Namun dalam adegan penutup, Art membuka matanya, memperlihatkan bahwa dia masih hidup.

Akhir yang ambigu ini menimbulkan berbagai interpretasi yang membuat kita sebagai penonton penasaran akan apa yang terjadi setelahnya? Apakah Art selama ini benar untuk tidak patuh begitu saja dengan perintah otoritas karena dia berhasil hidup?

Terlepas dari itu, jika kawan-kawan mencoba menonton film ini, silakan untuk kemudian merefleksikan kembali perspektif kita terhadap keberlangsungan alam, serta betapa pentingnya untuk mempertanyakan dan memahami informasi sebelum mengambil keputusan yang berdampak signifikan nantinya.

Related posts: